3 Oktober 2015
Dalam gendongan
ibunya, saat berusia kira-kira lima bulan, di sebuah malam pada 1965,
dia dihadapkan peristiwa horor: ayahnya dijemput paksa oleh sekelompok
tentara -dan tidak pernah kembali.
"Desa kami memang dulu merupakan basis PKI (Partai Komunis Indonesia)," kata Supardi, 75 tahun, yang juga eks tapol pulau Buru.
Pekan kedua September lalu, saya mengunjungi desa yang jaraknya sekitar 35km dari pusat Kota Pati. Lengang dan berdebu, begitulah yang terlihat ketika saya mendatangi salah-satu sudutnya.
Di rumah Supardi, yang berbentuk joglo dan ditumbuhi pohon mangga di halamannya, saya bertemu salah-seorang putra Matari. Namanya Handoyo Triatmoko, kelahiran April 1965.
Tidak tahu kuburan ayahnya
Diantaranya yang diciduk adalah kakeknya, ayahnya serta ibunya. "Karena semua orang tua dalam tahanan, saya yang masih bayi terpaksa ikut di dalam tahanan," ujar ayah dua anak ini.Ditingkahi sesekali nyanyian burung perkutut dan kokok ayam jago, Handoyo kemudian mengungkapkan bahwa setidaknya ada tujuh atau delapan orang warga Desa Bulumulyo yang "mati dibunuh" usai G30S.
"Bapakmu saya kenal baik, tapi karena saya menjalankan tugas negara, bapakmu saya tembak mati"
Situasi politik saat itu, ketika rezim Orde Baru berkuasa, membuat mereka memilih memendam segala seuatu yang terkait "masa lalu" mereka.
'Ini anaknya siapa?'
Suatu saat, sekitar tahun 1978, ketika masih di bangku kelas satu SMP, Handoyo berlibur ke rumah temannya asal Pati yang tinggal di Klender, Jakarta Timur.Di rumah itulah, sekitar pukul empat sore, dia bertemu seorang tamu yang kebetulan kenal baik dengan tuan rumah. "Walau sudah tua, saya masih ingat, badannya kekar," ujarnya.
Handoyo mengaku ingat betul isi percakapan yang sudah berusia 37 tahun silam.
"Dia anaknya pak Matari, kepala sekolah, dan ibu Mastika, sekretaris desa" kata tuan rumah. Tiba-tiba sang penanya tercekat dan menangis.
Mereka dalam keadaan diikat renteng dan diberondong (ditembak) terus masuk ke sungai.
Penasaran. Begitulah yang dirasakan Handoyo, kala itu.
'Saya yang menembak mati ayahmu'
Tetapi belum selesai memikirkannya, tamu "misterius" itu sekonyong-konyong menarik pelan tangannya."Benar kamu anaknya Pak Matari? "Ya," jawab Handoyo. Suara sang tamu masih tercekat dan kembali menangis.
Pria itu lantas melanjutkan: "Kalau mau nyekar (menziarahi makam) bapakmu di jembatan Bengawan Solo yang tepatnya di kota Cepu."
Loh, bapak kok tahu? Tanya Handoko. Sempat terhenti sekian detik karena terisak, tamu itu kemudian melanjutkan:
Seingatnya, pria yang berlatar tentara itu tidak meminta maaf. "Dia hanya mengatakan merasa terkena karma atau berdosa."
Menurutnya, ayahnya dieksekusi bersama tiga orang lainnya yang dituduh simpatisan PKI. "Mereka dalam keadaan diikat renteng dan diberondong (ditembak) terus masuk ke sungai."
Memaafkan
Sebagai bocah yang berusia 13 tahun, Handoyo mengaku tidak mengorek lebih lanjut tentang latar belakang algojo pengeksekusi ayahnya."Saya tidak sempat menanyakan dia siapa dan alamatnya di mana. Kecuali tahu kalau dia dari tentara angkatan darat. Apalagi situasi saat itu tidak karu-karuan. Oleh keluarga saya 'dipisahkan' dari masa lalu," ungkapnya.
Ketika saya bertanya, apakah dirinya sekarang bisa memaafkan pelaku eksekusi ayahnya, Handoyo berkata: "Saya sering bilang begini: belum minta maaf, sudah saya maafkan, karena saya punya cita-cita masuk surga."
Namun demikian, dia buru-buru mengatakan: "Saya menginginkan agar kejadian yang seperti saya alami ini tidak terulang di masa depan."
Mengungkap kebenaran
Dan sejak awal 2000, Handoyo, Supardi serta eks tapol asal Desa Bulumulyo, Pati, terlibat dalam upaya mengungkap sejumlah kuburan massal di sejumlah wilayah di Pati.Kakek saya berkata: Kalau kamu pintar, kamu akan bisa mengatasi kesulitan.
"Banyak orang yang tidak berdosa dan tidak pernah diadili, akhirnya disiksa, diasingkan, dan dibunuh. Kita ingin mengungkapnnya. Saya juga ingin agar kejadian yang seperti saya alami ini tidak terulang di masa depan," kata Handoyo.
Walaupun mengaku masih didiskriminasi, Handoyo kini mampu menjadi Kepala desa Jetak, Kabupaten Pati, dalam pemilihan demokratis pada Maret 2015 lalu.
Rupanya, Handoyo mampu melalui masa lalunya yang amat pahit, di mana ketika sebagian besar keluarga besarnya menjadi pesakitan karena dicap PKI.
"Saya teringat nasihat kakek saya, yang terus menerus berkata agar saya terus bersekolah. Kakek saya berkata: Kalau kamu pintar, kamu akan bisa mengatasi kesulitan," kata alumni fakultas hukum sebuah perguruan tinggi di Semarang ini.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/150922_indonesia_lapsus_mencarijasadayah
0 komentar:
Posting Komentar