Agustinus Shindu Alpito • 30 Oktober 2015 16:01
Para tahanan di Bukit Duri sedang beraktivitas di luar kamar. (Foto:Dok Pribadi)
Depok: Nama Dialita memang masih asing di telinga. Bahkan, nyaris tidak terdengar. Dialita merupakan akronim dari ‘di atas lima puluh tahun’, sebuah paduan suara yang terdiri dari para perempuan yang empati terhadap korban peristiwa 1965. Dua anggota Dialita, Utati dan Mudjiati, mengalami langsung peristiwa itu dan sempat dipenjara di Bukit Duri selama lebih dari satu dekade.
Para penyintas dari peristiwa 1965 memang punya kisah masing-masing, yang tentu sangat berharga sebagai ‘people history’. Seperti sejarawan Prancis Lucien Febvre menyebutnya 'sejarah yang dilihat dari bawah bukan atas'.
Utati, perempuan 71 tahun yang dahulu dijebloskan ke penjara lantaran terlibat dalam aktivitas seni bersama organisasi Pemuda Rakyat menceritakan betapa mirisnya kehidupan mereka saat di kamp konsentrasi. Tapi, ada 'warisan' yang sebenarnya mereka rajut ketika di sana, yaitu karya seni.
Terbentuknya Dialita tidak lepas dari upaya penyelamatan karya lagu yang lahir di kamp konsentrasi. Lagu yang menceritakan betapa besar cinta para tahanan politik (tapol) terhadap Tanah Airnya.
“Itulah justru dianggapnya (lagu-lagu ciptaan tapol) satire. Dalam keadaan begitu (dipenjara) kenapa memuja Tanah Air? Ya, karena kami mencintai negara ini. Yang memerlakukan kami seperti itu kan bukan semuanya,” urai Utati, saat kami temui di kediamannya di Depok.Sejak 2005, bersama Dialita, Utati menelusuri kembali lagu-lagu ciptaan tapol. Tujuannya, untuk kembali merawat harapan, sekaligus sejarah tentang apa yang pernah terjadi di negara ini, agar tak terlupakan begitu saja.
Menelusuri kembali lagu-lagu ciptaan ‘orang dalam’-- begitu kadang-kadang Utati menyebut tahanan politik-- bukan hal mudah. Para tahanan tidak diperkenankan mempunyai alat tulis. Para tapol tidak memiliki cara untuk mengabadikan lagu ciptaannya, selain menghafal dalam kepala.
Koesalah Toer dan Utati. (Foto: MTVN/Agustinus Shindu Alpito)
“Pelan-pelan lagu itu saya tulis kembali. Perlu waktu untuk mengingat. nanti kalau ketemu Ibu Mudjiati, diingat bersama-sama. Kalau nada lagu kami biasanya ingat, tapi lirik itu yang sulit,” kata Utati.
“Kalau pensil itu enggak bakalan (diizinkan untuk dimiliki tapol Bukit Duri). Buku juga enggak boleh masuk kecuali buku agama. Jadi yang dibaca oleh kami itu buku agama. Majalah saja dulu pernah ada yang mau memberikan majalah Kartini saja enggak boleh,” lanjut perempuan yang masih tajam ingatannya itu.Sebelum Dialita dibentuk, tidak ada upaya untuk mengarsipkan lagu-lagu tersebut, hingga akhirnya perlahan lenyap. Lagu-lagu yang berhasil dikumpulkan Dialita adalah lagu yang berhasil diingat oleh para Utati dan teman-temannya.
Saat ini, sekitar 20 lagu berhasil dikumpulkan Dialita. Lagu-lagu itu berasal dari mereka yang pernah mendekam di Penjara Bukit Duri, Plantungan, Salemba, dan Ambarawa. Menurut Utati, masih banyak lagu yang belum bisa ditelusuri hingga kini. Sebabnya antara lain ingatan mereka akan lagu tersebut mulai memudar, dan para eks tapol yang pernah membuat karya lagu kini tersebar entah di mana.
Utati juga menyebut nama seorang temannya, sesama penghuni penjara Bukit Duri, yang sebenarnya punya pengetahuan musik cukup baik dan bisa membantu pengarsipan karya-karya para eks tapol, tetapi temannya itu sudah tidak bisa dihubungi.
“Keluarganya melarang dia berhubungan lagi sama kami (eks tapol). Mungkin ada posisi (pekerjaan) nya bagus takut kena imbasnya. Padahal zaman kan udah berubah ya. Keluarganya itu mungkin tidak tahu informasi baru,” kata Utati seraya tersenyum.Dialita menyayangkan berbagai karya lagu, terutama yang lahir di Pulau Buru, tidak terarsipkan dengan baik. Hingga kini, menurut Utati hanya Dialita yang fokus terhadap pengarsipan karya cipta lagu para tapol 1965.
“Saya juga menyayangkan (tidak ada kelompok semacam Dialita), padahal banyak lagu dari Pulau Buru. Di sana ada band pimpinanya Pak Martin dan dia dari akademi musik. Di Pulau Buru juga ada Pak Subronto Atmodjo,jagonya musik. Jadi di sana ya bisa jadi membuat segala macam alat musik, membuat gamelan sendiri,” jelas Utati.
Utati bersama seorang cucunya.
Nama Subronto Kusumo Atmodjo di dunia musik pada masa 1950 sampai 1960-an memang populer. Dia adalah pencipta lagu Nasakom Bersatu. Subronto dibuang ke Pulau Buru setelah pulang dari studi di Jerman Timur. Dia mendapat predikat cum laude di Sekolah Musik Hanns Eisler.
Salah satu lagu yang berhasil diarsipkan Dialita adalah lagu berjudul Awan Putih ciptaan Bachtiar Siagian. Nama Bachtiar saat ini mungkin semakin dilupakan, dia adalah sutradara top di zamannya.
Bachtiar berhasil meraih penghargaan sebagai sutradara terbaik dalam ajang FFI tahun 1960. Sayangnya, film-film karya Bachtiar kini sudah lenyap. Pita-pita film Bachtiar dibakar dan habis tak tersisa. Padahal, film karya Bachtiar tersohor sampai luar negeri, antara lain Tiongkok dan Vietnam.
“Dulu kalau ada kerusakan bangunan di Bukit Duri, yang dipanggil untuk memperbaiki ya teman-teman tapol dari Salemba. Mungkin biar penjara tidak keluar ongkos. Sambil bekerja mereka menyanyikan Awan Putih. Kami tertarik dan curi-curi dengar karena kami tidak boleh berkomunikasi. Besok saat mereka datang lagi, kami minta catatan lagunya secara sembunyi-sembunyi.”
Koesalah Toer dan Utati. (Foto: MTVN/Fitra Iskandar)
Beberapa lagu yang berhasil dikumpulkan Dialita antara lain lagu berjudul Ibu, Indonesia Jaya, Buruh Wanita (ketiganya ciptaan Utati), Tetap Senyum Menjelang Fajar(Masye Siwi & Zubaidah Nungtjik), Salam Harapan (Dra. Murtiningrum & Zubaidah Nungtjik), Relakan (Sudiyamik & Zubaidah Nungtjik), dan Ujian (Juswati Adjitorop). Lagu itu diciptakan tapol dari Penjara Bukit Duri.
Kupandang Langit (Koesalah Soebagyo Toer, dari Penjara Salemba), Awan Putih(Bachtiar Siagian, dari Penjara Salemba), Pucuk Bambu (Putu Oka Sukanta, Penjara Salemba), Lagu Untuk Anakku (Dra. Heryani Busono Wiwoho & Djuwito, Kamp Benteng Ambarawa), dan Dunia Milik Kita (Soedharmoto).
Lagu yang ciptakan para tahanan laki-laki umumnya bernafas keroncong. Ada pula dangdut. Sedangkan para tahanan wanita mencipta lagu yang bertipe 'paduan suara' seperti lagu-lagu rohani. Di Penjara Ambarawa ada yang membuat lagu qasidah dengan lirik bahasa Arab.
Sejarahnya bermacam-macam. Lagu Relakan diciptakan temannya ketika mengetahui kabar akan dipindahkan dari Bukit Duri.
“Lagu itu dia buat saat mau dipindahkan ke Kamp Plantungan. Tetapi saat itu kalau ada yang ingin dipindahkan, tidak tahu akan dibawa ke mana. Dipindahkan atau mau diapakan, kami tidak tahu,” katanya.Sedangkan lagu Tetap Senyum Menjelang Fajar, menjadi lagu yang dipakai para tahanan untuk menghibur teman yang berulang tahun.
“Pagi-pagi kami datang ke kamar teman yang sedang ulang tahun, kami nyanyikan lagu itu soalnya bosan juga ya menyanyikan Selamat Ulang Tahun. Ya lirik lagu itu berisi harapan kami ya (menyambut masa kebebasan). Kan kami tidak mau terus-terusan di dalam.”
Salah satu catatan lagu karya tapol 65. (Foto:MTVN/Fitra Iskandar)
Satu hal yang disayangkan adalah lagu-lagu itu belum terdokumentasikan dengan baik. Namun, Utati dan teman-temannya masih berupaya meski penuh keterbatasan. Semangat mereka untuk merawat sejarah dan menyuarakan nyanyian para penyintas yang sempat dibungkam sangat tinggi.
“Kami belum mampu mendokumentasikan dengan baik, dan belum rekaman. Memang maksudnya ke sana, lagu-lagu itu akan ditulis dengan sejarah singkatnya,” kata Utati.Dialita masih berharap akan adanya pihak yang ingin membantu mendokumentasikan lagu-lagu itu.
“Justru kami menunggu kalau ada yang mau membantu rekaman. Karena kami kesulitan biaya, paling tidak buku itu bisa terbit teks lagunya dengan disisipkan sejarah-sejarahnya.” (FIT)Sumber: Medcom.Id
0 komentar:
Posting Komentar