25 Oktober 2015
Aiko Kurasawa dalam buku ini memberikan kita paparan
mengenai persepsi dan sikap Jepang terhadap Indonesia sebelum dan sesudah
pristiwa politik 1965, sama seperti yang tertulis di dalam judul buku ini. Buku
ini beragkat dari sumber wawancara terhadap orang-orang yang hidup (dan
bersinggungan) pada zaman itu.
Perlu menjadi catatan bahwa di tahun 1978, ratusan orang
yang dianggap komunis dan terlibat dalam pristiwa 1965 baru dibebaskan dari
Pulau Buru. Secara kebetulan penelitian Aiko yang terfokus pada perubahan
sosial masyarakat Jawa pada masa pendudukan Jepang mengantarkannya kepada
eks-tapol 65 itu, yang pada saat pendudukan Jepang juga memiliki peran yang
sangat siknifikan.
Aiko sendiri datang ke Indonesia pada tahun 1972 dalam
rangka melakukan study mengenai perubahan sosial di Jawa dan menghasilkan
disertasi yang sudah dibukukan serta di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul “Mobilisasi dan kontrol ; Indonesia masa pendudukan Jepang”.
Diakuinya sempat ada kendala pada saat kedatangannya ke Indonesia, saat berada di
Bandara Kemayoran beberapa buku bahan studinya di tahan selama satu minggu
untuk dilakukan screaning.
Ia juga sempat akan dipanggil oleh pihak BAKIN guna
mencari tau aktifitas politiknya, karena pada tahun 1968 ia termasuk orang yang
diberangkatkan ke China sebagai anggota “Student Friendship Group”. Akan tetapi
akhirnya lolos berkat bantuan Kedubes Jepang yang kenal dengan pihak TNI.
Selain itu, sumber dalam penelitian ini juga mengunakan
dokumen-dokumen Kementerian Luar Negeri Jepang [MOFA], arsip-arsip dari
Amerika, beberapa memoar yang ditulis oleh mantan Perdana Menteri Jepang pada
tahun tahun itu, tulisan-tulisan Jurnalistik, dokumen Partai Komunis Jepang dan
memoar Dewi Sukarno yang juga mendapat perhatian khusus dalam buku ini.
Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Jepang sejatinya
baru dimulai setelah 6 tahun Indonesia merdeka tepatnya tahun 1951. Sejak ada
pembicaraan di internasioanl tentang biaya ganti rugi setelah Perang Dunia II.
Indonesia dalam hal ini Sukarno menilai “pembicaraan ini” akan membantu
Indonesia di tengah situasi ekonomi yang menyulitkan pada masa itu.
Negoisasi harga yang harus dibayar cukup panjang, karena
antara kedua negara sama-sama bersihkeras mempertahankan argumennya terkait
alasan pengajuan harga ganti rugi. Djuanda kartawijaya yang pada saat itu
menjabat sebagai menteri luar negeri di utus ke Tokyo untuk memulai negaoisasi
harga, dan Indonesia menilai 17,5 miliar dolar AS adalah harga yang pantas
untuk biaya ganti rugi dan belum termaksud menghitung korban jiwa yang
dihasilkan oleh perang.
Sebaliknya, penolakan keras datang dari parlemen Jepang
yang menggap bahwa angka itu terlalu tinggi untuk keadaan Jepang saat itu.
Mereka mengunkan pasal perjanjian pampasan perang yang di deklarasikan pada
tahun yang sama di San Fransisko bahwa “Jepang juga perlu mempertahankan
ekonominya sendiri, sumber daya jepang saat ini tidak mencukupi untuk
membayar pampasan perang bagi semua kerusakan dan penderitaan dan
pada saat yang sama memenuhi kewajiban yang lain”.
Pada faktanya, baru di tahun 1957 di Jakarta kedua
negara menyepakati angka yang harus dibayar oleh Jepang untuk Indonesia. PM
Kishi berkunjung ke Indonesia khusus menemui Soekarno guna membicarakan ini.
Melalui perhitungan yang pas kedua negara memiliki angka yang berbeda. Uniknya
Sukarno hanya mengajukan angka 177 juta dollar AS sementara dalam hitungan
Jepang seharusnya 240 juta dollar AS. Bahkan setelah di ingatkan oleh asissten
penerjemah atas kekeliruan Sukarno, PM Kishi hanya menyatakan “ Kita tidak usah
mempersoalkan hal-hal sepele”
Babak baru hubungan diplomatik Indonesia Jepang dimulai.
Berbarengan dengan deal politik dengan Jepang, Indonesia segera
melakukan nasionalisasi aset-aset milik Belanda yang masih beroprasi. Aiko
menduga langkah politik Sukarno ini terkait adanya kepastian pembayaran biaya
pampasan perang oleh Jepang. Biaya itu digunakan untuk mengoprasikan
perusahaan-perusahaan milik Belanda yang akan di nasionalisasi.
Disisi lain, perjanjian antara Sukarno dan Kishi juga
membahas mekanisme pembayaran yang salah satunya adalah dengan memberikan
bantuan dalam bentuk “jasa”. Ada beberapa perusahaan dan pekerja teknisi dari
Jepang yang masuk ke Indonesia sebagai bentuk bantuan.
Tak luput Jepang juga membuka kantor perwakilan
jurnalistik.
Dana pampasan perang dalam bentuk jasa orang Jepang pada
umumnya berbentuk proyek-proyek infrastruktur, gedung-gedung pabrik dll,.
Biasanya mereka dipakai sebagai pembuat proposal dengan format yang biasa di
pakai dan diterima oleh pemerintahan Jepang. Orang-orang ini rata-rata memiliki
hubungan dengan orang-orang dipemerintahan Indonesia sejak masa pendudukan
Jepang.
Aiko mencatat bahwa dalam proses merumuskan
proyek-proyek, ide awalnya sering secara tidak resmi disarankan oleh
perusahaan-perusahaan swasta Jepang kepada departemen terkait di pemerintahan
Indonesia. Biasanya lebih banyak diterima karena mereka mengerti
proposal-proposal yang sesuai dengan standar pemerintahan Jepang, dan biasanya
orang-orang ini adalah agen dari perusahaan swasta jepang yang kemudian
mendapat tender dari pihak pemerintah Jepang. Banyak pengusaha-pengusaha Jepang
bersaing untuk mendapatkan proyek ini dan orang-orang Jepang berlomba mendekati
petinggi-petinggi pemerintahan Indonesia.
Begitu massifnya kerja-kerja ekonomi dan politik dengan
Jepang, Indonesia dengan Sukarnonya tetap tidak melupakan sikapnya terkait
poros baru dunia. Di tengah gempuran politik Kapitalisme dan Komunisme
Indonesia masih berpegang teguh kepada politik non-blok. Pada tahun 1955 Jepang
datang pada perhelatan Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan oleh Sukarno
dengan semangat Anti Kolonialisme dan Imperialisme.
Jepang masih menunjukan dirinya sebagai negara bangsa
Asia yang mendukung nasionalisme guna memerangi bangsa-bangsa imperial. Bahkan
di beberapa kesempatan Jepang seolah tidak peduli kalau-kalau sikapnya yang
mendukung Sukarno akan berdampak kepada negara-negara barat. Tanpa memedulikan
kepeningan bangsa barat yang secara tidak langsung di titipkan kepda Jepang
terkait pembendungan komunisme di Asia Tenggara khususnya Indonesia, Jepang
tetap pada pendiriannya yang juga punya maksud kepentingan ekonomi politiknya.
Bagi negara-negara Barat terutama Amerika, Jepang dipakai
sebagai kepanjangan tangan mereka di Indonesia atau menurut Sasaki tokok Partai
Komunis Jepang ; Jepang adalah brokernya Amerika. Karena praktis sampai pada
saat itu hanya Jepang yang bisa masuk sedekat itu dengan Indonesia khusunya
Sukarno. Sekalipun tidak menutup mata, kita perlu menjelaskan bahwa Amerika
melalui agen-agen PSI dan Angkatan Darat cukup intens menjalin
komunikasi.
Jepang dan
Pristiwa G30S
Menjelang october 1965, secara politik Indonesia
mengambil sikap yang menggemparkan dunia. Januari 1965 Sukarno menyatakan
Indonesia keluar dari keanggotaan PBB yang dikarenakan terpilihnya Malasiya
sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Baik Jepang maupun bangsa
Baratpun bingung menghadapi ini.
Benar saja Sukarno mulai secara terbuka membangun koneksi
dengan Tiongkok yang baru saja berhasil untuk pertama kalinya membuat percobaan
sejata Nuklir pada tahun 1964. Sadar akan situasi seperti ini, Amerika melalui
PBB meminta Jepang untuk lebih aktif mempengaruhi arah kebijakan politik
Sukarno. PM Sato yang secara karakteristik sangat tidak suka dengan Sukarno
terlihat enggan menanggapi permintaan AS yang secara umum meminta Jepang
menjembatani konflik Indonesia dengan Malasyia. Bahkan PM Sato selalu
menghindari kontak langsung dengan Sukarno.
Di internal Jepang sendiri, beberapa politisi serta
pejabat negara mulai tidak menaruh simpati dengan Sukarno atas sikap politiknya
yang terlalu progresif. Hanya beberapa yang masih menaruh simpati kedapa
Sukarno, salah satunya adalah Kawashima Shojiro, deputi ketua Partai Liberal
Demokrasi dan menjabat Menteri Negara urursan Olimpiade Jepang.
Kawashima diutus ke dalam pertemuan peringatan ke 10 KAA
Bandung sekaligus membawa agenda penyelesaian konflik antara Indonesia dengan
Malasyia dan meminta Sukarno pada bulan Mei untuk berkunjung ke Tokyo bertemu
dengan PM Malaisya Rahman untuk penyelesaiian konflik. Sebagai gantinya, Jepang
berjanji akan datang dan mendukung pertemuan KAA ke II di Aljazair.
Di saat yang sama PM Tiongkok Zhou En-Lai juga datang
mengunjungi Indonesia dalam peringatan 10 tahun KAA dan meminta Sukarno untuk
teteap pada garis politik Ganjang Malaisya. Ironisnya Sukarno mengabaikan
permintaan Jepang dan memilih mendengarkan masukan dari Zhou En-Lai. Yang
menarik dan sangat mengejutkan adalah saat kedua negara itu (Jepang-Tiongkok),
Sukarno mempertemukan keduanya yang secara politik keduanya belum membuka
hubungan diplomatik pada saat itu.
Di bulan September intensitas politik di Indonesia
meninggi, santer kabar tentang isu Dewan Jendral yang akan menggulingkan
pemerintahan Sukarno. Pada pagi dini hari tanggal 1 Oktober telah terjadi
penculikan disertai pembunuhan terhadap beberapa Jendral Tinggi Angkatan Darat.
Sebanyak 7 ditambah satu putri A.H Nasution dilaporkan
terbunuh.
Ada banyak versi yang melingkupi aktor dibalik gerakan
ini. Akan tetapi di pemerintahan selanjutnya setelah Sukarno kehilangan
otoritas, melalui Supersemar di bawah Angkatan Darat, Suharto mengumumkan
dalang dibalik pembunuhan beberapa Jendral Tinggi Angkatan Darat ini adalah PKI
dan menyatakannya sebagai Partai terlarang.
Namun, ada yang jauh lebih mengerikan dari sekedar
pembunuhan 7 Jendral Angkatan darat ini. Yakni, beberapa minggu setelah
dikeluarkannya Supersemar, Suharto menyatakan PKI sebagai partai bertanggung
jawab penuh atas terbunuhnya Jendral Angkatan Darat ini. Tak disangsikan lagi
beberapa bulan kemudian terjadi pembantaian yang mengrikan di sepanjang pulau
Jawa. Baik dari ujung barat hingga ke ujung timur pulau ini.
Lalu bagaimana dengan Jepang? apa yang mereka tau tentang
Gerakan 1 Oktober ini? Dan bagaimana sikap mereka terhadap pembantaain yang terjadi
di sepanjang tahun itu?
Kedutaan Jepang di Indonesia merasa kaget setelah
beberapa jam terjadi pembunuhan. Pasalnya Dubes Jepang di Indonesia Saito
Shizuo sedang berada di Jawa Tengah menghadiri peresmian pabrik pemintal benang
yang di bangun oleh perusahaan swasta Jepang dan akan bertolak kembali menuju
Bandung. Kabar tentang pembunuhan itupun sampai di telinga Saito. Segera mereka
semua memutuskan kembali lagi menuju Jakarta pada tanggal 2 Oktober.
Sesampainya di Jakarta, segera Saito berkomunikasi dengan
Dewi dan terus menerus bertukar informasi dengan pihak kedutaan negara-negara
barat. PM Jepang Sato mengirimkan pesan kepada Sukarno yang berisi ungkapan
rasa penyesalan atas usaha pembunuhan terhadap dirinya dan bersyukur mendengar
kabar dirinya masih selamat. Pesan ini disampaikan oleh Dubes Saito pada
tanggal 12 Oktober dan berkesempatan membicarakan perihal insiden itu.
Yang menarik adalah pengakuan Sukarno pada saat
berbincang dengan Saito pada kesempatan itu. Ia (Sukarno) menolak tuduhan atas rumor
bahwa ada intervensi dari pihak Tiongkok dalam hal ini dan malah memandang
curiga kepada pihak Amerika Serikat karena beberapa hari sebelum peristiwa
terjadi seluruh staf Kedubes AS telah direncanakan untuk dievakuasi.
Sampai disana Saito mendapat kesan bahwa Sukarno masih
bisa di jadikan pegangan sebagai tokoh yang dapat menstabilkan keadaan di
Indonesia. Mengingat bahwa sampai sejauh ini belum ada orang yang bisa secara
posisioning berdiri sama tegak dengan posisi Sukarno. Jepang pun di nilai oleh
AS dengan ungkapan orang yang masih terhipnotis oleh sihir Sukarno sebagai
orang yang paling “penting” dan sangat berhati-hati untuk tidak memusuhinya.
Bagi Amerika— yang sedari awal sangat tidak suka terhadap
gaya kepemimpinan Sukarno—tinggal menunggu waktu yang pas hingga Angkatan Darat
mampu menjadi otoritas politik yang kuat dan bisa mengendalikan arah kebijakan
politik Indonesia yang memberikan kesempatan bagi Amerika untuk masuk ke
dalamnya.
Sikap Jepang yang masih percaya terhadap kepemimpinan
Sukarno pun tak berlangsung lama dari sejak Dubes Saito bertemu. Segera Jepang
mencari informasi terkait gerakan-gerakan yang berada di seberang Sukarno.
Hatta dinilai memiliki representasi atas kelompok-kelompok yang anti terhadap
kepemimpinan Sukarno ditambah dengan informasi seorang Mahasiswa Indonesia di
Jepang yang pada saat itu bekerja sebagai wartawan, Alifin Bey.
Saat itulah Jepang mulai mengambil sikap membelakangi
Sukarno. Sesuatu yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Ambiguitas ini di
latarbelakangi oleh modus ekonomi yang membuat Jepang harus mencari aman atas
posisioning negaranya terkait keberlangsungan ekonominya atas di Indonesia
setelah Sukarno dan di mata dunia.
Semangat itu tersirat sejak jauh-jauh hari seperti yang
di ungkap oleh Menteri Luar Negeri -nya sendiri saat pidato di depan para
pengusaha Jepang tahun 1955; pembayaran hutang pampasan perang ini jangan
dilihat sebagai sebuah tanggung jawab dan kewajiban. Ini adalah kesempatan kita
untuk mengambil keuntungan ekonomi atas pembangunan di Asia tenggara.
Pembantaian Massal
Dalam buku ini, Aiko menyatakan dengan nada heran bahwa
masyarakat Jepang tidak banyak yang mengetahui tentang pembantaian massal yang
terjadi di Indonesia setelah peristiwa pembunuhan ketujuh Jendral AD.
Dibuktikan pada saat pemutaran film The Art of Killing besutan karya
sutradara Joshua Oppenhaimer digelar di Jepang pada tahun 2014 lalu. Ada banyak
warga Jepang yang menanyakan sendiri kepada Aiko dengan nada keheranan terkait
peristiwa mengerikan itu.
Tak banyak memang yang bisa diberitakan kepada publik
Jepang saat-saat pembunuhan Jendral itu terjadi. Berita yang muncul pertama di
publik Jepang adalah justru dari laporan seorang kameramen berkebangsaan Jepang
yang sedang memproduksi Film di Indonesia, tepat pada tanggal 2 Oktober ia
pulang ke Jepang dan informasinya di tulis pada hari berikutnya tanggal 3
Oktober.
Selanjutnya surat kabar di Jepang mendapat data terkait
situasi di Indonesia melalui kantor cabangnya di Malaisya dan Singapur,
mengingat mencekamnya situasi pada saat itu sehingga berdampak kepada fasilitas
komunikasi yang sempat terputus/tidak berfungsi.
Kenyataan-kenyataan itu membuat keterlambatan informasi
yang masuk kepada publik Jepang. Aiko bahkan mencatat beberapa momen pengiriman
berita yang secara “kebetulan” bisa di bawa ke Jepang. Seperti menitipkan
kepada mahasiswi Jepang yang sedang study di Indonesia dan akan kembali ke
Jepang pada masa itu. Kemudian mengandalkan beberapa memoar pengalaman
perjalanan staf-staf Kedubes Jepang di Indonesia.
Informasi yang dapat dikumpulkan media Jepang terkait
peristiwa ini baru secara massif di cacat oleh para wartawan Jepang setelah
minggu ke dua terlebih sebenarnya di akhir-akhir tahun 1965 saat suhu politik
Indonesia. Enggel liputan para redaktur surat kabar di Jepang mengarah kepada
pertarungan politik antara Sukarno, PKI dan Angkatan Darat. Sekalipun ada
kenyataan bahwa narasi tentang pembantaian yang di alamai oleh manusia
Indonesia se-Jawa Bali tercatat meskipun tidak banyak.
Tak banyak reaksi dari masyarakat jepang sendiri terkait
pembunuhan massal itu. Yang dalam kaca mata Aiko, masyarakat tak banyak
bersikap terkait pembunuhan itu cerminan dari sikap pemerintahan Jepang sendiri
terkait ini.
Yang dalam anggapan John Rossa, beberapa penulis (baik
produk penelitian-jurnalistik) abai memastikan “nyatanya” pembantaian orang
yang terjadi di Indonesia. Jumlahnya tidak main-main, sekalipun belum ada data
yang pasti karena setiap instansi memiliki versinya masing-masing.
Dengan pasti sikap Jepang berubah setelah peristiwa ini.
Bukannya mengambil langkah yang tepat dan cepat untuk mencegah terjadinya
pembunuhan massal, Kabinet Sato Jepang malah mengirim bantuan ekonomi
kepada kelompok reaksioner yang melawan Sukarno dengan dalil penyelamatan
rakyat Indonesia dari krisis ekonomi.
Ratna Sari Dewi, istri yang sangat dicintai oleh Sukarno
menuturkan bahwa ada bantuan yang diberikan secara massif kepada pemimpin
kelompok mahasiswa anti Sukarno sebesar enam juta yen. Dana ini diberikan
secara tidak resmi (rahasia) kepada Sofjan Wanadi.
Dan setelah tahun-tahun yang gelap ini, sekian banyak
dari kita dapat melihat dengan jelas ekspansi ekonomi Jepang dapat berjalan
dengan mulus hingga ke level yang paling kecil. Bagi kita yang hidup di
generasi 90an, mungkin sudah tak asing lagi dengan berbagai macam komik serta
film manga yang beredar seperti “Doraemon”, “Dragon Ball” dst,. Semua ini
berkaitan dengan kejatuhan Sukarno dimana Jepang juga punya andil besar
terhadap itu. Tabik
25 Oktober 2015, Rawamangun.
0 komentar:
Posting Komentar