Endang Nurdin | Wartawan BBC Indonesia | 1 Oktober 2015
Florensia menangani sekitar 100 sampai 200 pasien di rumah sakit lapangan selama Perang Vietnam.
Pada musim dingin yang menggigit di akhir tahun 1966, seorang dokter perempuan muda Indonesia, memutuskan untuk meninggalkan Rusia setelah lulus beasiswa dari fakultas kedokteran di satu universitas Rusia, yang masuk dalam Uni Soviet saat itu.
Tujuannya adalah Vietnam, dan ditempuh dengan kereta api, melalui Cina dengan total perjalanan sekitar 10 hari.
Tidak ada orang Indonesia lain yang menemani dokter muda yang saat itu berusia 24 tahun dalam mengarungi perjalanan panjang lebih dari 10.000 kilometer itu.
Florensia hampir menamatkan studinya sebagai mahasiswa kedokteran di Universitas Persahabatan Bangsa-Bangsa di Moskow, Rusia, saat mendengar 'terjadi sesuatu' pada bulan September dan Oktober 1965.
Ia termasuk di antara ratusan eksil Indonesia yang saat peristiwa 1965 meletus tengah berada di luar negeri untuk berbagai tujuan, ada yang dikirim sekolah, diutus sebagai diplomat atau menjadi wakil organisasi internasional.
Florensia - yang menamatkan fakultas kedokteran pada 1966- khawatir untuk pulang karena keselamatannya setelah mendengar cerita mahasiswa-mahasiswa lain yang sudah terlebih dahulu kembali ke Indonesia mengalami penyiksaan dan dipenjara.
"Saya hanya mendengar terjadi sesuatu...dan bahwa Presiden Soekarno sakit," kata Florensia.
Jadi dokter militer di Perang Vietnam
Ia dan mahasiswa Indonesia lain diizinkan pihak universitas untuk menyelesaikan studi.
Walaupun sempat bekerja di Rusia, ia dan sejumlah orang Indonesia lain diajak pemuda dari organisasi Vietnam untuk menjadi sukarelawan di negara tersebut.
"Saya bekerja di rumah sakit lapangan. Jadi sewaktu-waktu harus bisa melarikan pasien ke tempat lain, karena kalau ada tanda suara tiit tit, tempat itu akan dibom berarti tempat itu pasti ada mata-mata," kata Florensia.
"Pasien yang datang dari medan perang, datang dengan luka yang tidak baru, jumlahnya sekitar 100 sampai 200 orang, berat sekali urus pasien, obat tak cukup, dan ada bantuan dari Tiongkok dan obat tradisional. Tapi juga tidak cukup."
"Penduduk di Vietnam, diminta untuk menampung satu pasien. Kami membuat sendiri tempat dari bambu dan kasur dari rumput yang kami keringkan dan untuk tempat tidur. Yang tidak ada kaki, kami buatkan tempat tidur dari bambu dengan lubang jadi mereka yang buang air langsung di situ," tambahnya.
"Yang paling berat kalau operasi, obat biusnya kurang. Orang menjerit-jerit, kasian sekali, tapi kami harus menyelamatkan mereka."
Setelah beberapa tahun bekerja sebagai dokter militer di rumah sakit lapangan, Florensia bertemu dengan Suranto, yang juga menjadi sukarelawan di Perang Vietnam dan bertugas mereparasi senjata.
Sama seperti Florensia, Suranto juga menamatkan studi di Universitas Persahabatan Bangsa-Bangsa jurusan teknik mesin.
Selama Perang Vietnam, semua sukarelawan dilatih untuk "tutup mulut, tutup telinga, tutup mata. Tidak boleh menjawab yang tak dikenal, tidak boleh mengatakan apa yang diketahui dan didengar."
'Ayah saya dieksekusi'
"Kami makan batang pohon pisang...sangat miskin saat itu, dan mencari makan untuk pasien juga sangat sulit."
Florensia melahirkan dua putrinya di perbatasan Vietnam-Cina, dan dua bayinya dititipkan ke orang Indonesia lain yang saat itu juga berada di perbatasan kedua negara, sebelum bertolak ke medan perang.
Perjalanan keluarganya dilanjutkan ke Cina pada 1972 setelah Kementerian Pertahanan Vietnam saat itu meminta agar orang asing keluar dari negara itu.
"Saya selalu terpikir kapan bisa pulang, tetapi apa boleh buat. Saya sudah menerima kenyataan terpisah dari keluarga dan mungkin tak bisa bertemu lagi," kata Florensia.
"Saya dengar terjadi pembunuhan luar biasa, termasuk ayah saya dieksekusi setelah mendengar anaknya sekolah di Rusia."
"Kami bukan pelarian politik. Kami terhalang pulang. Presiden Soekarno mengirim kami untuk studi di luar negeri untuk tujuan membangun negeri sendiri. dan pemerintah orde baru meminta kami untuk mengutuk Soekarno. Kami tidak mau. Kalau toh pulang, ya leher ini," kata ibu dua putri yang saat ini berusia 74 tahun.
Florensia, Suranto dan kedua putri mereka tinggal selama 17 tahun di Cina setelah sempat selama empat tahun tidak diizinkan bekerja karena terjadi Revolusi Kebudayaan,
Menjelang normalisasi Cina dan Indonesia pada 1990, Jakarta meminta Beijing untuk memulangkan orang-orang Indonesia yang tinggal di sana.
Namun Beijing menolak dan menawarkan izin tinggal di Cina atau diberi surat perjalanan menuju negara lain.
Florensia dan keluarganya memilih ke Eropa dan tinggal sampai saat ini di Utrecht, Belanda, sampai sekarang.
Ia pertama kali kembali ke Indonesia dan menemui ibu dan adik-adiknya pada 1992 dan telah berkunjung beberapa kali sejak itu.
Florensia dan Suranto termasuk di antara ribuan mahasiswa yang dikirim ke luar negeri pada 1960an untuk apa yang disebut sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI, Asvi Warman Adam "mengejar kemajuan teknologi."
Asvi mengatakan para mahasiswa ini dikirim ke luar negeri ke negara "yang dianggap bisa mentransfer teknologi seperti ke Uni Soviet, Eropa timur dan Tiongkok dengan ilmu yang bisa dipakai untuk pembangunan Indonesia.”
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/150923_indonesia_lapsus_eksil_florensia
0 komentar:
Posting Komentar