Rabu, 21 Oktober 2015

Utati, Penulis Lirik Selirih Karya Pramoedya Ananta Toer


Rabu, 21 Oktoer 2015, 18.11 


Pekan kedua Oktober 2015, Komnas Perempuan akan menggelar acara ulang tahun ke-17 di Gedung Bidakara, Jakarta Selatan pada 15 Oktoer 2015. Salah satu yang menarik adalah tampilnya Dialita. Paduan suara yang beranggotakan mantan tahanan politik (tapol) peristiwa 1965. Salah satu dari mereka adalah Utati, mantan tahanan politik (tapol) yang sempat mendekam selama 11 tahun di penjara Bukit Duri Jakarta.

Saat muda, Utati seperti remaja umumnya senang mengekspresikan minat dan bakatnya. Dia menyukai dunia seni, terlebih musik. Tapi, hobi itu pula yang lantas mengubah jalan hidupnya.
“Saya hobi menyanyi, menari dan musik, namun hanya seadanya. Kalau musik, karena orang kampung, jadi tidak belajar musik melalui pendidikan. Hanya hobi saja. Jadi kalau ada suling ya saya tiup suling,  kalau ada saron ya main saron. Malah pernah saya main gendang, karena ya itu hobi saya,” kata Utati.
Hobi berkesenian membuat Utati terdorong untuk ikut aktivitas-aktivitas yang diselenggarakan organisasi pemuda.

Utati menghentikan cita-citanya meniti karier di dunia seni ketika ditangkap. Seni yang awalnya diyakini sebagai jalan hidupnya, justru membawanya pada jurang kelam yang sama sekali tidak dia duga. “Waktu sebelum insiden saya memang aktif dalam kesenian, saya masuk tari, ada olahraga  seperti badminton, voli. 

Setelah peristiwa itu saya masuk (penjara) tetapi saya tidak tahu apa-apa soal tentang tragedi berdarah dan lain-lain,” kata Utati yang menata lagi kehidupannya di dalam penjara. Menyanyi jadi satu-satunya hiburan di sana. Tidak ada alat musik yang bisa digunakan sebagai pengiring lagu. Jangankan alat musik, alat tulis pun dilarang.

Awalnya, Utati bersama teman-temannya menggagas kegiatan senam irama. Hal itu dilakukan lantaran banyak anak-anak yang ikut ibunya hidup di penjara. Senam irama adalah rutinitas yang dilakukan untuk memberi hiburan bagi para anak-anak, sekaligus para tapol.

Utati mengaku jenuh dengan senam irama yang selalu menggunakan lagu-lagu yang sudah ada. Hal itu memancing kreativitasnya lebih jauh.
 “Saya enggak mau dengan lagu-lagu yang sudah ada, saya maunya lagunya bikin sendiri. Nah, disitulah lantas saya membuat lagu. Saya tanya ibu-ibu lainnya siapa yang punya lagu. Karena kami suka diam-diam mencipta lagu, tapi enggak diumumkan. Hanya untuk kepuasan batin. Salah satu ibu mengatakan punya lagu tapi belum ada liriknya. Ya sudah, liriknya saya yang bikin. Terus dari situ saya buat kata-katanya, tapi sebelum itu saya juga sudah diam-diam membuat lagu.”
Lirik yang ditulis Utati lirih tapi penuh pemberontakan, seperti yang dilakukan pujangga besar Pramoedya Ananta Toer.

Jangan dibayangkan membuat lagu di dalam penjara adalah proses yang sederhana. Keterbatasan alat tulis membuat para tapol harus merekam dengan baik lagu dan lirik yang diciptakannya di dalam kepala.
 “Jadi (lagu ciptaan sendiri) itu dipikir saja setiap hari dan dihafalkan dalam hati. Kalau kami menemukan sobekan kertas, atau pensil yang kecil banget itu, rasanya senang sekali. Bisa coret-coret di tembok. Kami takut ketahuan kalau menulis di tembok. Kadang kami tulis di tangan, kadang-kadang di bekas kertas, kami juga menulis di tanah. Apapun medianya yang penting dapat kami gunakan,” ucap Utati seperti diberitakan MetroTVNews.Com, Selasa, (21/10).

Menghidupkan Kembali Karya

Utati bebas pada tahun 1978. Sebelas tahun di penjara bukan hal yang singkat. Selepas dari penjara, Utati kembali berkumpul dengan para korban peristiwa 1965. Dari pertemuan-pertemuan itu lahir gagasan untuk merawat kembali karya-karya yang sempat lahir di penjara.
“Teman-teman bilang, ‘Tapi kan enggak bisa tulis not-nya,’ (lagu yang dibuat di penjara). Saya usul untuk membuatkan notnya. Waktu itu ada tiga lagu yang saya tuliskan ulang dengan mengingat kembali, dengan meminta maaf pada pembuatnya misalnya ada not yang kurang-kurang. Maksudnya supaya ada yang dinyanyikan, supaya tercatat. Judul lagu yang pertama kami tampilkan itu dibuat di Bukit Duri, judulnya Tetap Senyum Menjelang Fajar”. 
“Lagu Tetap Senyum Menjelang Fajar kami nyanyikan di penjara untuk setiap teman kami yang ulang tahun. Pagi-pagi kami datang ke sel yang ulang tahun dan kami nyanyikan itu!”
Utati lantas menceritakan salah satu lagu ciptaannya. Dengan penuh ketegaran, beliau merinci lahirnya karya berjudul Ibu itu. 
 “Lagu yang pertama saya bikin justru yang judulnya Ibu. Karena saya berpikir, ibu saya tahu atau tidak saya masuk penjara. Karena saya tidak bisa telepon, tidak bisa menulis surat, waktu itu ada saudara saya yang tinggal di Jakarta, tetapi saya minta untuk tidak ditengok karena takut akan membebani. Saya ragu apakah ibu saya tahu atau tidak!”
Utati berasal dari Purworejo, Jawa Tengah, lahir pada 29 September 1944. Pada akhir 1963 dia merantau ke Jakarta, hingga berujung pada sebuah penangkapan di tahun 1967. 

Utati menikah dengan Koesalah Soebagyo Toer, adik kandung Pramoedya Ananta Toer. Koesalah juga seorang mantan tahanan politik, tidak lama setelah studi di Moscow, Rusia, dia dipenjara. Utati dan Koesalah menikah di tahun 1979, satu tahun setelah Utati bebas. Mereka dikaruniai dua orang anak. (t/R9/d)



0 komentar:

Posting Komentar