Minggu, 04 Oktober 2015

Amerika Serikat Didesak Membantu Indonesia Menyingkap Pembantaian 1965

3 Oktober 2015
Serambi penyiksaan 
London – Minggu ini bertepatan dengan 50 tahun sejak terjadinya peristiwa pembantaian  terburuk yang pernah terjadi di Indonesia, dimana pembunuhan 6 orang Jenderal berujung kepada pembantaian massal yang menyebabkan tewasnya 500 ribu orang. Pada saat itu, ribuan kaum intelektual, guru, anggota serikat buruh, anggota pergerakan wanita dan berbagai lapisan elemen masyarakat  mengalami pelecehan dan pembunuhan.
Berbeda dengan pembunuhan massal yang terjadi di tempat lain seperti Rwanda atau Kamboja, Indonesia tidak pernah mencoba untuk mencari tahu apa yang sebenranya terjadi pada saat itu dan tidak ada upaya untuk menangkap para pelaku pembunuhan.
Para pengamat berkata bahwa inilah saatnya bagi pemerintah RI untuk menutup lembaran hitam tersebut dan membuka sebuah lembaran baru. Namun, tuntutan ini bukan hanya ditujukan kepada pemerintah RI – Para pakar juga menuntut agar pemerintah Amerika membuka akses terhadap file-file dari masa itu.
Bertepatan dengan kunjungan presiden Joko Widodo ke Washington pada bulan ini, seorang senator Amerika, Tom Udall, sedang menyiapkan sebuah draft resolusi untuk mendorong dibukanya akses terhadap file-file tersebut. Para pendukung draft resolusi ini berpendapat bahwa ini bukan hanya akan membuka keterlibatan Amerika dalam pembantaian massa PKI, tetapi juga mendorong pemerintah Indonesia untuk memfasilitasi para korban melalui pembentukan sebuah Komisi Penyelidikan.
Menyingkap tabir pembunuhan yang tertutup rapat
Banyak pengamat menuduh keterlibatan CIA dan lembaga intelijen barat lainnya dengan membiarkan atau bahkan mendukung secara explisit pembunuhan jutaan massa yang dituduh sebagai komunis di Indonesia selama periode perang dingin.
Pada sebuah diskusi untuk memperingati peristiwa G30S/PKI  yang diadakan oleh Kampus Oriental and African Studies (SOAS) di University of London, professor sejarah dari UCLA, yaitu professor Geoffrey Robinson mengatakan “Saya rasa jika saja pada saat itu Negara-negara Barat tidak bersikap apatis, dan dengan kondisi politik internasional yang berbeda, maka penangkapan dan pembunuhan massal tersebut tidak akan terjadi.”
Karena ketiadaan upaya penyelidikan dan aksi menutup mata inilah, maka Robinson berpendapat bahwa aksi pembunuhan massal ini merupakan sesuatu yang jarang diketahui di luar Indonesia. Padahal jumlah korban yang tewas tidak kalah dengan pembunuhan massal serupa, seperti di Rwanda atau Srebrenica, yang jauh lebih mendapatkan perhatian dunia.
Lebih lanjut Robinson mengatakan “Jika dilihat dari prosesnya yang cepat dan rapi, serta implikasi politiknya yang luar biasa, maka pembunuhan massal 1965-1966 bisa disandingkan dengan pembunuhan massal lainnya yang jauh lebih terkenal pada masa pasca PD-II.”
Sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan oleh senator Tom Udall di Amerika pada bulan ini mendorong Indonesia untuk membentuk sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelidiki dugaan criminal yang terjadi pada masa itu. RUU ini juga meendesak pemerintah Amerika untuk membuka akses terhadap dokumen-dokumen yang relevan.
Professor Robinson menyebutkan ada tiga aspek dari pembantaian anti-komunis yang terjadi di Indonesia, yang membuatnya berbeda dengan apa yang terjadi di belahan dunia lainnya. Pertama, pembantaian di Indonesia bukan didorong oleh suatu cita-cita untuk mewujudkan keadaan utopia seperti yang dilakukan Pol Pot di Kamboja. Kedua, pembantaian di Indonesia tidak menyebabkan terjadinya perang saudara yang begitu besar seperti apa yang pernah terjadi di Bosnia. Dan yang ketiga, pembantaian di Indonesia tidak ditargetkan kepada suatu etnis tertentu seperti halnya apa yang pernah terjadi di Rwanda atau pada peristiwa holocaust di Jerman.
Pada beberapa aksi genosida lainnya, para korban yang selamat mendapat sesuatu yang disebut sebagai “proses penyembuhan”. Hal yang sama tidak terjadi di Indonesia karena pemerintah tidak mau mengakui sejarah yang sebenarnya. Sebagai perbandingan, setelah jatuhnya rezim Khmer Merah, Kamboja menghukum para pelaku genosida melalui sebuah mahkamah internasional. Demikian juga, di Jerman, golongan Yahudi bisa menceritakan dan membuka fakta-fakta tentang apa yang terjadi seputar holocaust.
‘Budaya pembungkaman’
Sebagai perbandingan, lembaga Amnesti Internasional menyebutkan bahwa di Indonesia setiap orang yang mencoba untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi tentang pembantaian 1965 mengalami ancaman dan kekerasan.
“Ada semacam budaya pembungkaman di Indonesia, dan ini sangat menakutkan” demikian kutipan pernyataan dari Amnesti INternasional berkaitan dengan peringatan 50 tahun peristiwa G30S.
Namun, sewaktu-waktu kondisi ini bisa berubah. Anton Alifandi, seorang peneliti Indonesia pada lembaga konsultan internasional HIS, pesimis bahwa pemerintah akan meminta maaf kepada para korban yang dituduh sebagai PKI. Namun ia juga mengatakan bahwa kebebasan berpendapat telah berkembang semakin luas sejak kejatuhan Presiden Soeharto, orang yang dianggap sebagai dalang pembantaian massa komunis di tahun 1960-an.
“Setiap orang bebas membicarakan hal ini” katanya kepada VOA pada diskusi yang diadakan SOAS. “Memang belum ada kompensasi kepada para korban, tapi setidaknya mereka bebas untuk mengutarakan pendapatnya”.
Tetapi, tetap saja pihak korban merasa dibungkam oleh pihak militer, yang merupakan pihak yang paling dominan dalam kasus pembantaian ini. Menurut Robinson, dengan menakut-nakuti rakyat akan bahaya komunisme, militer dengan leluasa mampu membunuh siapa saja yang dituduh sebagai simpatisan komunis. Selain itu, pihak militer juga mencengkeram media dan buku-buku text sekolah untuk menulis sejarah sesuai versi mereka sejak tahun 1965.
Para komandan pasukan bebas untuk berbuat semua ini karena mereka mendapat dukungan public yang kuat  selama pembantaian massal ini. Kelompok ormas juga bisa dikatakan ikut bertanggung jawab dalam setiap pembantaian, dimana pihak militer mengarahkan kelompok massa bersenjata di sejumlah daerah. Di sisi lain, kondisi sosio ekonomis pada saat itu juga turut mendorong aksi-aksi pembantaian ini, demikian menurut Elizabeth Pisani, pengarang buku Indonesia, Etc.
“Menurut saya, pihak militer merupakan kunci dari semua ini” lanjut Elizabeth lagi.
Sementara itu, awal minggu ini, Presiden Joko Widodo telah dengan tegas mengatakan bahwa pemerintah tidak punya niat untuk meminta maaf atas peristiwa pembunuhan tersebut. Dalam pernyataannya kepada media, ia mengatakan seluruh elemen bangsa harus berupaya agar kejadian serupa tidak akan terulang lagi.
Diterjemahkan dari artikel karangan Lien Hoang, di Voice of America.

0 komentar:

Posting Komentar