Rasanya tak ada film Indonesia yang nasibnya senahas film-film bikinan sutradara sosialis-komunis pada dekade 60an. Dari 58 film yang dihasilkan sineas beraliran kiri pada periode 1950-1965, tinggal dua yang tersisa.[i] Sisanya lenyap, dihancurkan tentara pasca meletusnya peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Sebagian lagi rumornya berada di luar negeri, entah di Vietnam, Rusia, RRC, atau Belanda. Tak ada yang tahu persis di mana.
Dua film peninggalan era keemasan komunis tersebut adalah Si Pintjang, karya Kotot Sukardi pada 1951, serta Violetta, film yang ditulis dan disutradarai Bachtiar Siagian pada 1962. Dari dua film tadi hanya Violettayang masih bisa ditonton—itupun terpotong lima sampai sepuluh menit pada beberapa bagian yang rusak. Si Pintjang kondisinya sudah terlampau buruk bahkan untuk direstorasi. Dua-duanya hingga kini masih tersimpan di Sinematek Indonesia, lembaga arsip film bentukan Misbach Yusa Biran—seorang penentang komunis yang keras. Bachtiar, seperti halnya Kotot, adalah anggota Lekra alias Lembaga Kebudayaan Rakyat—sebuah sayap kebudayaan yang kerap diasosiasikan dengan Partai Komunis Indonesia.
Misbach adalah kawan Bachtiar, meski terdapat perbedaan ideologis yang tajam antara keduanya. Mungkin inilah yang menyebabkan satu filmnya selamat dari pemusnahan kala itu. Pada April 2013, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beserta Sinematek Indonesia melakukan digitalisasi 29 film Indonesia yang dianggap klasik—salah satunya Violetta. Selamatlah film ini dari kerapuhan pita film—yang usianya pol hanya tiga puluh hingga lima puluh tahun.
Bukan Film Propaganda
Kisah Violetta berkutat pada Indraningsih (diperankan oleh Fifi Young), seorang kepala sekolah khusus wanita, dan Violetta (Rima Melati), anaknya. Ningsih melarang Violetta bergaul dengan laki-laki, karena menurutnya laki-laki itu jahat. Ayah Violetta sendiri absen sepanjang film—bisa diduga inilah penyebab Indraningsih begitu waspada terhadap pengaruh buruk laki-laki. Ia bahkan memecat seorang muridnya hanya karena mengobrol di halaman sekolah dengan seorang laki-laki.
Pada malam hari, setelah merayakan ulang tahunnya, Violetta menangis karena tiba-tiba merindukan ayahnya. Ia sedih tak memiliki bayangan apapun tentang ayahnya. Ningsih murka mendengar tangisan Violetta, menganggapnya sebuah kelemahan. Tertekan dengan sikap otoriter ibunya, Violetta jatuh sakit. Dokter menyarankan agar mereka berdua liburan ke gunung.
Di sebuah bungalow, Ningsih dan anaknya tinggal selama satu bulan dengan seorang pesuruh dan anaknya yang bisu tuli, Cemeng. Seorang tentara bernama Kopral Herman juga sesekali datang mampir. Meski mula-mula takut, Violetta lama-lama jatuh hati dengan Herman, begitu pula sebaliknya. Ningsih, yang sadar akan cinta yang sedang merekah di hadapannya, lantas melarang Herman menemui Violetta untuk seterusnya. Violetta protes kepada ibunya, yang dibalas dengan tuduhan ibunya bahwa Violetta sudah diperawani Herman hingga tak mau berpisah dengannya.
Sedih dan marah, Violetta kabur dari bungalow. Padahal malam itu keadaan sedang genting menurut Kopral Herman. Dalam sebuah twist yang ironis, Violetta mati tertembak oleh Kopral Herman yang salah mengiranya sebagai seorang penjahat karena keadaan yang gelap. Ningsih menyesal, menganggap dirinya sendiri lah yang mengakibatkan matinya Violetta.
ARKIPEL International Experimental & Documentary Film Festival, yang diselenggarakan Forum Lenteng, menyertakan Violetta dalam salah satu program kuratorialnya tahun ini. Kuratornya adalah Bunga Siagian, anak Bachtiar sendiri. Sebelum pemutaran, ia menjelaskan bahwa Violetta tidak bercorak propagandis, bahkan cenderung ringan. Ia juga menemukan catatan ayahnya tentang film ini, bahwa film ringan seperti Violetta ini dibuat untuk menarik penonton bioskop yang banyak menggemari film-film impor dari Hollywood dan Bollywood.[ii] Bisa jadi, cerita yang klise dan karakter yang satu dimensi memang sengaja dibuat untuk merefleksikan selera pasar saat itu.
Violetta bagi Bachtiar Siagian, Violetta bagi Zamannya
Bachtiar Siagian belajar sinema salah satunya lewat buku Vsevolod Pudovkin—seorang sutradara Rusia yang paling berpengaruh terhadap teori montase, selain Lev Kuleshov dan Sergei Eisenstein. Latar belakang ini cukup menggoda saya untuk menyebut bahwa Violetta terinspirasi oleh film Pudovkin yang berjudul Mother, yang diinspirasi oleh novel berjudul sama karya Maxim Gorky. Kendati demikian, kesamaan Violetta dan Mother hanyalah pada arketip seorang ibu buruk—atau terrible mother, dalam istilah Carl Jung—yang terlampau protektif dan tak memahami keinginan anaknya.
Lain dari itu, keduanya menyempal lebar. Anak dari ibu dalam Mother adalah revolusioner pejuang serikat buruh, sementara anak dari Ningsih hanya ingin berpacaran. Mother bertutur tentang perjuangan dan realitas sosial, sementara Violetta adalah melodrama tentang cinta terlarang—kurang lebih mirip melodrama Hollywood dekade 40an, dan beberapa aspek dalam Violetta mengingatkan akan kisah drama tragis Romeo & Juliet. Bahkan imaji-imaji borjuis yang bermunculan dalam Violetta, seperti pesta perayaan ulang tahun, liburan di sebuah villa, atau mode fesyen pakaian-pakaian yang dikenakan protagonis, membuat film Bachtiar Siagian ini sulit dibayangkan sebagai sebuah buah pikiran seorang anggota Lekra.
Tak tampak juga penggunaan montase Pudovkian dalam Violetta. Tentang ini Bunga Siagian mengungkapkan sebuah teori bahwa gerakan film Lekra lebih condong sebagai gerakan politis ketimbang gerakan estetis.[iii] Bisa jadi benar, walaupun tak bisa dibuktikan betul, mengingat film-film Lekra lainnya hanya tinggal judul.
Tentara dan Pekerja
Potret tentara dalam Violetta, menariknya, bukanlah antagonistik. Kopral Herman adalah seorang yang diceritakan dekat dengan rakyat. Ia memberi permen pada anak-anak sekitar. Ia juga suka membantu, sehingga kadang penduduk setempat memberinya hasil ternak atau kebunnya. Hubungan sang tentara dengan Cemeng dan ayahnya pun terlihat lebih seperti kawan akrab, meski beberapa kali ucapan Kopral Herman terdengar kasar. Kopral Herman tak pernah punya niat jahat pada siapapun, termasuk pada Violetta yang masih bocah nan naif. Alhasil, sampai dengan akhir film, Kopral Herman tetap muncul sebagai seorang yang simpatik, meski ia menembak penduduk sipil tak bersenjata tanpa ada konsekuensi hukuman apapun.
Windu Jusuf, yang duduk di sebelah saya saat pemutaran Violetta di ARKIPEL, melihatnya dari sisi yang lain. Ia menyebut bahwa yang sedikit menyerempet realisme sosialis dalam film Violetta adalah penggambaran tentara sebagai seorang pekerja. Hal ini memang kontras dengan moda penceritaan Usmar Ismail, misalnya, yang menempatkan tokoh tentara sebagai pejuang atau mantan pejuang—meski konflik yang dihadapinya dalam cerita seringkali adalah konflik psikologis.
Kopral Herman, di lain sisi, adalah seorang yang tambun, kadang bodoh, genit, dan mengaku suka menyabung ayam—sosok yang manusiawi alih-alih sosok tentara yang gagah, nasionalis, dan pandai dalam bersenjata. Tentara, dalam Violetta, tidak diidealisasi sebagai fitur otoritas.
Sebenarnya menarik untuk mengira-ngira apa yang ada di benak Bachtiar ketika ia memutuskan untuk menggambarkan tentara—perwakilan dari lembaga yang menjadi lawan komunis saat itu—sebagai tokoh yang simpatik. Toh, Bambang Hermanto (pemeran Kopral Herman) juga orang kiri seperti Bachtiar, namun wajah tentara yang ia perankan dalam tokoh Kopral Herman membuatnya kabur. Sulit untuk menduga apakah penokohan yang seperti ini—beserta ejekan yang dilontarkan tokoh-tokoh lain kepada Kopral Herman—dimaksudkan sebagai sebuah satir yang subversif kepada tentara, atau hanya untuk efek karikatural semata.
Emansipasi Perempuan dan Catatan Lainnya
Violetta, dengan dua wanita sebagai tokoh utama dan cerita mengenai kebebasan, sekilas juga bisa dilihat sebagai film yang emansipatoris. Setidaknya, salah seorang penonton dari India menganggapnya demikian pada sesi diskusi setelah pemutaran di ARKIPEL. Namun, setelah dicermati lebih lanjut, Violetta justru jauh dari kesan progresif atau emansipatoris.
Setidaknya ada tiga alasan. Pertama, Violetta memojokkan sosok ibu sebagai figur matriarkal jahat yang menghukum, alih-alih menampilkannya sebagai figur ibu yang mentransformasi hidup si anak melalui dirinya. Si ibu memproyeksikan balas dendamnya untuk ayah Violetta kepada anaknya, yang akhirnya justru membuat tumbuh-kembang anaknya terhambat.
Kedua adalah bagaimana usaha Violetta mencari kebebasan justru malah harus dibayar secara tragis dengan nyawanya sendiri. Kebebasan dalam Violetta, pada akhirnya, adalah sebuah utopia yang niscaya tak bisa diraih. Windu Jusuf melihat klise seperti ini juga muncul pada film seperti The Double Life of Véroniquekarya Krzysztof Kie?lowski pada 1991 hingga Black Swan karya Darren Arronofsky, 2010). Dalam cerita-cerita seperti ini, kebebasan harus memakan tumbal hilangnya nyawa atau hilangnya kewarasan si tokoh wanita yang berusaha bebas. Aneh memang kedengarannya, tapi film-film seperti Mad Max: Fury Road karya George Miller pada 2015 akan terasa lebih progresif dibandingkan Violetta .
Ketiga, dan yang paling kentara, adalah bagaimana pada nafas terakhirnya Violetta berbisik, “Aku masih perawan kok, Bu.” Violetta mati dengan tidak mengkonfrontasi kendali si ibu atas tubuhnya atau menggugat konsepsi mengenai keperawanan. Malah, kata-kata terakhirnya adalah sebuah afirmasi, bahwa sesungguhnya standar “wanita ideal” yang ditetapkan ibunya tidak pernah ia langgar sama sekali. Ia tetap suci, persis seperti yang diinginkan si ibu.
Sebenarnya masih ada aspek estetis maupun simbolis lainnya yang bisa digali dari Violetta. Film ini membuka bahasan tentang penggunaan teknik pencahayaan chiaroscuro oleh Bachtiar, atau bagaimana simbol-simbol phallic bertaburan sepanjang film—hobi Herman mengadu ayam, burung gelatik hadiah Herman, ayam jago dan perkutut yang muncul dalam senandung tokoh-tokohnya. Tentunya bahasan-bahasan ini akan menghabiskan satu sampai dua tulisan lagi—bahkan lebih.
Jika Anda sempat, mampirlah ke Sinematek buat menonton film terakhir Lekra di dunia ini. Letaknya di Jalan HR Rasuna Said, sebelah Plaza Festival, Kuningan, Jakarta Selatan. Anda tidak perlu bayar untuk menonton film ini, tapi mengingat lembaga ini kekurangan uang untuk beroperasi, rasanya tak memberi donasi adalah hal yang kelewat kurang ajar.
CATATAN
[i] Kriteria sutradara kiri diambil dari buku Salim Said berjudul Profil Dunia Film Indonesia (1989: 72). Said menyebut mereka adalah Bachtiar Siagian (Lekra), Basuki Effendi (Lekra), Tan Sing Hwat (Sarekat Buruh Film dan Sandiwara/Sarbufis), Waldemar Caerel Hunter/S. Waldy (Sarbufis), Ahmadi Hamid (Lekra), Amir Jusup (Lembaga Kebudayaan Nasional/LKN), Kotot Sukardi (Lekra), Bambang Hermanto (Panitia Penggayangan Film Imperialis Amerika Serikat/PAPFIAS), Agus Muljono (PAPFIAS), Sunjoto Adi Broto (LKN), dan Ruslizar (Lembaga Seni Budaya Indonesia/LESBI). Akan tetapi, Salim Said membatasi periode data filmnya dari 1957-1965. Perluasan dalam tulisan ini hingga 1950 adalah untuk mengakomodasi dekade keemasan film pasca kemerdekaan. Data film pada dekade ini diambil dari situs filmindonesia.or.id.
[ii] Langkah yang lebih ekstrem adalah dengan dibentuknya komando aksi PAPFIAS (Panitia Pengganyangan Film Imperialis Amerika Serikat) pada 9 Mei 1964. Begitu geramnya PKI terhadap masuknya budaya barat hingga melalui PAPFIAS, mereka melakukan pengganyangan terhadap beberapa studio, pelarangan film India dan Amerika Serikat, hingga pembakaran gedung bioskop. Dapat dibaca lebih lanjut dalam buku Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia (Abduh Aziz, Budiarto Dananjaya, dan Haris Jauhari, et.al., 1992).
[iii] Garin Nugroho dan Dyna Herlina dalam Krisis dan Paradoks Film Indonesia (2015: 119) menyebutkan adanya pandangan bahwa film-film dari Lekra maupun lawan ideologisnya tidak pernah benar-benar berbeda dalam mengangkat tema seperti nasionalisme. Hanya afiliasi politik saja yang membuat mereka berseteru.
Tulisan ini pertama kali terbit di Birokreasi, diterbitkan ulang dengan sejumlah penyuntingan dengan izin penulis.
Cinema Poetica
0 komentar:
Posting Komentar