Jumat, 30 Oktober 2015

Korban Perempuan yang Selamat Bicara Soal Pembunuhan Massal 1965 di Indonesia



Vena Taka. Kakak dan ayahnya ditangkap pada 1966. “Saya tidak tahu bahwa ayah dan adik saya ditahan, atau di mana mereka dibunuh. Bahkan di mana mereka dikuburkan, saya tidak tahu.” Foto dari Asia Justice and Rights.

Asia Justice and Rights melakukan serangkaian wawancara dengan 26 perempuan yang selamat dari pembunuhan massal dan berbagai bentuk kekerasan di Indonesia selama pembersihan anti-komunis yang diperbuat oleh militer pada 1965.

Lima puluh tahun telah berlalu sejak tentara menangkap ratusan ribu komunis dan simpatisan mereka yang dicurigai sebagai bagian dari kampanye untuk menyelamatkan negara dari bencana komunisme. Diperkirakan setengah juta orang tewas selama histeria anti-komunis dan bahkan lebih banyak dari itu orang Indonesia yang menderita “penyiksaan, penghilangan paksa, pemerkosaan, perbudakan seksual, dan kejahatan kekerasan seksual lainnya, perbudakan, penangkapan sewenang-wenang, dan penahanan, pemindahan paksa, dan kerja paksa” setelah 1965. Tentara mengaku hanya membalas dendam sembari menuduh komunis yang pertama kali menyerang pasukan pemerintah.

Jenderal Suharto bertahta di tampuk kekuasaan sepanjang masa itu dan terus-terusan jadi pemimpin di Indonesia sampai 1998, ketika pemberontakan rakyat memaksanya mengundurkan diri. Selagi berkuasa, Suharto tidak mengizinkan media, akademisi, atau masyarakat mendiskusikan atau menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi pada 1965. Hal itu hanya terjadi setelah kejatuhannya, saat para saksi dan korban muncul untuk berbagi cerita.

Pada 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia menyatakan bahwa tentara melakukan pelanggaran HAM berat pada 1965.

Agustus silam, Presiden Jokowi mengusulkan pembentukan komisi rekonsiliasi untuk mengatasi masalah yang belum terselesaikan terkait dengan pembantaian 1965. Kepentingan untuk mengabadikan peninggalan Soeharto tampak jelas, kiranya, ketika partai-partai politik terbesar di Indonesia dan pihak militer menolak usul Jokowi.

Bulan ini, sebuah festival sastra yang bermaksud menggelar sesi berbagi cerita mengenai apa yang terjadi pada 1965 dibatalkan karena tekanan dari pemerintah.

Tapi biarpun pemerintah ragu-ragu untuk melihat kembali dan merenungkan pelajaran dari pembantaian 1965, banyak orang dan beragam kelompok di Indonesia siap untuk menggali lebih dalam ke masa lalu dan mencari keadilan atas nama korban kekerasan dan kejahatan lainnya terhadap kemanusiaan.
Sebuah Pengadilan Kemanusiaan Internasional akan dihelat di Den Haag bulan depan untuk menyelidiki tanggung jawab pemerintah Indonesia dalam kekerasan 1965.

Sementara itu, penelitian yang dilakukan Asia Justice and Rights mengusik kepedihan untuk belajar tentang bagaimana orang-orang biasa yang puluhan tahun mengalami kekerasan dan diskriminasi selama rezim Suharto. Banyak di antara korban perempuan yang selamat merupakan istri atau anak perempuan dari para tahanan politik dan mereka yang diduga simpatisan komunis. Kisah-kisah mereka mengingatkan kita bahwa pencarian kebenaran dan keadilan terus menjadi tuntutan politik penting yang belum terpenuhi di Indonesia.


Frangkina Boboy. Ayahnya diduga terlibat dengan Partai Komunis, dan ditangkap dan ditahan pada 1965. "Ayah saya memiliki tanah di Lasiana -sebuah rumah dan sawah - tetapi karena dia dituduh sebagai komunis, keluarganya mengambil itu semua. Kami tidak memiliki apa-apa lagi, dan harus tunduk di atas tanah yang sebenarnya dimiliki oleh orang tua saya." Foto dari Asia Justice and Rights.
Frangkina Boboy. Ayahnya diduga terlibat dengan Partai Komunis, dan ditangkap dan ditahan pada 1965. “Ayah saya memiliki tanah di Lasiana -sebuah rumah dan sawah – tetapi karena dia dituduh sebagai komunis, keluarganya mengambil itu semua. Kami tidak memiliki apa-apa lagi, dan harus tunduk di atas tanah yang sebenarnya dimiliki oleh orang tua saya.” Foto dari Asia Justice and Rights.

Migelina A. Markus, ditahan pada 1965 bersama dengan kedua orang tuanya dan kedua adiknya. "Tragedi '65 membuat kami kehilangan orang tua kami, kakak saya, dan ada banyak penghilangan tanpa pengadilan atau bukti [yang menunjukkan] mereka telah mengkhianati negara atau bangsa ini. Saya ingin bersaksi sehingga orang tahu kebenaran tentang peristiwa yang kami alami." Foto dari Asia Justice and Rights.
Migelina A. Markus, ditahan pada 1965 bersama dengan kedua orang tuanya dan kedua adiknya. “Tragedi '65 membuat kami kehilangan orang tua kami, kakak saya, dan ada banyak penghilangan tanpa pengadilan atau bukti [yang menunjukkan] mereka telah mengkhianati negara atau bangsa ini. Saya ingin bersaksi sehingga orang tahu kebenaran tentang peristiwa yang kami alami.” Foto dari Asia Justice and Rights.


Suami Lasinem ditangkap dan disiksa pada 1969, dan akhirnya dikirim ke Pulau Buru. "[Suami saya] dijemput oleh tentara, teman-temannya sendiri, dan dibawa ke kantor desa (Kelurahan). Ia dipukuli, duduk terikat di kursi dan dipukuli. Punggungnya diinjak-injak sampai ia terluka parah. Awalnya saya bingung dan ciut, ketakutan, dan saya menyadari bahwa saya telah kehilangan pelindung saya, dan sumber nafkah saya. Bagaimana dengan anak-anak saya? Mereka perlu makan! ... Saya masih terluka karena saya ingat hal-hal yang terjadi di masa lalu ... Masih ada luka di hati saya." Foto dari Asia Justice and Rights.
Suami Lasinem ditangkap dan disiksa pada 1969, dan akhirnya dikirim ke Pulau Buru. “[Suami saya] dijemput oleh tentara, teman-temannya sendiri, dan dibawa ke kantor desa (Kelurahan). Ia dipukuli, duduk terikat di kursi dan dipukuli. Punggungnya diinjak-injak sampai ia terluka parah. Awalnya saya bingung dan ciut, ketakutan, dan saya menyadari bahwa saya telah kehilangan pelindung saya, dan sumber nafkah saya. Bagaimana dengan anak-anak saya? Mereka perlu makan! … Saya masih terluka karena saya ingat hal-hal yang terjadi di masa lalu … Masih ada luka di hati saya.” Foto dari Asia Justice and Rights.


Kadmiyati sedang belajar di sekolah pendidikan guru di Yogyakarta pada 1965 ketika ia ditangkap. "Kapan akan ada keadilan? Siapa yang sadis dan kejam? Komunis? Atau pelaku pembunuhan? [Kita harus] menemukan kebenaran." Foto dari Asia Justice and Rights.
Kadmiyati sedang belajar di sekolah pendidikan guru di Yogyakarta pada 1965 ketika ia ditangkap. “Kapan akan ada keadilan? Siapa yang sadis dan kejam? Komunis? Atau pelaku pembunuhan? [Kita harus] menemukan kebenaran.” Foto dari Asia Justice and Rights.


Hartiti. Ditangkap pada 1966, salah satu anaknya meninggal karena penyakit tatkala dia ditahan. "Anak pertama saya sudah cukup dewasa untuk mengerti penderitaan ibunya. Dia berpikir tentang hal itu sampai dia meninggal. Dia juga sering mendengar berita tentang saya. Dia meninggal karena dia mendengar orang-orang mengatakan hal-hal yang menyakitinya." Foto dari Asia Justice and Rights.
Hartiti. Ditangkap pada 1966, salah satu anaknya meninggal karena penyakit tatkala dia ditahan. “Anak pertama saya sudah cukup dewasa untuk mengerti penderitaan ibunya. Dia berpikir tentang hal itu sampai dia meninggal. Dia juga sering mendengar berita tentang saya. Dia meninggal karena dia mendengar orang-orang mengatakan hal-hal yang menyakitinya.” Foto dari Asia Justice and Rights.


Oni Ponirah. Dia baru 17 tahun ketika ditangkap pada 1965. "Saya diberitahu saya hanya dibawa untuk ditanyai. Ternyata saya ditahan selama 14 tahun. Dari tahun 1965 sampai akhir Desember 1979 ... Kami tidak pernah mendapat keadilan. Saya berharap pemerintah akan meminta maaf kepada para korban." Foto dari Asia Justice and Rights.
Oni Ponirah. Dia baru 17 tahun ketika ditangkap pada 1965. “Saya diberitahu saya hanya dibawa untuk ditanyai. Ternyata saya ditahan selama 14 tahun. Dari tahun 1965 sampai akhir Desember 1979 … Kami tidak pernah mendapat keadilan. Saya berharap pemerintah akan meminta maaf kepada para korban.” Foto dari Asia Justice and Rights.

Seluruh foto buatan Asia Justice and Rights, diposting ulang dengan izin.

0 komentar:

Posting Komentar