Christine Franciska & Endang Nurdin | Wartawan BBC Indonesia | 7 Oktober 2015
Anzi Mata, mahasiswi di Yogyakarta.
Generasi Z, begitu orang-orang menyebutnya, adalah generasi-generasi muda digital yang tumbuh di tengah keterbukaan informasi. Ketika hidup mereka tak lagi dipengaruhi oleh doktrin pemerintah, bagaimana mereka menyikapi sejarah masa lalu?
Siang itu BBC Indonesia bertemu dengan Anzi Mata, mahasiswa asal Yogyakarta yang berusia 19 tahun.
Di Yogyakarta dia bermukim selama beberapa tahun terakhir. "Saya lahir di Bogor, terus pindah ke Bandung, pindah lagi ke Bogor, lalu ke Kendari, Makassar, Magelang, terakhir Yogya," kata Anzi ketika diminta menceritakan tentang dirinya.
Maklum, profesi ayahnya membuat Anzi dan keluarga sering hidup berpindah-pindah.
Lahir tahun 1996, Anzi tidak merasakan kehidupan zaman Orde Baru ataupun reformasi dan kerusuhan yang terjadi pada masa penghujung rezim itu.
Dia juga tak pernah tahu apa yang terjadi pada 1965. Anzi baru mempelajari peristiwa 1965 dari buku sejarah ketika dia duduk di kelas lima sekolah dasar.
Ketika itu logika Anzi mempertanyakan, "Kok enggak make sense (masuk akal). Saat itu PKI sedang jaya-jayanya, kenapa mereka melakukan hal yang bodoh sekali, melakukan kudeta? Padahal mereka tidak ada latar belakang militer untuk menghabisi tujuh jenderal."
Anzi yang dekat dengan lingkungan militer mengatakan bahwa doktrin sejarah itu masih sangat kuat. "Bahwa stigma PKI terlarang dan kejam, nenek saya juga sempat bilang begitu, juga karena ada filmnya."
Namun berbeda dengan generasi sebelumnya, anak muda seperti Anzi--yang disebut sebagai digital natives atau kaum millennial--hidup di era keterbukaan informasi dan teknologi.
Anzi--yang sudah mengenal internet dan memiliki akun Friendster sejak kelas empat--lantas mencari jawaban tentang peristiwa 30 September di dunia maya, terutama dengan mengikuti diskusi di forum-forum online.
Keingintahuannya semakin besar saat masuk SMP setelah membaca bukuPenembak Misterius, karya Seno Gumira Ajidarma.
Melalui internet, Anzi menemukan banyak fakta yang saling bertentangan. Ada yang membenarkan peristiwa itu terjadi seperti layaknya buku sejarah, ada juga yang tidak.
"Saya merasa ini adalah sifat dasar manusia untuk mencari tahu, membandingkan, menganalisa dengan logika. Saya kumpulkan dan lalu menyimpulkan," kata Anzi.
Cerita Anzi, menurut organisasi pergerakan anak muda Pamflet, mewakili cerita-cerita anak muda lain yang mencari jawaban atas sejarah yang diputarbalikkan.
Anak-anak muda ini kritis dan akan mencari jawaban, kata Pamflet.
Tapi apakah banyak juga yang apatis?
"Kita tidak bisa bilang apatis, karena banyak anak muda yang sebetulnya belum terpapar. Mereka bukan tidak peduli terhadap pelanggaran HAM masa lalu, tetapi mereka tidak tahu isunya," jelas Fahmi Nur Ichsan dari Pamflet.
"Begitu mereka tahu permasalahannya, mereka biasanya lebih aktif untuk mencari jawaban."
Beberapa bulan lalu, Pamflet mereka mengadakan kompetisi Reinovasi Memori, yang mengajak anak muda merefleksikan kasus pelanggaran masa lalu dengan media yang beragam.
"Banyak anak muda tertarik dan menginterpretasikannya, bukan hanya kasus G30S tapi juga kasus-kasus pelanggaran HAM di daerah mereka," kata Fahmi.
Tapi apa untungnya bagi mereka mempelajari sejarah - yang masih diperdebatkan dan dibelokkan ini?
Bagi Maya Keuning, cucu Ibrahim Isa yang menjadi eksil di Belanda sejarah G30S harus dipahami oleh anak muda untuk belajar dari masa lalu.
Mahasiswa kedokteran tingkat akhir di Belanda ini pertama kali tahu tentang peristiwa 1965 setelah beranjak dewasa.
"Saya baru mengerti setelah dengar cerita dari opa. Cerita sedih dengan banyak orang meninggal. Sangat menyedihkan, orang bisa melakukan ini satu sama lain."
"Bagi anak muda sangat penting (mempelajari sejarah). Bagi saya perlu waktu sampai (bisa) mengerti, ini bagian sejarah yang tidak boleh dilupakan."
Anzi mengatakan sejarah tidak boleh dijadikan propaganda dan anak muda harus belajar kejadian masa lalu dari banyak sumber agar tak mudah dihasut.
"Sebagai manusia, memiliki empati yang harusnya enggak bisa diperdebatkan, kita berbicara soal hak sipil," kata Anzi.
"Bagi saya penting belajar sejarah. Sejarah tidak boleh dijadikan propaganda dan legitimasi politik. Dengan mencari (kebenaran), saya tidak mudah terprovokasi. Tidak salah menyimpulkan sesuatu."
http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/10/150907_lapsus_anak_muda_pki
0 komentar:
Posting Komentar