Kamis, 29/10/2015 06:03 WIB
Suasana di Ubud Writers and Readers Festival. (Dok. Ubud Writers & Readers Festival/Anggara Mahendra)
Ubud, CNN Indonesia
--
Saat digelar pertama kali pada 2003, Ubud Writers
and Readers Festival (UWRF) hanya sebuah ide sederhana untuk membalikkan
citra Bali dari ladang teroris menjadi penuh ide kreatif. Kini, acara
tersebut menjadi salah satu acara kumpul pencinta sastra terpenting di
Indonesia. Skalanya internasional.
"Pertama digelar saja, jumlah penulis yang datang sudah 120-an orang. Awal-awal kami gelar enam hari, sekarang kami pangkas jadi lima hari," kata Janet DeNeefe, penggagas dan direktur UWRF kepada CNN Indonesia di Ubud, Bali, pada Rabu (28/10).
"Pertama digelar saja, jumlah penulis yang datang sudah 120-an orang. Awal-awal kami gelar enam hari, sekarang kami pangkas jadi lima hari," kata Janet DeNeefe, penggagas dan direktur UWRF kepada CNN Indonesia di Ubud, Bali, pada Rabu (28/10).
Setelah 12 tahun, acara itu ternyata terus bergulir. Jumlah penulis yang
datang bertambah kian tahun, selalu lebih dari 100 orang.
Bedanya, tahun ini lebih banyak sesi untuk penulis Indonesia. Peluncuran buku dan pemutaran film pun didominasi karya-karya putra-putri Indonesia.
"Indonesia sangat antusias dengan kegiatan ini," ujar Janet. Sebagai penggagas, ia merasakan perubahan dari tahun ke tahun. UWRF bukan lagi sekadar ajang pertemuan dan unjuk karya seni, ia juga telah berperan sebagai "penggelitik" antusiasme menulis generasi muda Indonesia.
Janet melihat penulis Indonesia makin kuat dari tahun ke tahun. Baginya, UWRF juga adalah "pengeras suara" untuk Indonesia. Sekaligus wadah bagi para generasi muda untuk dilihat dunia.
"Awalnya dunia tidak tahu Indonesia, apalagi sastranya. Itu benar. Indonesia seperti rahasia besar," tuturnya bercerita. Tapi kemudian, salah satunya berkat UWRF, satu demi satu penulis Indonesia semakin mencuat dan lebih dikenal.
Salah satunya Eka Kurniawan. Sang penulis Cantik Itu Luka mengaku, pertama hadir di UWRF sembilan tahun lalu, ia seperti bukan siapa-siapa.
"Saya masih 20-an dan belum banyak yang kenal saya," tuturnya. Namun tahun ini, kali ke-dua ia hadir, namanya sudah terkenal di mana-mana.
Bukunya sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa. Eka bahka kini menjadi salah satu kurator yang menyeleksi para penulis muda untuk dimasukkan ke antologi UWRF, seperti dirinya pada masa lampau.
Bagi Eka, UWRF bak pembuka kotak pandora sastra Indonesia. "Dulu siapa yang tahu penulis Indonesia. Mungkin hanya Pram (Pramoedya Ananta Toer) dan Andrea Hirata. Sekarang kita tahu Laksmi Pamuntjak, Leila S. Chudori, saya sendiri," katanya. Fakta itu sebenarnya tak ia sangka.
"Sekarang saya harus terus-terusan bicara soal buku saya yang sebenarnya terbit 13 tahun lalu. Agak aneh sebenarnya," ujarnya sambil tertawa.
Kini, UWRF 2015 menyeleksi 16 penulis dari sekitar 600 karya terbaik yang diajukan 44 komunitas sastra di 70 kota di Indonesia. Karya mereka akan dijadikan antologi dwibahasa, sehingga lebih dikenal dunia karena telah diterjemahkan.
"Lagipula ini Indonesia yang luar biasa, dan kegiatannya diselenggarakan di Bali. Orang-orang ini haus pengetahuan, ingin tahu apa yang terjadi di dunia. Makanya mereka datang," ujar Janet menambahkan, soal betapa UWRF juga dianggap kegiatan sastra penting bagi banyak negara.
Maka, ia tak merasa gentar meski UWRF tahun ini diguncang pembatalan sesi-sesi dengan isu sensitif seperti 1965 dan reklamasi Bali.
Menurutnya, ketika menjadi perbincangan internasional, itu bisa jadi pembawa kebaikan bagi Indonesia.
"Masalah akan selalu ada, misalnya tahun lalu kami bermasalah dengan penulis. Tapi masalah menjadikan kami lebih kuat," tuturnya santai. Bahkan Bom Bali menghasilkan festival besar seperti UWRF. Artinya, hal terburuk pun bisa membuahkan yang indah.
"Masalah membuat kami punya waktu duduk dan mengevaluasi, organisasi dan penyelenggaraannya pun jadi lebih baik, lebih kuat," katanya.
(rsa)
Bedanya, tahun ini lebih banyak sesi untuk penulis Indonesia. Peluncuran buku dan pemutaran film pun didominasi karya-karya putra-putri Indonesia.
"Indonesia sangat antusias dengan kegiatan ini," ujar Janet. Sebagai penggagas, ia merasakan perubahan dari tahun ke tahun. UWRF bukan lagi sekadar ajang pertemuan dan unjuk karya seni, ia juga telah berperan sebagai "penggelitik" antusiasme menulis generasi muda Indonesia.
Janet melihat penulis Indonesia makin kuat dari tahun ke tahun. Baginya, UWRF juga adalah "pengeras suara" untuk Indonesia. Sekaligus wadah bagi para generasi muda untuk dilihat dunia.
"Awalnya dunia tidak tahu Indonesia, apalagi sastranya. Itu benar. Indonesia seperti rahasia besar," tuturnya bercerita. Tapi kemudian, salah satunya berkat UWRF, satu demi satu penulis Indonesia semakin mencuat dan lebih dikenal.
Salah satunya Eka Kurniawan. Sang penulis Cantik Itu Luka mengaku, pertama hadir di UWRF sembilan tahun lalu, ia seperti bukan siapa-siapa.
"Saya masih 20-an dan belum banyak yang kenal saya," tuturnya. Namun tahun ini, kali ke-dua ia hadir, namanya sudah terkenal di mana-mana.
Bukunya sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa. Eka bahka kini menjadi salah satu kurator yang menyeleksi para penulis muda untuk dimasukkan ke antologi UWRF, seperti dirinya pada masa lampau.
Bagi Eka, UWRF bak pembuka kotak pandora sastra Indonesia. "Dulu siapa yang tahu penulis Indonesia. Mungkin hanya Pram (Pramoedya Ananta Toer) dan Andrea Hirata. Sekarang kita tahu Laksmi Pamuntjak, Leila S. Chudori, saya sendiri," katanya. Fakta itu sebenarnya tak ia sangka.
"Sekarang saya harus terus-terusan bicara soal buku saya yang sebenarnya terbit 13 tahun lalu. Agak aneh sebenarnya," ujarnya sambil tertawa.
Kini, UWRF 2015 menyeleksi 16 penulis dari sekitar 600 karya terbaik yang diajukan 44 komunitas sastra di 70 kota di Indonesia. Karya mereka akan dijadikan antologi dwibahasa, sehingga lebih dikenal dunia karena telah diterjemahkan.
"Lagipula ini Indonesia yang luar biasa, dan kegiatannya diselenggarakan di Bali. Orang-orang ini haus pengetahuan, ingin tahu apa yang terjadi di dunia. Makanya mereka datang," ujar Janet menambahkan, soal betapa UWRF juga dianggap kegiatan sastra penting bagi banyak negara.
Maka, ia tak merasa gentar meski UWRF tahun ini diguncang pembatalan sesi-sesi dengan isu sensitif seperti 1965 dan reklamasi Bali.
Menurutnya, ketika menjadi perbincangan internasional, itu bisa jadi pembawa kebaikan bagi Indonesia.
"Masalah akan selalu ada, misalnya tahun lalu kami bermasalah dengan penulis. Tapi masalah menjadikan kami lebih kuat," tuturnya santai. Bahkan Bom Bali menghasilkan festival besar seperti UWRF. Artinya, hal terburuk pun bisa membuahkan yang indah.
"Masalah membuat kami punya waktu duduk dan mengevaluasi, organisasi dan penyelenggaraannya pun jadi lebih baik, lebih kuat," katanya.
(rsa)
http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20151029040020-241-88070/ubud-writers-membuka-kotak-pandora-sastra-indonesia/
0 komentar:
Posting Komentar