PERJANJIAN RENVILLE yang sangat
merugikan rakyat Indonesia akhirnya ditandatangi, pada 17 Januari 1948,
di atas geladak kapal perang Amerika Serikat (AS) USS Renville.
Perjanjian ini diteken oleh Perdana Menteri (PM) Amir Syarifuddin sebagai wakil dari Indonesia, Kolonel KNIL Abdulkadir Widjojoatmodjo sebagai perwakilan Kerajaan Belanda, disaksikan Frank Porter Graham dari AS.
Perjanjian itu berisi tiga poin penting. Pertama, Belanda wilayah kedaulatan Indonesia, di Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera. Kedua, disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan pendudukan Belanda.
Dan ketiga, TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kekuasaannya di wilayah pendudukan Belanda, di Jawa Barat dan Jawa Timur. Akibat poin ketiga ini, pasukan Kodam Siliwangi yang berkedudukan di Jabar harus hijrah ke Jateng.
Akibat perundingan itu, sikap opsisi terhadap kebijakan diplomasi pemerintah semakin kencang. Oposisi yang paling kuat datang dari kubu Tan Malaka, dan Partai Komunis Indonesia (PI) yang sebelumnya mendukung pemerintah.
Saat Tan Malaka di penjara, jaringannya dalam Persatuan Perjuangan (PP) mendirikan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) yang menolak Perjanjian Renville yang telah diteken oleh PM Amir Syarifuddin dan diambil pemerintah.
Reaksi lebih keras juga datang dari PKI. Terlebih setelah biang Pemberontakan PKI 1926-1927 Musso datang melakukan koreksi dan mengambil alih kepemimpinan PKI, partai yang ikut dibesarkan Tan Malaka ini berubah menjadi radikal.
PKI bahkan menuntut pemerintah agar membuka medan pertempuran besar-besaran dengan Belanda. Tuntutan ini tentu saja tidak bisa diterima Soekarno-Hatta yang memang tidak menghendaki adanya pertumpahan darah rakyat lebih banyak.
Pemerintah sadar, bahwa yang bisa mengimbangi PKI dan Musso hanya Tan Malaka. Pada 16 September 1948, Tan Malaka akhirnya dibebaskan dari penjara. Pembebasan ini bukan karena Tan Malaka diputus bersalah oleh pengadilan.
Pembebasan Tan Malaka lebih bersifat politis, sama dengan penangkapannya. Tujuan pemerintah dalam memerdekakan Tan Malaka yang sebenarnya adalah untuk mengimbangi kekuatan PKI dan menjaga kewibawaannya.
Di tengah dinamika yang terjadi, peristiwa besar terjadi di Madiun. PKI dianggap ingin melakukan pemberontakan di Madiun, dan menelikung pemerintahan yang sah. Pemerintah lalu mengeluarkan maklumat, pilih Soekarno-Hatta atau PKI.
Seruan dijawab dengan pilihan Soekarno-Hatta dan PKI dihancurkan di Madiun. Ribuan anggota PKI dibunuh dalam peristiwa ini, termasuk juga warga sipil, dan para tokoh agama. Termasuk tokoh-tokohnya seperti Amir Syarifuddin dan Musso.
Dengan lumpuhnya PKI, pemerintah mulai bisa bernapas lega. Namun disaat pemerintah menyadari PKI tinggal nama, Tan Malaka ternyata sudah bergerak lebih jauh daripada sekedar menyesali perbuatnnya selama di penjara bertahun-tahun.
Beberapa bulan setelah dibebaskan, bersama para pengikutnya Tan Malaka mendirikan Partai Murba, November 1948. Kharisma dan wibawanya masih tampak melekat. Sejak pertama dideklarasikan, anggota partai ini langsung berjumlah 80.000 orang.
Minimum program partai ini merupakan revisi atas minimum program Persatuan Perjuangan. Sedangkan maksimum programnya lebih bersifat filosofis, yakni meluruskan jalan ke arah sosialis masyarakat Indonesia.
Gerakan Tan Malaka dalam Murba, banyak dipusatkan di Solo dan Jogyakarta, kemudian ke Jawa Timur. Dengan dikawal puluhan serdadu, Tan bergerak dalam gelapnya hutan rimba belantara Jawa Timur.
Perjanjian ini diteken oleh Perdana Menteri (PM) Amir Syarifuddin sebagai wakil dari Indonesia, Kolonel KNIL Abdulkadir Widjojoatmodjo sebagai perwakilan Kerajaan Belanda, disaksikan Frank Porter Graham dari AS.
Perjanjian itu berisi tiga poin penting. Pertama, Belanda wilayah kedaulatan Indonesia, di Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera. Kedua, disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan pendudukan Belanda.
Dan ketiga, TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kekuasaannya di wilayah pendudukan Belanda, di Jawa Barat dan Jawa Timur. Akibat poin ketiga ini, pasukan Kodam Siliwangi yang berkedudukan di Jabar harus hijrah ke Jateng.
Akibat perundingan itu, sikap opsisi terhadap kebijakan diplomasi pemerintah semakin kencang. Oposisi yang paling kuat datang dari kubu Tan Malaka, dan Partai Komunis Indonesia (PI) yang sebelumnya mendukung pemerintah.
Saat Tan Malaka di penjara, jaringannya dalam Persatuan Perjuangan (PP) mendirikan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) yang menolak Perjanjian Renville yang telah diteken oleh PM Amir Syarifuddin dan diambil pemerintah.
Reaksi lebih keras juga datang dari PKI. Terlebih setelah biang Pemberontakan PKI 1926-1927 Musso datang melakukan koreksi dan mengambil alih kepemimpinan PKI, partai yang ikut dibesarkan Tan Malaka ini berubah menjadi radikal.
PKI bahkan menuntut pemerintah agar membuka medan pertempuran besar-besaran dengan Belanda. Tuntutan ini tentu saja tidak bisa diterima Soekarno-Hatta yang memang tidak menghendaki adanya pertumpahan darah rakyat lebih banyak.
Pemerintah sadar, bahwa yang bisa mengimbangi PKI dan Musso hanya Tan Malaka. Pada 16 September 1948, Tan Malaka akhirnya dibebaskan dari penjara. Pembebasan ini bukan karena Tan Malaka diputus bersalah oleh pengadilan.
Pembebasan Tan Malaka lebih bersifat politis, sama dengan penangkapannya. Tujuan pemerintah dalam memerdekakan Tan Malaka yang sebenarnya adalah untuk mengimbangi kekuatan PKI dan menjaga kewibawaannya.
Di tengah dinamika yang terjadi, peristiwa besar terjadi di Madiun. PKI dianggap ingin melakukan pemberontakan di Madiun, dan menelikung pemerintahan yang sah. Pemerintah lalu mengeluarkan maklumat, pilih Soekarno-Hatta atau PKI.
Seruan dijawab dengan pilihan Soekarno-Hatta dan PKI dihancurkan di Madiun. Ribuan anggota PKI dibunuh dalam peristiwa ini, termasuk juga warga sipil, dan para tokoh agama. Termasuk tokoh-tokohnya seperti Amir Syarifuddin dan Musso.
Dengan lumpuhnya PKI, pemerintah mulai bisa bernapas lega. Namun disaat pemerintah menyadari PKI tinggal nama, Tan Malaka ternyata sudah bergerak lebih jauh daripada sekedar menyesali perbuatnnya selama di penjara bertahun-tahun.
Beberapa bulan setelah dibebaskan, bersama para pengikutnya Tan Malaka mendirikan Partai Murba, November 1948. Kharisma dan wibawanya masih tampak melekat. Sejak pertama dideklarasikan, anggota partai ini langsung berjumlah 80.000 orang.
Minimum program partai ini merupakan revisi atas minimum program Persatuan Perjuangan. Sedangkan maksimum programnya lebih bersifat filosofis, yakni meluruskan jalan ke arah sosialis masyarakat Indonesia.
Gerakan Tan Malaka dalam Murba, banyak dipusatkan di Solo dan Jogyakarta, kemudian ke Jawa Timur. Dengan dikawal puluhan serdadu, Tan bergerak dalam gelapnya hutan rimba belantara Jawa Timur.
Tan Malaka teguh dengan pendiriannya menolak semua bentuk perundingan,
dan memilih jalur perlawanan rakyat dalam menghadapi Belanda. Melalui
corong radio di Kediri, Tan Malaka menyerukan rakyat melakukan
perlawanan total.
Namun, agitasi Tan Malaka agar rakyat melanjutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan ditafsirkan sebagai perlawanan terhadap pemerintah. Soekarno-Hatta yang tidak menghendaki perang besar terjadi kembali menahan Tan Malaka.
Atas perintah Gubernur Militer Jawa Timur, surat perintah penangkapan atas Tan Malaka dikeluarkan. Tepat 19 Februari 1949, Tan berhasil ditangkap. Sama seperti sebelumnya, Tan tidak pernah diberi kesempatan membela diri di depan pengadilan.
Bahkan, tanpa banyak berdebat, para serdadu yang menahannya langsung mengeksekusinya. Tubuhnya ditembus muntahan peluru senapan para serdadu. Demikian riwayat pejuang yang hidupnya hanya digunakan untuk berjuang.
Semula, mayatnya dikabarkan langsung dibuang ke Sungai Brantas. Tapi belakangan kuburnya ditemukan di Kediri, dan oleh keluarganya sudah dibongkar untuk memastikan benar tidaknya itu jasad Tan Malaka.
Melalui keputusan Presiden RI No 53 tanggal 23 Maret 1963, Tan Malaka ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Sebagaimana layaknya pahlawan nasional, saat hari besar kenegaraan mestinya mendapat kunjungan dari banyak orang.
Namun, itu tidak berlaku bagi Tan Malaka. Kuburnya tidak pernah diketahui, pun siapa pembunuhnya. Dia benar-benar sosok yang misterius. Dia tiba-tiba datang ke tengah jaman yang sudah berubah, lalu mendadak menghilang di belantara konflik.
Kematian Malaka di tahun 1949 seolah membenarkan sebuah tulisan di surat kabar The Tribune, Filiphina, 22 tahun sebelumnya. Pada 16 Agustus 1927, koran terkemuka di Filiphina itu menurunkan berita penangkapan Tan Malaka oleh polisi setempat.
Tan dituduh masuk ke negara itu secara ilegal. Padahal, sejumlah orang percaya polisi setempat mendapat pesan penangkapan dari Pemerintah Hindia Belanda.
Menanggapi penahanan itu, The Tribune menulis, "Tan Malaka muncul hari ini dalam kepala di setiap orang Filiphina sebagai patriot sejati, dan pada suatu ketika, kalau seandainya nasib buruk menimpa dirinya, sebagai martir yang syahid dalam memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya.."
(habis)
Bahan tulisan ‘Peristiwa 3 Juli 1946’ Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia yang disunting M Yuanda Zara dan dilengkapi sumber lainnnya.
Namun, agitasi Tan Malaka agar rakyat melanjutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan ditafsirkan sebagai perlawanan terhadap pemerintah. Soekarno-Hatta yang tidak menghendaki perang besar terjadi kembali menahan Tan Malaka.
Atas perintah Gubernur Militer Jawa Timur, surat perintah penangkapan atas Tan Malaka dikeluarkan. Tepat 19 Februari 1949, Tan berhasil ditangkap. Sama seperti sebelumnya, Tan tidak pernah diberi kesempatan membela diri di depan pengadilan.
Bahkan, tanpa banyak berdebat, para serdadu yang menahannya langsung mengeksekusinya. Tubuhnya ditembus muntahan peluru senapan para serdadu. Demikian riwayat pejuang yang hidupnya hanya digunakan untuk berjuang.
Semula, mayatnya dikabarkan langsung dibuang ke Sungai Brantas. Tapi belakangan kuburnya ditemukan di Kediri, dan oleh keluarganya sudah dibongkar untuk memastikan benar tidaknya itu jasad Tan Malaka.
Melalui keputusan Presiden RI No 53 tanggal 23 Maret 1963, Tan Malaka ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Sebagaimana layaknya pahlawan nasional, saat hari besar kenegaraan mestinya mendapat kunjungan dari banyak orang.
Namun, itu tidak berlaku bagi Tan Malaka. Kuburnya tidak pernah diketahui, pun siapa pembunuhnya. Dia benar-benar sosok yang misterius. Dia tiba-tiba datang ke tengah jaman yang sudah berubah, lalu mendadak menghilang di belantara konflik.
Kematian Malaka di tahun 1949 seolah membenarkan sebuah tulisan di surat kabar The Tribune, Filiphina, 22 tahun sebelumnya. Pada 16 Agustus 1927, koran terkemuka di Filiphina itu menurunkan berita penangkapan Tan Malaka oleh polisi setempat.
Tan dituduh masuk ke negara itu secara ilegal. Padahal, sejumlah orang percaya polisi setempat mendapat pesan penangkapan dari Pemerintah Hindia Belanda.
Menanggapi penahanan itu, The Tribune menulis, "Tan Malaka muncul hari ini dalam kepala di setiap orang Filiphina sebagai patriot sejati, dan pada suatu ketika, kalau seandainya nasib buruk menimpa dirinya, sebagai martir yang syahid dalam memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya.."
(habis)
Bahan tulisan ‘Peristiwa 3 Juli 1946’ Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia yang disunting M Yuanda Zara dan dilengkapi sumber lainnnya.
0 komentar:
Posting Komentar