Oleh : Tempo.co
Jumat, 2 Oktober 2015 19:59
WIB
Amaroso Katamsi, yang
berperan sebagai Suharto, dalam film G30S/PKI. Dok. TEMPO. Maman Samanhudi.
TEMPO.CO, Banyuwangi - Hanif Risa Mustafa dalam
tesis Pascasarjana Program Studi Sejarah Universitas Gadjah Mada berjudul
“Konflik Elit dan Kekerasan Arus Bawah: Pergolakan Politik 1965 di Banyuwangi”
menuliskan, bahwa organisasi kemasyarakatan non-komunis yang membentuk
sejumlah kesatuan melakukan lebih dulu aksi menumpas Partai Komunis Indonesia.
Gabungan Pemuda Ansor dan Pemuda Marhaenisme yang
membentuk Front Bersatu membakar rumah-rumah yang bertuliskan BTI (Barisan Tani
Indonesia) pada 11 Oktober. Empat hari berikutnya, mereka merusak toko-toko
milik anggota PKI di sekitar alun-alun Banyuwangi.
Pada tanggal 16 Oktober, konsolidasi kekuataan kelompok
Nahdlatul Ulama, militer dan Partai Nasional Indonesia menghasilkan sebuah
rapat akbar yang berlangsung di Lapangan Blambangan. Rapat ini, kata Hanif,
berkembang menjadi ajang pendoktrinan masyarakat.
Ribuan massa membanjiri alun-alun dan mendengarkan pidato
beberapa elite masyarakat seperti Komandan Komando Distrik Militer Joko Supaat
Slamet, Abdul Latif Suja’ dari NU dan Soekmadi dari PNI.
Pada rapat akbar itu, Djoko Supaat Slamet menyampaikan
bahwa PKI bertanggung jawab atas para jenderal yang dibunuh dalam Lubang
Buaya.
“Kemudian dilanjutkan oleh Abdul Latif Suja’, yang menyatakan bahwa membunuh PKI sama dengan berjihad melawan orang-orang kafir,” kata Hanif kepada Tempo, Ahad 20 September 2015.
Dua hari setelah rapat akbar tersebut, Gerakan Pemuda
Ansor dan Gerakan Pemuda Marhaen melakukan operasi pembersihan ke Desa
Karangasem yang menjadi basis PKI.
Mereka menaiki 10 truk, 5 jeep dan lima puluh sepedah
motor yang dipimpin oleh Mursid dari Ponpes Minhajut Thullab, Muncar. Rupanya
rencana penyerangan ini sudah didengar oleh warga Desa Karangasem.
Sehingga mereka menyiapkan strategi untuk pertahanan.
Bentrok fisik pun akhirnya tak terhindari, yang mengakibatkan kekalahan dari
Pemuda Ansor dan Marhaen.
Tragedi Karangasem ini makin memicu kemarahan dari
kelompok non-komunis. Berikutnya pimpinan organisasi politik non-PKI seperti
PNI, NU, Katolik, Protestan, Perti, Muhammadiyah dan Al Irsyad mendirikan Badan
Kordinasi Komando Siaga (BKKS).
Kemudian pada tanggal 30 Oktober, BKKS bertransformasi
menjadi Badan Komando Siaga (BKS). BKS dibentuk di setiap desa yang kordinator
utamanya dari pihak militer, khususnya angkatan darat.
“Secara tidak langsung BKS ini menjadi tameng awal TNI , untuk melakukan pembantaian besar-besaran di Banyuwangi secara terstruktur,” kata Hanif yang baru saja lulus kuliah pascasarjana itu.
Seminggu setelah BKS berdiri, kata Hanif, dibentuk pula
pelaksana pembantu utama Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah (Pepelrada) di
Banyuwangi.
Pepelrada pada awalnya dibentuk oleh Presiden Sukarno
dalam dekrit 14 September 1964 yang berfungsi sebagai pengawas dalam semua kegiatan
yang berhubungan dengan Konfrontasi Malaysia. Namun setelah G30S meletus,
Pepelrada beralih fungsi menjadi badan pengawas pelarangan kegiatan partai
maupun organisasi yang terkait dengan PKI. BKS dan Pepelrada tersebut merupakan
cikal-bakal Babinsa pada era Orde Baru.
Selain pelembagaan struktural, muncul pula pasukan lain
bernama “Gagak Hitam” yang bercirikan pakaian serba hitam. Pasukan “Gagak
Hitam” merupakan pasukan gabungan masyarakat sipil yang memiliki keahlian bela
diri.
Kelompok ini melakukan pengejaran dan pembunuhan bagi
mereka yang terkait dan terlibat langsung dalam partai komunis. Gagak Hitam
berada di garda paling depan untuk melakukan eksekusi terhadap orang-orang
tertuduh komunis.
IKA NINGTYAS
0 komentar:
Posting Komentar