Minggu, 04 Oktober 2015 | 21:28 WIB
TEMPO.CO, Blitar - Aktivis Gerakan Pemuda Ansor, badan otonom di bawah Nahdlatul Ulama, Chudlari Hasyim mengisahkan situasi panasnya situasi sosial-politik di Blitar pada tahun 1965 dan menjelang G30S. Ketika itu, Chudlari adalah pemuda gagah berusia 28 tahun yang mendidih menyaksikan penjarahan hasil bumi oleh gerombolan Pemuda Rakyat, organisai pemuda di bawah Partai Komunis Indonesia.
“Ini tak bisa dibiarkan terus menerus,” ucap Chudlari mengenang masa itu. Chudlari mengisahkan hal ini kepada Tempo yang menemuinya di rumahnya Jl Ploso 6 Kelurahan Plosokerep, Kecamatan Sananwetan, Blitar pada Selasa, 22 September 2015.
“Ini tak bisa dibiarkan terus menerus,” ucap Chudlari mengenang masa itu. Chudlari mengisahkan hal ini kepada Tempo yang menemuinya di rumahnya Jl Ploso 6 Kelurahan Plosokerep, Kecamatan Sananwetan, Blitar pada Selasa, 22 September 2015.
Aksi penjarahan oleh Pemuda Rakyat yang terjadi di tahun 1964 di sejumlah kawasan di Kabupaten Blitar ini hampir terjadi setiap hari. Para pemilik lahan yang pada mulanya rukun mempekerjakan buruh tani untuk menggarap sawah tiba-tiba menjadi korban penjarahan. Mereka datang pada saat panen dan langsung mengambil setengah dari hasil panenan untuk dibagikan kepada anggota Pemuda Rakyat. Menurut Chudlari, hal itu sebagai salah satu manifestasi sama rata sama rasa yang didengung-dengungkan PKI sebagai alasan untuk menjarah.
Bersama dengan aktivis Ansor lain, Chudlari tak pernah berhenti mendiskusikan aksi sepihak itu. Mereka memutuskan untuk melawan perampasan harta kepada warga Nahdliyin ini karena tak bisa lagi ditolerir. Adalah Kayubi dan Abdurahman Sidiq, dua tokoh Gerakan Pemuda Ansor Blitar yang muncul sebagai pioner dalam perlawanan ini. Abdurahman adalah seorang pemikir ulung, sedangkan Kayubi adalah pengatur strategi yang disegani anggota Anshor. Selain itu, Kayubi juga tercatat sebagai pegawai di kantor pemerintah daerah Kabupaten Blitar yang juga akrab dengan para politisi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat.
Menurut Chudlari dua orang itu sangat disegani oleh pemuda Ansor yang rata-rata berusia di bawah mereka. Terlebih lagi tingkat pendidikan formal yang mereka ikuti cukup rendah dengan rata-rata lulusan sekolah dasar. “Saya akhirnya juga dihitung sebagai komandan di kalangan kawan-kawan Anshor karena lulusan SMP,” kata Chudlari.
Kerasnya gemblengan Kayubi kepada pemuda Ansor ini pula yang memicu keberanian mereka untuk melawan ketika massa PKI mulai melakukan aksi sepihak. Perang terbuka untuk pertama kalinya nyaris pecah ketika pemuda Anshor mendengar aksi penjarahan PKI terhadap sebuah ladang persawahan di Kecamatan Gandusari. Kala itu pemilik lahan yang juga warga Nahdliyin meminta bantuan Ansor untuk menghadang massa PKI yang hendak menjarah.
Situasi cukup tegang saat kedua kubu yang masing-masing membawa senjata tajam hanya terpaut sungai dan saling berhadapan. Massa PKI berada di timur sungai, sedangkan pemuda Ansor di barat sungai sambil meneriakkan takbir. Beruntung aksi itu berhasil diredam aparat kepolisian yang datang dan langsung merampas senjata tajam milik massa PKI.
Sadar akan pentingnya membangun kekuatan perang, sejumlah pengurus Cabang Ansor mulai merumuskan pasukan khusus. Hingga pada suatu malam, sebanyak sembilan orang pengurus Ansor tiba-tiba berkumpul di sebuah rumah di Jalan Semeru milik Haji Basuni untuk menggelar rapat. Mereka adalah Kayubi, Abdul Rochim Sidik, Mohamad Ramdan, Danuri Aham, Atim Yanto, Mohamad Fadil, Supangat, Ali Muksin, dan Chudlari Hasyim.
Malam itu sembilan tokoh Anshor membahas strategi perang menghadapi PKI hingga Kayubi mengusulkan dibentuknya Barisan Ansor Serbaguna (Banser). Usulan nama itu sempat dipertanyakan oleh Atim Yanto, khususnya pada penambahan kata “serbaguna”. Kala itu Kayubi dengan berapi-api menjelaskan jika serbaguna ini memiliki makna berani menghadapi PKI secara diplomasi dan berani bertarung secara fisik. Dan malam itu pula para deklarator ini menunjuk Kayubi sebagai Komandan Banser pertama.
Situasi cukup tegang saat kedua kubu yang masing-masing membawa senjata tajam hanya terpaut sungai dan saling berhadapan. Massa PKI berada di timur sungai, sedangkan pemuda Ansor di barat sungai sambil meneriakkan takbir. Beruntung aksi itu berhasil diredam aparat kepolisian yang datang dan langsung merampas senjata tajam milik massa PKI.
Sadar akan pentingnya membangun kekuatan perang, sejumlah pengurus Cabang Ansor mulai merumuskan pasukan khusus. Hingga pada suatu malam, sebanyak sembilan orang pengurus Ansor tiba-tiba berkumpul di sebuah rumah di Jalan Semeru milik Haji Basuni untuk menggelar rapat. Mereka adalah Kayubi, Abdul Rochim Sidik, Mohamad Ramdan, Danuri Aham, Atim Yanto, Mohamad Fadil, Supangat, Ali Muksin, dan Chudlari Hasyim.
Malam itu sembilan tokoh Anshor membahas strategi perang menghadapi PKI hingga Kayubi mengusulkan dibentuknya Barisan Ansor Serbaguna (Banser). Usulan nama itu sempat dipertanyakan oleh Atim Yanto, khususnya pada penambahan kata “serbaguna”. Kala itu Kayubi dengan berapi-api menjelaskan jika serbaguna ini memiliki makna berani menghadapi PKI secara diplomasi dan berani bertarung secara fisik. Dan malam itu pula para deklarator ini menunjuk Kayubi sebagai Komandan Banser pertama.
Langkah awal yang dilakukan Kayubi sebagai komandan Banser adalah mengundang anggota dan pengurus anak cabang Ansor di Blitar untuk mengikuti penggemblengan. Sejumlah kyai dan pendekar silat NU dikerahkan untuk melatih pasukan Banser, tak terkecuali Chudlari. Dia mengaku sempat memiliki ilmu kebal yang diberikan seorang kyai hingga membuat kulit punggungnya tak terluka sama sekali saat disabet celurit.
Alhasil dalam waktu singkat pasukan Banser telah terbentuk di 20 kecamatan di Kabupaten Blitar kecuali Kecamatan Bakung dan wilayah Blitar Selatan yang menjadi basis PKI. Mereka sangat antusias mengikuti penggemblengan dan bertekad bulat menghabisi PKI dari Kabupaten Blitar.
Menurut Chudlari, seluruh persiapan tempur itu dilakukan secara swadaya oleh pengurus Cabang Anshor dan para kyai. Bahkan untuk kebutuhan logistik seperti nasi bagi anggota Banser disiapkan oleh kaum perempuan NU yang tergabung dalam organisasi Fatayat. “Tak ada peran TNI dalam persiapan ini,” katanya.
Aparat militer melalui Kodim dan Koramil hanya memberi kemudahan perizinan bagi Banser untuk melakukan kegiatan pelatihan. Mereka juga tak ikut campur dalam perseteruan itu dan memilih berada di belakang Banser. Tak diketahui pasti apa peranan TNI kepada mereka. Namun yang jelas kala itu Kayubi memiliki sepucuk senjata api berupa pistol yang selalu dibawa kemana-mana.
Kepemilikan senjata api oleh Kayubi ini, menurut Chudlari cukup menjadi penyemangat anggota Banser untuk bertempur. Apalagi berulang kali dia menegaskan bahwa gerakan ini sepenuhnya mendapat dukungan militer meski tak bertindak secara langsung. Chudlari menyebut kedekatan Komandan Kodim Sanusi dengan para kyai NU cukup erat. Bahkan Sanusi dikabarkan kerap mendatangi kediaman Kyai Jamasari, seorang sakti mandraguna di Kecamatan Wonodadi, Kabupaten Blitar. Dari tangan Kyai Jamasari ini pula lahir para algojo yang menghabisi para tokoh PKI di Blitar.
Pergerakan Banser ini tampaknya diendus pula oleh Pemuda Rakyat. Mereka tiba-tiba berkumpul di alun-alun Blitar dan memenuhi seluruh kawasan hingga membuat alun-alun menjadi merah. Tak diketahui persis apa agenda pertemuan besar tersebut. Yang jelas, dua tokoh NU di Kecamatan Kademangan, Blitar dikabarkan telah diculik dan dibantai oleh segerombolan orang yang diyakini sebagai PKI. Mereka adalah Kiai Manun dari Desa Dawuhan dan Kiai Maksum yang merupakan Ketua NU Plosorejo. “Modusnya perampokan yang mengambil harta benda dan menghabisi orangnya,” kata Chudlari.
Aparat militer melalui Kodim dan Koramil hanya memberi kemudahan perizinan bagi Banser untuk melakukan kegiatan pelatihan. Mereka juga tak ikut campur dalam perseteruan itu dan memilih berada di belakang Banser. Tak diketahui pasti apa peranan TNI kepada mereka. Namun yang jelas kala itu Kayubi memiliki sepucuk senjata api berupa pistol yang selalu dibawa kemana-mana.
Kepemilikan senjata api oleh Kayubi ini, menurut Chudlari cukup menjadi penyemangat anggota Banser untuk bertempur. Apalagi berulang kali dia menegaskan bahwa gerakan ini sepenuhnya mendapat dukungan militer meski tak bertindak secara langsung. Chudlari menyebut kedekatan Komandan Kodim Sanusi dengan para kyai NU cukup erat. Bahkan Sanusi dikabarkan kerap mendatangi kediaman Kyai Jamasari, seorang sakti mandraguna di Kecamatan Wonodadi, Kabupaten Blitar. Dari tangan Kyai Jamasari ini pula lahir para algojo yang menghabisi para tokoh PKI di Blitar.
Pergerakan Banser ini tampaknya diendus pula oleh Pemuda Rakyat. Mereka tiba-tiba berkumpul di alun-alun Blitar dan memenuhi seluruh kawasan hingga membuat alun-alun menjadi merah. Tak diketahui persis apa agenda pertemuan besar tersebut. Yang jelas, dua tokoh NU di Kecamatan Kademangan, Blitar dikabarkan telah diculik dan dibantai oleh segerombolan orang yang diyakini sebagai PKI. Mereka adalah Kiai Manun dari Desa Dawuhan dan Kiai Maksum yang merupakan Ketua NU Plosorejo. “Modusnya perampokan yang mengambil harta benda dan menghabisi orangnya,” kata Chudlari.
Peristiwa pembantaian dua tokoh NU ini terjadi sebelum meletus Gerakan 30 September di Jakarta yang diikuti dengan penculikan tujuh petinggi TNI. Kabar adanya gerakan PKI di Jakarta ini terlambat didengar pengurus Anshor di Blitar yang merespon dengan menggelar apel besar di alun-alun Blitar tepat pada tanggal 5 Oktober 1965. Tak tanggung-tanggung, apel ikrar anggota Banser ini dihadiri oleh Ketua Umum Nahdlatul Ulama Kiai Idham Khalid, Ketua Gerakan Pemuda Ansor Pusat Ahmad Obet, dan Komandan Kodim Sanusi.
Dan pada apel kedua, muncul instruksi dari pengurus pusat Ansor untuk melakukan perang terbuka kepada PKI di Blitar. Seluruh anggota Banser diminta berangkat dari pos masing-masing dengan membawa senjata tajam tepat pada hari Kamis tanggal 7 Oktober, atau satu pekan setelah pecah gerakan 30 September di Jakarta.
Menurut Chudlari suasana kala itu sangat mencekam dimana seluruh anggota Banser membawa parang sambil berjalan menyusuri jalan desa. Mengenakan celana kolor dengan sarung diikat di pinggang, mereka berjalan sambil mengumandangkan Takbir. Tujuan mereka adalah menyasar kantor-kantor organsiasi PKI dan menghabisi para pengurusnya. Chudlari yang kala itu berprofesi sebagai guru di Madrasah Tsanawiyah dan tengah mengajar diminta bergabung dalam operasi pembersihan itu.
Chudlari yang tak siap bertempur bergegas menuju rumah seorang kyai dan bermaksud meminta petunjuk. Dan di luar dugaan, sang kyai yang kala itu tengah menggoreng kerupuk menggunakan mesin penggorengan segera mengambil rantai mesin untuk diberikan kepada Chudlari. “Rantai itu saya masukkan saku sehingga mirip pistol,” katanya tertawa.
Dan satu per satu seluruh tokoh PKI dihabisi dengan cara disembelih. Chudlari mengklaim pasukannya tak membunuh anggota keluarga tokoh PKI yang tak terlibat aktivitas suaminya. Namun setiap pengurus organisasi yang namanya sudah dikantongi dipastikan tak akan selamat.
Dan pada apel kedua, muncul instruksi dari pengurus pusat Ansor untuk melakukan perang terbuka kepada PKI di Blitar. Seluruh anggota Banser diminta berangkat dari pos masing-masing dengan membawa senjata tajam tepat pada hari Kamis tanggal 7 Oktober, atau satu pekan setelah pecah gerakan 30 September di Jakarta.
Menurut Chudlari suasana kala itu sangat mencekam dimana seluruh anggota Banser membawa parang sambil berjalan menyusuri jalan desa. Mengenakan celana kolor dengan sarung diikat di pinggang, mereka berjalan sambil mengumandangkan Takbir. Tujuan mereka adalah menyasar kantor-kantor organsiasi PKI dan menghabisi para pengurusnya. Chudlari yang kala itu berprofesi sebagai guru di Madrasah Tsanawiyah dan tengah mengajar diminta bergabung dalam operasi pembersihan itu.
Chudlari yang tak siap bertempur bergegas menuju rumah seorang kyai dan bermaksud meminta petunjuk. Dan di luar dugaan, sang kyai yang kala itu tengah menggoreng kerupuk menggunakan mesin penggorengan segera mengambil rantai mesin untuk diberikan kepada Chudlari. “Rantai itu saya masukkan saku sehingga mirip pistol,” katanya tertawa.
Dan satu per satu seluruh tokoh PKI dihabisi dengan cara disembelih. Chudlari mengklaim pasukannya tak membunuh anggota keluarga tokoh PKI yang tak terlibat aktivitas suaminya. Namun setiap pengurus organisasi yang namanya sudah dikantongi dipastikan tak akan selamat.
Operasi penumpasan PKI ini diklaim telah merenggut jumlah korban cukup besar. Chudlari mengklaim tak ada perlawanan berarti dari pihak PKI dalam pertempuran itu. Bahkan beberapa jagoan PKI yang sempat sesumbar akan menghabisi pasukan Banser justru lari tunggang langgang saat melihat kedatangannya.
Situasi peperangan ini berubah ketika beberapa waktu kemudian TNI Angkatan Darat mengambil alih operasi penumpasan PKI di berbagai daerah. Melalui Kodim dan Koramil, TNI mulai berperan aktif membina anggota Banser terutama dalam hal baris berbaris. Sebab meski berstatus paramiliter, tak banyak anggota Banser yang memiliki kemampuan berbaris layaknya tentara.
Dan ketika pecah Operasi Trisula di Blitar Selatan, TNI meminta bantuan Banser untuk menumpas PKI di kawasan itu. Jika sebelumnya Banser di depan dan TNI di belakang, kini TNI yang mengambil alih komando dengan Banser di belakang sebagai pagar betis. “Kami juga tak lagi mengenakan sarung, tetapi diberi seragam Hansip oleh tentara,” kata Chudlari.
Situasi peperangan ini berubah ketika beberapa waktu kemudian TNI Angkatan Darat mengambil alih operasi penumpasan PKI di berbagai daerah. Melalui Kodim dan Koramil, TNI mulai berperan aktif membina anggota Banser terutama dalam hal baris berbaris. Sebab meski berstatus paramiliter, tak banyak anggota Banser yang memiliki kemampuan berbaris layaknya tentara.
Dan ketika pecah Operasi Trisula di Blitar Selatan, TNI meminta bantuan Banser untuk menumpas PKI di kawasan itu. Jika sebelumnya Banser di depan dan TNI di belakang, kini TNI yang mengambil alih komando dengan Banser di belakang sebagai pagar betis. “Kami juga tak lagi mengenakan sarung, tetapi diberi seragam Hansip oleh tentara,” kata Chudlari.
Ribuan Banser dikerahkan untuk membentuk pagar betis mengelilingi kawasan Blitar Selatan yang menjadi pelarian tokoh PKI dari Jakarta. Hal ini untuk menghindari upaya meloloskan diri di saat TNI melakukan operasi penumpasan.
Meski berperan sebagai pagar betis, namun tak sedikit simpatisan PKI yang meregang di tangan Banser. Ini lantaran mereka yang ditahan TNI di markas Koramil dan Kodim diserahkan kepada Banser untuk dihabisi. Tak terhitung lagi berapa jumlah orang-orang PKI yang diangkut truk tentara untuk diserahkan Banser agar disembelih. Hal ini biasanya dilakukan pada malam hari setelah menyiapkan lubang pemakaman terlebih dulu. “Kadang ada anak buah saya yang bandel memberi saya kuping orang PKI sebagai hadiah,” kata Chudlari.
HARI TRI WASONO | Sumber: Tempo.Co
HARI TRI WASONO | Sumber: Tempo.Co
0 komentar:
Posting Komentar