Jumat, 02 Oktober 2015

Gerwani dan Pembunuhan Identitas


2/10/2015 - Rendi Lustanto
(Mahasiswa Jurusan Ilmu Filsafat, FIB, Universitas Indonesia)
rendi95lustanto@gmail.com


Rendi Lustanto

Jika kita mengingat bulan September tepat 50 tahun lalu, akan ada memori yang kelam dan menimbulkan luka baik secara lahiriah ataupun batiniah. September 1965 merupakan bulan dimana sejarah kelam bangsa ini terukir di benak masyarakat, saat otoritas yang dikuasai nafsu untuk merebut kekuasaan melancarkan aksi yang membabi buta. Sangat ironis, karena aksi itu dilegalkan oleh suatu institusi yang seharusnya mengayomi warganya. Istitusi itu bernama “Negara”, sekelompok manusia yang mengklaim menolak eksistensi sebuah ideologi, mereka melakukan pelanggaran HAM berat, yang sudah memusnahkan saudara mereka sendiri, tanpa rasa bersalah ataupun rasa berdosa sekalipun.

Sekarang diusia Republik ini yang mencapai tujuh dasawarsa, seolah-olah tak berdaya untuk menuntaskan utang kemanusiaannya pada masyarakatnya. Padahal para korban kebiadaban sebuah orde ketika itu, saat ini masih memendam memori hitam kelam, mungkin akan mereka bawa sampai akhir hayatnya, dan kini mereka berteriak menuntut keadilan. Mereka yang dicap sebagai anggota partai terlarang ataupun simpatisan yang membantu urusan partai tersebut diberangus, tak terkecuali para wanita-wanita yang saat itu sedang memperjuangkan kesetaraan, memperjuangkan hak-hak bagi kaum wanita yang masih terbelenggu dalam penjara patriarki kehidupan.

Para wanita yang berwadah dalam organisasi yang bernama Gerwani, saat itu mereka menjadi target pencarian dari sebuah operasi yang diklaim untuk membersihkan pengaruh ideologi terlarang di negeri ini. Pada saat itu Gerwani dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, gerwani dituduh membantu melakukan gerakan terlarang yang terjadi pada tanggal 30 september 1965.

Peristiwa ini seolah-olah menjadi hembusan angin kematian bagi kader-kader gerwani, mereka dituduh terlibat dalam peristiwa pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya. Media menggembar-gemborkan bahwa mereka  melakukan tarian-tarian erotis harum bunga dan memotong alat vital para jenderal sebelum dimasukkan ke dalam sumur tua.

Propaganda-propaganda yang dilakukan oleh Orde Baru saat itu sangat berhasil, kultur patriarki yang sangat kental dalam masyarakat Indonesia telah menjadi faktor utama mudahnya masyarakat menerima propaganda itu. Hubungan sosial politik terentang pada simbol-simbol kelelakian yang menyubordinasi kaum perempuan, berita mengenai alat kelamin yang menjadi dignity kaum laki-laki yang disayat-sayat seakan-akan memunculkan kesadaran untuk melakukan tindakan pembalasan yang berujung pada pemusnahan.

Apakah sehina dan sebiadab itukah mereka? Mereka merupakan sekelompok wanita yang memiliki tujuan yang mulia, hati mereka terpanggil untuk menyuarakan penolakan pengekangan terhadap perempuan, mereka memperjuangkan hak-hak kaum wanita. Agar tetap dapat bertahan hidup, mereka harus membunuh identitasnya sendiri untuk mendapatkan topeng baru sehingga eksistensinya di dunia ini tetap ada. Kaum perempuan yang menjadi target dari pencarian ini disebut sebagai Tapol (tahanan politik).

Kehadiran mereka di masyarakat seolah-olah bagaikan bara api yang akan membakar suatu peradaban. Hanya orang-orang yang terketuk hati nuraninya bersedia untuk menerima mereka, walaupun sebenarnya orang yang menerima para tapol itu pun merasa takut jika terkena imbas dari perilaku mulianya. Apakah kondisi seperti ini layak disebut merdeka?
Untuk keluar sekadar menghirup udara segar pun mereka harus berpikir seribu kali. Banyak diantara mereka yang melakukan penyamaran agar identitas mereka tidak diketahui. Banyak yang menjadi penjual kopi atau penjual kain, padahal mereka merupakan wanita yang mempunyai intelektualitas yang tinggi.

Aktivis-aktivis perempuan yang tertangkap itu kemudian dibawa ke Kamp Plantungan, yang merupakan kamp tahanan bagi para tapol wanita. Kamp ini berada di Kabupaten Kendal Jawa Tengah, tepatnya berada di lembah Gunung Prahu. Dulu kamp ini merupakan bekas rumah sakit isolasi bagi penderita lepra pada zaman Hindia Belanda. Sewaktu mereka ditahan di kamp tersebut mereka mendapat perlakuan yang sangat mengenaskan, terjadi pelecehan seksual juga kekerasan psikologis yang sampai saat ini terekam dalam memori tua mereka.

Pelecahan seksual dan kekerasan merupakan perlakuan “standar” yang diterima para tapol wanita saat pemeriksaan. Yang lebih menyedihkan, setelah mereka bebas dari kamp tersebut, diskriminasi masih terus berlanjut, bahkan pada kartu tanda penduduk mereka terdapat pasangan huruf mematikan yaitu “ET”, eks tapol. Hal ini mengakibatkan kebebasan mereka dibelenggu, karena yang mereka dapatkan kemerdekaan palsu. Hak-hak mereka sebagai warga negara dienyahkan, mereka tidak memiliki hak dipilih dan memilih, begitu juga hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Serendah dan sebiadab itukah mereka, hingga otoritas negara pun membungkam mereka dengan cara yang sedemikian rupa?

Mungkin para tapol tersebut dianggap memiliki penyakit lepra, namun otaknya yang terkena lepra, jadi mereka perlu disingkirkan seperti orang-orang yang berpenyakit lepra pada umumnya. Sejak saat itu mungkin lembah plantungan mengukir sejarah baru layaknya membuat sebuah peradaban yang baru ,dari mereka para perempuan cerdas yang teraniaya baik fisik maupun mental. Bekas rumah sakit itu menjadi hunian bagi penderita “lepra politik” untuk mengucilkan mereka dari khalayak ramai.
 Mereka dianggap lebih berbahaya daripada penyakit lepra karena menyebarkan virus pemikiran. Tulisan ini merupakan suatu cara untuk melawan lupa terhadap suatu peristiwa yang sangat mengenaskan, yang telah membunuh ratusan ribu saudara-saudara kita pada saat itu.
Tampaknya negara pada saat itu tuli dan bisu, negara melupakan Pancasila sila kedua yang berbunyi “Kemanusian yang Adil dan Beradab”.

Apakah saat itu tindakan otoritas yang berlindung dengan nama besar negara sudah adil dan beradab? Sebuah tamparan sebenarnya, pada saat itu mereka mendengung-dengungkan Pancasila, namun mereka malah merobohkan hakikat Pancasila yang sebenarnya.

Daftar Pustaka
Amurwani Dwi lestari. (2011). Gerwani, Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Hersri Setiawan. (2004). Memoar Pulau Buru. Magelang: Indonesiatera. 

0 komentar:

Posting Komentar