Oleh: Diah Wahyuningsih
Foto: Diah W
CERITAKAN PADAKUDERETAN puisi di atas adalah ungkapan hati seorang anak negeri (salah satu peserta didikku), yang tertipu akan narasi sejarah Indonesia di tahun 1965. Peristiwa yang selanjutnya menggunakan beberapa versi istilah, seperti Gestapu, Gestok, atau G 30 S 1965. Saya lebih senang menyebutkan peristiwa itu dengan Gestapu. Mungkin agak lebih jelas sebab peristiwa ini dimulai sejak tanggal 30 September 1965.
AKU BERDIRI, MEMANDANG LUAS NEGERI INI. TERSENTAK HATIKU MEMANDANG KERASNYA DENTUMAN ITU. TERSENTAK HATIKU MENDENGAR HALUS BISIKAN ITU.
KAU LIHAT!!! DEBURAN OMBAK BERTERIAK. NAMUN SAYANG, PECAH TERHANTAM BATU KARANG.
LIHAT ITU!!! UDARA HALUS MENYENTUH HATI. TAPI TIDAK, DIBAWA PAKSA OLEH ANGIN. APA INI??? MENGAPA TIDAK ADA YANG MAMPU MENYAMPAIKANNYA???
SIAPA??? SIAPA DIA DIBALIK BATU KARANG??? SIAPA DIA DIBALIK ANGIN BAK TUHAN??? YANG MAMPU MENTIDAKKAN YANG ADA, MENGADAKAN YANG TIADA.
SIAPA??? WAHAI NEGERIKU, CERITAKAN PADAKU…(Herlinda O)
Peristiwa Gestapu atau Gerakan September Tiga Puluh, menghadirkan polemik kebangsaan sejak peristiwa itu terjadi. Gestapu juga menjadi titik tolak pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto. Selama lebih 50 tahun, narasi sejarah Gestapu di sekolah-sekolah tetap saja menggunakan versi Orba yang sengaja dituliskan demi menyingkirkan aktivitas PKI, yang dulu dianggap melakukan kudeta berdarah terhadap pemerintahan Soekarno. Perlu disimak oleh kita semua, meski kurikulum Indonesia terus diperbarui, tetap saja narasi sejarah Gestapu menggunakan sumber-sumber tertulis buatan Orba. Menyimak setiap narasi sejarah di sekolah-sekolah, meski ada penjabaran lebih jauh atas peristiwa Gestapu, narasi tersebut masih berpihak pada penguasa Orba. Sepertinya perubahan kurikulum di Indonesia tidak berarti apa-apa, sebab peristiwa pasca Gestapu tidak tertulis sama sekali. Pada Kurikulum 2013 materi pelajaran sejarah peminatan, sangat luas membahas kudeta berdarah PKI tanpa pernah menuliskan peristiwa operasi penumpasan PKI yang melanggar hak asasi manusia. Padahal peristiwa tersebut sekarang ini begitu menyita perhatian bangsa Indonesia. Layaknya konflik kebangsaan, antara pihak pendukung HAM berhadapan dengan pihak anti komunis Indonesia yang berujung pada terpecahnya pemikiran rakyat Indonesia. Apapun yang dilakukan sejarawan maupun aktivis HAM serasa berat dan panjang.
Saat persoalan ini diupayakan lebih intens, pihak-pihak anti-komunis menganggap aktivis HAM sebagai pihak yang harus dipersalahkan atau pihak yang mengkhianati bangsa Indonesia, karena dengan sengaja menginternasionalisasikan permasalahan bangsa sendiri.
Kita tidak bermaksud mendukung apa yang sudah dilakukan PKI saat itu, tetapi narasi sejarah pasca Gestapu seolah dihilangkan oleh kurikulum sejarah Indonesia di sekolah-sekolah. Pada materi sejarah peminatan kelas XII SMA, misalnya, pembahasannya dimulai dari masa Demokrasi terpimpin sampai pada lahirnya Orde Baru tanpa kisah penangkapan dan pembantaian kepada mereka yang dianggap PKI dan di-PKI-kan. Kisah pembantaian itu tidak tersentuh sama sekali dari pembahasan materi sejarah Indonesia
Menjelang dan setelah berlalunya usia 50 tahun peristiwa Gestapu di Indonesia, banyak kajian melalui buku atau artikel serta seni yang berusaha melacak peristiwa tersebut. Tulisan-tulisan yang terpublikasi adalah langkah yang terus diupayakan untuk menuntut pertanggung-jawaban negara atas penderitaan kelompok kiri negeri ini yang diperlakukan tidak manusiawi dan telah merampas hak-hak kemanusiaan. Kita tahu betapa mengerikan peristiwa itu. Untuk membayangkan saja butuh ketegaran hati apalagi bagi mereka yang merasakan. Peristiwa keji itu terjadi pasca penculikan yang diikuti dengan pembunuhan para jenderal.
Keadaan ‘panas’ pada kekuasaan Soekarno, menyeret Sang Proklamator menjadi pesakitan di negerinya sendiri. Sejak dilaksanakannya operasi penumpasan PKI beserta antek-anteknya, jutaan rakyat Indonesia dihilangkan secara paksa, dibantai, diperkosa, dan diperlakukan semena-mena oleh militer Indonesia, beberapa organisasi pemuda, dan organisasi keagamaan. Ladang pembantaian hampir meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang paling menyedihkan, nasib perempuan Indonesia yang disebut sebagai kelompok penyiksa para jenderal. Sampai-sampai relief Monumen Pancasila sakti memahat gambar perempuan-perempuan Gerwani secara tidak bermartabat. Harga diri perempuan Gerwani, dicampakkan hanya karena kebuasaan militer Indonesia.
Pembasmian terhadap kelompok kiri dilanjutkan dengan doktrinasi penguasa Orba serta stigmatisasi yang mendarah-daging kepada mereka yang dituduh komunis dan atau yang dikomuniskan, berlangsung sepanjang kekuasaan Orba. Ujung harapan bangsa dari segala upaya yang dilakukan tidak lain agar negara bersedia mengakui peristiwa tersebut juga berupaya melakukan Rekonsiliasi Nasional sebagai bukti bahwa negara tidak diam. Mungkin di sebahagian pikiran orang, rekonsiliasi dianggap usaha serius negara untuk menciptakan keadilan yang merata, bukan saja pada kelompok penguasa namun merata ke setiap rakyat Indonesia.
Buat saya, rekonsiliasi merupakan jalan akhir yang membutuhkan waktu panjang ditinjau dari riuh-rendah pendapat masyarakat. Ketakutan kepada bangkitnya Komunis Gaya Baru (KGB) yang ditudingkan pada anak-turunan korban, tidak lantas menjadikan pasca peristiwa Gestapu dilupakan. Peristiwa itu harus diselesaikan dengan itikad baik pemerintah yang menjadi representasi negara.
Rekonsiliasi pasca peristiwa Gestapu tidak serta-merta menjadi cerminan pemerintahan sekarang mendukung PKI. Toh PKI jelas dilarang melalui Ketetapan MPRS. PKI tidak mungkin bisa tampil kembali memeriahkan dunia politik Indonesia. Lalu mengapa kita merisaukan hal-hal yang belum tentu benar seperti yang didugakan?
Butuh kebijaksanaan yang didasari pada hati nurani untuk mengakui peristiwa pasca Gestapu. Peristiwa tragis yang telah merampas sisi kemanusiaan bangsa Indonesia hingga jutaan nyawa manusia melayang bak pembantaian binatang. Ditambah lagi, persoalan ketidak-nyamanan anak turunan kelompok kiri yang masih merasakan perlakuan tidak adil dari negara.
Saya bukan seorang peniliti layaknya peneliti handal yang banyak menghasilkan kesimpulan ilmiah dari penelitian. Saya hanya seorang guru sejarah SMA, dimana rasa kebangsaan dan kemanusiaan tergugah ketika melihat dan mengetahui peristiwa pembantaian pada 50 tahun yang lalu. Sebagai guru sejarah, saya hanya mampu melakukan langkah-langkah sederhana yang mungkin dilakukan juga oleh guru lainnya atau tidak sama sekali.
Ilustrasi gambari diambil dari http://freedomfilmfest.komas.org
Upaya Mendemokratiskan Pengetahuan
Awal ketertarikan saya mencoba membuka ‘pikiran baru’ setelah membaca segala informasi sejarah tentang peristiwa Gestapu juga pasca peristiwa Gestapu. Dengan informasi yang ada, saya menyimpulakan bila peristiwa itu benar adanya. Ada pulau Buru atau kamp-kamp pembantaian, ada pengakuan dari mereka yang diasingkan, ada laporan Komnasham, serta bukti-bukti lainnya. Dari semua informasi tersebut, secerca harapan hadir demi mencoba membantu negeri ini agar tidak melupakan sejarah, mencoba bicara apa adanya pada peserta didik saya. Dimulai dari perkenalan saya dengan Joshua Oppenheimer sutradara film Jagal (The Act of Killing) melalui pencarian di internet. Setelah saya pastikan siapa Joshua, selanjutnya saya mencoba mencari profilnya di salah satu media sosial Facebook. Pertemuan via media sosial terjadi pada tahun 2012. Lantas saja muncul keinginan untuk bercerita dengannya melalui medsos. Ternyata Joshua begitu respect dengan cerita-cerita saya, sehingga ketika saya utarakan keinginan untuk memutarkan filmnya kepada peserta didik saya, ia meresponnya dengan baik. Joshua mengirimkan dvd film Jagal yang kemudian saya putarkan ke peserta didik saya.
Mulanya saya pribadi sedikit ragu memutarkan film Jagal kepada para peserta didik. Bisa jadi, pemutaran film tersebut tidak sesuai dengan harapan saya. Apalagi aksi saya ini belum pernah dilakukan guru-guru sejarah sebelum saya. Biasanya guru-guru sejarah sebelum saya menyampaikan narasi sejarah Gestapu menggunakan pola lama, seperti yang ada di dalam buku.
Betapa terharu diri ini saat peserta didik merasa antusias menonton film tersebut. Di hati saya terbersit untuk tetap memutarkan film itu kepada seluruh peserta didik. Beruntungnya, materi di kelas XII adalah materi yang mengulas peristiwa-peristiwa pemberontakan. Dengan begitu, ada beribu alasan memutarkan film Jagal andai pihak sekolah melarang aksi saya.
Langkah saya tidak berhenti sampai di situ saja. Dari tahun ke tahun ketika tiba pada materi yang sama, usaha mengubah pemikiran peserta didik masih tetap dilanjutkan meski sedikit ada pertentangan dari guru sejarah lainnya. Tentangan ini membuat saya melawannya dengan cara-cara sederhana lainnya. Saat guru lain mempertontonkan film G 30 S/PKI versi Orba, banyak peserta didik yang bertanya lebih jauh. Saat itu juga, jurus-jurus baru saya lakukan. Buku-buku tentang Peristiwa Gestapu saya sebarkan ke peserta didik. Memang tidak semua peserta didik tertarik membaca buku-buku yang saya tawarkan, namun demikian di beberapa peserta didik ini ada yang sangat tertarik mencari pengetahuan Peristiwa Gestapu, khususnya peristiwa pembantaian. Melalui beberapa peserta didik yang tertarik inilah, ‘virus penasaran’ mereka bisa ditularkan.
Di tahun 2014, tanpa sengaja saya menemukan satu buku spesial tulisan Dr. Baskara T Wardaya saat bersileweran di salah satu toko buku di kota saya. Di halaman terakhir buku Luka Bangsa Luka Kita, tertera alamat email sang editor. Kali ini, semangat baru bertambah muncul untuk segera menghubungi beliau melalui email. Tidak disangka, sang editor membalas email saya serta menyampaikan informasi bahwa akan ada pemutaran perdana film Senyap (The Look of Silence), yang juga merupakan karya Joshua Oppenheimer, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sebagai bagian dari kegiatan menyambut Hari HAM sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember. Bagi saya, informasi ini adalah tambahan semangat yang sedikit mulai redup. Setelah menghubungi pihak panitia penyelenggara, dengan modal pribadi menuju Jakarta akhirnya saya menyaksikan pemutaran perdana film Senyap. Bisa dibayangkan betapa semangat baru itu semakin menggebu. Sesampainnya kembali di kota saya, segala pengalaman yang saya rasakan, saya bagikan ke peserta didik sampai akhirnya film Senyap bukan sesuatu yang asing bagi peserta didik saya.
Antusiasme peserta didik usai menyaksikan film Senyap semakin ‘terprovokasi’. Tanpa sungkan, mereka bersedia menuliskan komentar-komentarnya yang kemudian saya postingkan di media sosial. Salah satunya adalah di Facebook IPT (International People’s Tribunal) yang dikelola oleh ibu Nursyahbani Katjasungkana. Langkah yang sama saya lakukan dari tahun ke tahun sejak 2014 hingga sekarang. Film Senyap menjadi bahan ajar saya ketika sampai pada materi pemberontakan di kelas XII.
Apa yang dapat diharapkan dari segala aktivitas yang dilakukan? Tidak lain dan tidak bukan adalah merumuskan kembali pemikiran para peserta didik dalam memahami peristiwa Gestapu dan pasca peristiwa Gestapu. Saya menyadari, langkah sederhana ini terkesan melawan arus pemikiran umum guru sejarah yang kebanyakan masih bertahan pada pemikiran klasik Orba. Bukan tidak mungkin, langkah saya dianggap ekstrim sebab tidak lazim bagi kebanyakan guru sejarah.
Rekonsiliasi Nasional Peristiwa pembantaian di tahun 1965, seharusnya dimulai dari lingkungan sekolah, khususnya pada level SMA/SMK. Mengapa demikian? Hal ini berdasar pada pemikiran sederhana bahwa pada tingkatan SMA, generasi baru itu akan lahir dengan pemikiran baru terhadap sejarah bangsa, terutama sejarah yang sengaja disenyapkan oleh penguasa. Mereka bisa membawa pengetahuan sejarah tersebut sampai tingkat perguruan tinggi. Pengetahuan sejarah mereka perlu diluruskan demi narasi sejarah Indonesia. Pengetahuan ini juga mampu membentuk identitas bangsa demokratis dengan menjunjung tinggi prinsip humanis. Kita sadar betapa sulitnya rakyat Indonesia mengubah pemikiran negatif yang sudah mendarah-daging akibat cuci otak Orde Baru.
Banyak hal yang bisa diperoleh bila keinginan mengubah pemahaman sejarah bangsa dimulai dari level SMA/SMK, bahkan dengan hanya memutarkan film Jagal dan Senyap saja. Beberapa peserta didik saya terpancing mengakui sejarah masa lalu keluarganya. Di antara mereka berani mengungkap cerita tentang kakek-nenek mereka, yang ternyata menjadi bagian pembantaian dan juga dipinggirkan karena dianggap PKI.
Sadarkah kita bila semua guru sejarah memilih langkah sederhana ini akan memancing pengakuan-pengakuan baru identitas peserta didik maka rekonsiliasi bisa diawali dari tingkat sekolah. Secara psikologis, ‘pancingan’ guru sejarah ketika bicara peristiwa pasca Gestapu menjadi jalan mempertemukan mereka dengan peristiwa sebenarnya. Sentuhan guru sejarah kepada peserta didik berhasil menciptakan pemahaman baru informasi sejarah yang telah diselewengkan selama puluhan tahun.
Dalam membangun perspektif sejarah bangsa Indonesia, sudah selayaknya dimulai dari hal terkecil sekalipun tanpa disadari menciptakan gebrakan besar. Terlalu lama kita berkutat pada segala kajian yang belum tentu menggugah negara untuk mengakuinya. Meski akan hadir rasa ketakutan bagi guru sejarah seperti saya, namun perjuangan meluruskan sejarah menjadi tanggung jawab moral yang diemban guru sejarah itu sendiri. Dari guru-guru sejarah yang berwawasan humanis, perjuangan menolak lupa atas peristiwa masa lalu yang menyayat hati mungkin bisa menghadirkan pemahaman baru di diri peserta didik.
Rekonsiliasi bukan sekedar perjuangan para aktivis HAM. Rekonsiliasi harus diupayakan oleh seluruh isi negeri Indonesia. Ketika Rekonsiliasi Nasional diupayakan dimulai dari peristiwa pelanggaran HAM masa lalu yang berskala nasional di sekolah-sekolah, maka pelanggaran HAM lainnya turut dituntaskan oleh pemerintah.
Sayangnya, keberanian di beberapa guru sejarah sering kali tidak mendapat dukungan berarti oleh sebahagian penggerak HAM dan pihak-pihak yang peduli terhadap peristiwa sejarah masa lalu. Padahal, sesungguhnya dari guru-guru sejarahlah , satu narasi sejarah Indonesia yang kontra-versi diluruskan sesuai fakta sejarah. Guru-guru sejarah sudah waktunya diberi porsi lebih agar leluasa menyampaikan satu peristiwa sejarah. Apalagi bila peristiwa sejarah itu telah membekukan sisi kemanusiaan satu bangsa.
Bicara sejarah sama juga bicara fakta dan bicara fakta menanamkan kejujuran pada generasi baru Indonesia. Guru sejarah bukan pendongeng yang membosankan, karena cuma punya kemampuan bercerita seperti yang ada di buku-buku teks sejarah. Guru sejarah bagian dari sejarawan meski berskala kecil. Lewat pengetahuannya, guru sejarah menyajikan konsep kekinian dari satu peristiwa sejarah.
Guru sejarah tidak harus larut pada cerita klasik yang didengar sejak zamannya ia bersekolah sampai kuliah. Catatan guru sejarah yang diperolehnya dulu, sangat usang disampaikan pada peserta didik sekarang.
Kita harus menyadari, peserta didik bisa mengakses informasi sejarah melalui teknologi terkini seperti internet kapan saja dan dimana saja. Oleh karenanya, seorang guru sejarah wajib memperbarui pengetahuan sejarahnya yang berkaitan dengan kontra-versi satu peristiwa sejarah, sehingga apa yang dikatakan Sartono Kartodirjo benar adanya bahwa dalam konteks pembentukan identitas nasional, pengetahuan sejarah mempunyai fungsi fundamental. Dengan begitu, kesalahan masa lalu tidak terulang kembali dan proses rekonsiliasi bukan lagi barang aneh yang ditakuti karena disebut menggoncangkan keutuhan NKRI.
***
Penulis adalah salah satu guru sejarah di SMAN 4 Batam dan Inisiator pemutaran film Senyap di Universitas Riau Kepulauan.
http://indoprogress.com/2015/10/rekonsiliasi-nasional-peristiwa-pasca-gestapu-ala-guru-sejarah/
0 komentar:
Posting Komentar