MENGINGAT tanggal 30 September, membawa
pikiran saya ke situasi sekitar setengah abad yang lalu ketika paspor
kami dinyatakan tidak berlaku lagi oleh penguasa di Jakarta (pada
Januari 1966). Pasalnya, kami dituduh sebagai agen G30S di luar negeri
serta melakukan subversi.
Foto saya dimuat di koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yuda,
dengan huruf-huruf besar di bawahnya: GANTUNG IBRAHIM ISA. Penguasa
militer di Jakarta ketika itu amat marah dan geram. Tapi apa alasannya?
Pada Mulanya
Sebelum Gestok, profesi saya adalah
wakil Indonesia di Sekretariat Tetap AAPSO (Afro-Asian People’s
Solidarity Organization) di Kairo, Mesir sejak tahun 1960. Sekretariat
Tetap AAPSO adalah sebuah Badan Pimpinan Harian dari AAPSO. Dalam
Sekretariat Tetap ini, terdapat juga wakil-wakil dari Mesir, RRT,
Jepang, India, Indonesia, Vietnam Selatan, Tanzania, Aljazair, Guinea
dan Kamerun. AAPSO, didirikan pada tahun 1957 sesudah Konferensi Pertama
Setiakawan Rakyat-Rakyat Asia Afrika di Kairo, Mesir.
Sebagai Sekretaris Komite Perdamaian
Indonesia, beberapa kali, kami mewakili Indonesia di berbagai konferensi
internasional untuk perdamaian. Pada awal musim panas tahun 1965,
sebagai salah satu persiapan Indonesia menyelenggarakan Konferensi
Bandung Ke II, saya ambil bagian dalam Misi Safari Berdikari Pemerintah
Republik Indonesia, mengunjungi 14 negeri-negeri Afrika dan Timur
Tengah, dalam kapasitas sebagai Penasihat Menlu RI Subandrio.
Ketika saya berada di Jakarta pada bulan
Oktober 1965, saya melihat keadaan jungkir balik di Indonesia. Saat
itu, sudah ada undangan untuk menghadiri Konferensi Solidaritas
Asia-Afrika-Amerika Latin di Havana. Saya sudah memperhitungkan pasti
pemerintah Indonesia tidak akan mengirimkan delegasi yang saya pimpin,
sebab ini delegasi rakyat, yang isinya banyak simpatisan kiri dan sudah
banyak di antaranya yang ditangkap atau hilang. Kami tidak akan mendapat
dukungan sama sekali dari tanah air.
Pada Desember 65, saya menjelaskan
kepada panitia organisasi bahwa di Indonesia terjadi pergolakan,
sehingga tidak akan mampu mengirim orang ke Havana. Lalu, panitia
mengatakan, kalau begitu Bung Isa saja yang mewakili karena Bung
mewakili Indonesia di Kairo untuk Gerakan Asia-Afrika. Saya jawab, saya
tidak bisa sendiri, mesti bersama-sama dengan yang lain. Kebetulan
banyak teman lain yang ada di luar negeri. Saya meminta kepada mereka,
akhirnya ada tujuh atau delapan orang membentuk delegasi Indonesia, dan
berangkatlah kami ke Havana.
Dua Delegasi
Di Havana, tiba-tiba datang delegasi
lain dari Indonesia, diketuai oleh Brigjen Latief Hendraningrat. Saya
melihat komposisi delegasi ini, ketuanya jenderal, salah satu orang
terpenting Letkol, yang lain-lain saya tidak kenal. Saya jelaskan pada
panitia. bahwa ini bukan delegasi rakyat, tapi dikontrol militer.
Dilemanya, Latief adalah teman saya. Ia
anggota parlemen komisi luar negeri, mewakili PNI (Partai Nasional
Indonesia), tapi masih jenderal. Secara hirarkis, ia di bawah Soeharto.
Ketika ketemu Pak Latief, saya bertanya apa yang mau dibicarakannya
dalam konferensi.
Dia bilang: “Saya garis PNI, garis Presiden Sukarno,
anti imperialisme, ganyang.” Saya tahu, dia tidak jujur dengan
penjelasan ini. Karena itu saya jawab, panitia di Havana tidak mau
dengar tentang itu. Mereka tahu ada pergolakan di Jakarta dan mereka
ingin tahu bagaimana Presiden Sukarno. Sebab Presiden Sukarno diketahui
sebagai tokoh yang mendukung gerakan kemerdekaan. Karena dia bilang
tidak bisa menjelaskan hal itu, saya bilang saya yang akan menjelaskan.
Tapi dia bilang tidak bisa. Tidak tercapai sepakat, maka diajukanlah ke
komite. Komite akhirnya memutuskan untuk menerima perwakilan yang
dipimpin oleh saya.
Selanjutnya sebagai Ketua Delegasi
Indonesia dalam Konferensi Trikontinental, Havana, saya berpidato di
muka kurang lebih 1000 hadirin yang terdiri dari para delegasi
organisasi pejuang kemerdekaan anti kolonialisme, neo-kokonialisme dan
imperialisme, dan wartawan internasional. Saya mengungkapkan apa yang
sesungguhnya terjadi di Indonesia. Yaitu naik panggungnya suatu
kekuasaan militer di bawah jendral Suharto yang mulai menggerogoti
Presiden Sukarno.
Kontan saja, Jakarta marah sekali. Di Jakarta hanya ada dua koran, Berita Yuda dan Angkatan Bersenjata.
Di situ dimuat bahwa Isa ini adalah orangnya G30S yang berada di luar
negeri, melakukan subversi, menjelek-jelekkan Indonesia, dan sebagainya.
Itulah yang menyebabkan paspor saya dan teman-teman dicabut tanpa
proses, tanpa ditanya.
Getir. Karena paspor saya dicabut,
dibatalkan. Pada permulaan Januari 1966, di Havana, berlangsung
konferensi internasional untuk rakyat bangsa-bangsa Amerika Latin.
Konferensi penting yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi
termasuk organisasi kami di Kairo, di mana saya duduk sebagai wakil
Indonesia. Tapi, saya menerima berita duka.
Namun, kemudian ada penghiburan juga
bagi kami, karena tiba-tiba Presiden Fidel Castro memerlukan mengunjungi
teman-teman Delegasi Indonesia, di kamar kami di Hotel Habana Libre.
Kunjungan ini merupakan suatu pernyataan politik penting Presiden Castro
untuk menunjukkan bahwa Kuba berada di pihak rakyat Indonesia. Fidel
Castro menawarkan fasilitas dan memberikan kami paspor Kuba, setelah
mengetahui bahwa paspor kami dicabut oleh rezim militer Jakarta.
Sekitar setahun kemudian, atas undangan
Tiongkok, saya pindah ke Beijing dan bekerja pada sebuah Lambaga Riset
Asia-Afrika di sana. Selama di RRT kegiatan utama saya adalah
mengadakan penerbian mingguan Suara Rakyat Indonesia dan OISRAA
Bulletin dalam bahasa Inggris. OISRAA adalah Organisasi Indonesia Untuk
Setiakawan Rakyat Asia-Afrika. Penerbitan tersebut memberikan informasi
mengenai perkembangan politik Indonesia, mengkritik rezim Orde Baru dan
mendukung Presiden Sukarno.
Pada akhir 1986, saya pindah ke Belanda
dengan mengajukan permintaan suaka politik, yang diterima oleh
pemerintah Belanda. Bersama kawan-kawan lainnya, kami mendirikan Yayasan
Asia Studies.
Apakah saya menyesal? Tidak. Saya tidak
menyesal. Kalau kita berbuat demi cita-cita yang kita anggap benar,
adil, dan mulia, itu pasti ada risikonya. Ini saya anggap sebagai risiko
yang harus dihadapi.
Ibrahim Isa, telah menulis tiga buku yang diterbitkan di Jakarta (Suara Seorang Eksil, Bui Tanpa Jerajak Besi dan Kabar dari Seberang).
0 komentar:
Posting Komentar