Burhan 'kampak', pria berusia 75
tahun, mengaku telah membantai "orang-orang PKI" di Yogyakarta setelah
G30S 1965. "Saat itu, pilihannya membunuh atau dibunuh," ungkapnya. Kini
dia memimpin Front Anti Komunis Indonesia, FAKI, di Yogyakarta.
"Maafkan
saya Pak Haydar. Sudah menunggu lama ya. Saya harus menjemput cucu saya
pulang dari sekolahnya," kata Burhanuddin ZR. Saya yang datang lebih
awal, sahut saya.
Di teras rumahnya, dia kemudian menurunkan cucu perempuannya dari motor bebek dan mempersilakan saya masuk ke ruangan tamu. Pagi itu, Pak Burhan -begitu saya menyapanya- mengenakan kemeja denim dan celana jeans.
Kediamannya tidak jauh dari bangunan Museum Perjuangan Yogyakarta di Kelurahan Brontokusuman, Kecamatan Mergangsan, Yogyakarta.
Tiga tahun silam, sosoknya menjadi
sorotan, setelah majalah Tempo edisi awal Oktober 2012 menulis tentang
"Pengakuan algojo 1965". Burhan disebut sebagai salah-seorang algojo,
tukang jagal orang-orang PKI di Yogyakarta dan sekitarnya.
"Ini daerah basis," ungkapnya seperti setengah berbisik. Saya tidak
bertanya lebih lanjut, tapi saya memahaminya sebagai "basis Partai
Komunis Indonesia, PKI". Saya bukan asli sini, saya dari kampung Kauman,
tambahnya. Di ruangan tamu, yang dibatasi lemari
pajangan dengan berbagai cindera mata, mata saya tertuju pada semacam
cindera mata bergambar mantan Presiden Suharto.
Sebuah jam
dinding dengan tulisan dan logo baret merah Komando Pasukan Khusus alias
Kopassus -pasukan elit Angkatan darat TNI- menempel di salah-satu sudut
dindingnya.
"Itu baret merah, RPKAD (Resimen Pasukan Komando
Angkatan Darat). Saya ada ikatan batin sejak dulu," katanya di sela-sela
wawancara, seraya tangannya menunjuk jam dinding tersebut. "Saya
keluarga besar Kopassus."
Mengapa dipanggil Burhan 'Kampak'?
Tiga tahun silam, sosoknya menjadi sorotan, setelah majalah Tempo
edisi awal Oktober 2012 menulis tentang "Pengakuan algojo 1965". Burhan
disebut sebagai salah-seorang algojo, tukang jagal orang-orang PKI di
Yogyakarta dan sekitarnya.
"Ketika itu, kita bersenjata tajam," ungkapnya, sambil menunjukkan copy majalah tempo itu. Dia mengaku membuat kampak (kapak) yang kemudian diberi tangkai panjang.
"Itu
baret merah, RPKAD (Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat). Saya ada
ikatan batin sejak dulu," katanya di sela-sela wawancara, seraya
tangannya menunjuk jam dinding tersebut.
"Saya keluarga besar Kopassus."
Keterangan waktu "ketika itu" merujuk rentang waktu
antara Oktober 1965 dan 1967, adapun "kita" menunjuk pada kelompok anti
komunis. Dia mengaku aktivis Himpunan mahasiswa Islam (HMI) dan KAMI
(Kesatuan aksi mahasiswa Indonesia) dan Laskar Ampera Aris Margono.
"Wuah,
saya satu-satunya yang membawa kampak panjang," ungkapnya. Tangan
kanan-kirinya merentang, mencoba menggambarkan kira-kira panjang
kapaknya. Setelah peristiwa pembunuhan enam
jenderal Angkatan darat dan satu perwira pada Oktober 1965, demikian dia
selalu tekankan, di Yogyakarta terjadi "perang sipil" antara kelompok
komunis dan anti komunis.
"Pilihannya dibunuh atau membunuh... Lengah sedikit, kita mati... Kita sudah saling berhadap-hadapan..."
Ketika
wawancara berlangsung, sesekali cucu perempuannya muncul dan mengintip
dari balik tirai. Kue manis dan teh hangat disajikan di atas meja. "Ayo
diminum, pak Haydar."
Semula pihaknya dalam posisi tertekan.
Tetapi semuanya menjadi berbalik, ketika pasukan RPKAD dan Kostrad turun
ke Yogyakarta untuk melakukan "pembersihan PKI", katanya.
Dia
kemudian mengungkap salah-satu pengalamannya membunuh seseorang yang
disebutnya anggota PKI. Itu dilakukannya demi menyelamatkan temannya
yang "hampir dibunuh".
Dalam wawancara dengan Tempo, dia mengaku mendapat izin untuk membunuh orang yang dipastikan terlibat PKI. Dia juga mengaku diberi pistol jenis FN.
50 tahun kemudian...
Lima puluh tahun kemudian, bagaimana Anda memandang peristiwa pahit itu dari sudut pandang sekarang? Saya bertanya.
"Sekarang
sudah baik," katanya pelan, namun kemudian buru-buru menambahkan,
dengan intonasi suara agak meninggi, "tapi, akhir-akhir ini mulai
bermunculan."
Dia kemudian menyebut sejumlah nama dan kelompok,
yang disebutnya: "Mulai berulah, dengan memutarbalikkan sejarah bahwa
mereka korban, dan bukan pelaku."
"Jika
bisa dibina, jadi saudara kita. Kalau tidak bisa dibina, kita
binasakan! Daripada bangsa kita untuk ketiga kalinya." Intonasi suara
Burhan meninggi. Tangannya mengepal.
Semenjak keruntuhan rezim Orde Baru, para eks tapol
PKI dan para aktivis HAM melakukan upaya yang disebut sebagai
pengungkapan kebenaran.
Komnas HAM melalui penyelidikannya
menyimpulkan bahwa kasus kekerasan pasca G30S sebagai pelanggaran HAM
berat. Para eks tapol itu kemudian disebut sebagai korban atau
penyintas. Tetapi ini semua ditolak oleh Burhan.
"Ya, pelaku, ya korban," tandasnya. Pembunuhan tujuh jenderal dan satu
perwira pada dini hari 1 Oktober 1965 serta aksi-aksi kekerasan pra-G30S
serta peristiwa Madiun 1948 disebutnya sebagai bukti bahwa PKI sebagai
pelaku.
Karena itu,"Kalau kita disebut melakukan pelanggaran HAM, dia (PKI) lebih dulu melanggar HAM, lebih berat," akunya.
Padahal,
lanjutnya, setelah eks tapol 1965 itu dipulangkan dari pulau Buru,
dirinya menyambut kedatangan mereka dengan menganggapnya sebagai
"saudara sebangsa dan setanah air."
"Jika bisa dibina, jadi
saudara kita. Kalau tidak bisa dibina, kita binasakan! Daripada bangsa
kita untuk ketiga kalinya." Intonasi suara Burhan meninggi. Tangannya
mengepal.
Ketika saya bertanya bukankah banyak orang-orang yang
tidak bersalah kemudian dipenjara, disiksa dan bahkan dibunuh setelah
peristiwa G30S, Burhan menjawab: "Ini resiko, konsekuensi logis, resiko
menjadi anggota partai atau simpatisan partai."
Rekonsiliasi alamiah
Di
Yogyakarta, nama Burhan 'Kampak' dikenal di kalangan aktivis HAM dan
kemanusiaan sebagai pimpinan Front anti komunis Indonesia alias Faki.
Beberapa
kali Faki dilaporkan telah membubarkan berbagai acara yang disebutnya
"hendak memutarbalikkan fakta" dan "hendak menghidupkan kembali PKI."
"Ada
(peserta pertemuan) yang sampai nangis-nangis," ungkap Burhan,
membenarkan bahwa Faki beberapa kali membubarkan diskusi atau pertemuan
di Yogyakarta.
Intonasi suara Burhan kembali naik, saat dimintai komentar wacana permintaan maaf Presiden Joko Widodo kepada korban '65.
Kepada saya, Burhan mengatakan pihaknya akan
memberikan ruang gerak acara diskusi seperti itu, asal "bukan untuk
maksud jahat, misalnya pemutarbalikan fakta."
Dia menilai, pemutaran film Senyap atau The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer merupakan salah-satu contoh "pemutarbalikan fakta."
Menyinggung
keputusan pemerintah yang akan menyelesaikan kekerasan pasca 1965
melalui mekanisme rekonsiliasi, dia menyatakan hal itu tidak perlu
digelar. "Secara alamiah rekonsiliasi sudah terjadi," katanya. Intonasi suara Burhan kembali naik, saat dimintai komentar wacana permintaan maaf Presiden Joko Widodo kepada korban '65.
"Itu
pengkhianatan, kalau Presiden minta maaf," tandasnya seraya
menambahkan, bahwa pihaknya akan menggerakkan massa apabila itu
dilakukan Presiden.
"Kita tidak salah, karena mereka yang salah melakukan pemberontakan, ini sudah jelas," katanya berulang-ulang.
Wawancara akhirnya saya sudahi ketika terdengar suara orang mengaji yang masuk menyelinap ke ruangan tamu.
Suara
itu bersumber dari menara masjid di kawasan Brontokusuman, Yogyakarta,
sebagai pertanda ibadah sholat Jumat akan segera dimulai. Saya
segera minta pamit. Tetapi kesan bahwa kampung itu merupakan "basis PKI"
-seperti diungkapkan Burhannudin- pelan-pelan makin sirna seiring suara
orang mengaji dari menara masjid itu mengambang di lorong-lorongnya.
0 komentar:
Posting Komentar