Ari Susanto 11:18 AM, October 03, 2015
SOLO, Indonesia — Aku mendengar berita
banyak orang ditangkap karena terkait peristiwa Gestok. Tetapi, aku
tidak terlalu peduli. Aku hanya seorang tukang listrik yang mencari
penghidupan sehari-hari. Aku sama sekali tidak tertarik politik.
Lahir dari keluarga yang pas-pasan
memaksaku harus berjuang mencari cara bertahan hidup. Sekolahku pun tak
kelar. Aku memilih belajar menjadi teknisi listrik dan mekanik sebagai
bekal bekerja.
Memperbaiki mesin dan listrik bisa
menghasilkan uang. Aku lebih memilih menghabiskan waktu untuk mendatangi
bengkel-bengkel yang membutuhkan jasaku daripada mengikuti perkembangan
politik. Bagiku, politik tidak membuat perut kenyang.
Aku hanya suka mendengarkan pidato Bung
Karno, seperti kebanyakan orang. Malam itu, 10 November 1965, sekitar
pukul 10.00, aku menyetel volume radio dan mencari gelombang jernih
untuk mendengarkan siaran pidato Bung Karno di Hari Pahlawan.
Konsentrasiku bubar seketika saat enam orang dengan penutup muka
tiba-tiba masuk ke dalam rumah.
Dikira PKI
Mereka menyeretku keluar Kampung Kedunglumbu seperti seekor binatang buruan. Kepalaku dikepruk
(dipukul menggunakan benda keras), badanku diinjak-injak, ditendang,
dan dilempar ke atas mobil. Mataku ditutup dan kedua tanganku diikat
erat.
Entah berapa lama aku dibawa jalan sampai
mobil berhenti di suatu tempat. Beberapa orang memegang kuat lengan dan
kakiku lalu melempar ke udara. Badanku melayang lalu jatuh menubruk
tanah, aku mengerang, merasakan sakit yang luar biasa. Lemparan itu
diulang tiga kali, sebelum aku digiring ke suatu ruangan interogasi.
“Kamu PKI?” tanya seorang berseragam dengan nada menuduh.
“Sanes (bukan) Pak, saya orang biasa,” jawabku sambil masih menahan rasa sakit.
“Pekerjaan?” desak si pemeriksa.
“Teknisi. Saya ndak ngerti politik sama sekali, tetapi paham soal listrik dan mesin,” jawabku.
“Tidak mungkin, nama kamu ada di daftar A, tidak mungkin orang biasa,” bentak salah seorang dari mereka.
“Sekolah Rakyat saja saya ndak lulus, saya ndak tahu apa-apa soal PKI,” aku berusaha meyakinkan sambil sesekali meringis merasakan badanku memar dan nyeri.
Aku merasa bahwa ada orang yang tidak
suka denganku, lalu memfitnah dengan melaporkanku sebagai anggota PKI
agar menjadi target penangkapan.
Aku baru tahu kemudian tentang daftar A,
B, dan C, saat aku menjalani masa-masa tahanan di kamp. Rupanya, para
target penangkapan dikatagorikan dalam daftar yang ditandai dengan
alfabet, yang terkait dengan jenis hukuman.
A adalah daftar orang yang harus
dieksekusi, umumnya ini adalah orang-orang penting, pengurus atau
pentolan PKI. B1 juga target yang harus dilenyapkan, sedangkan B2 dan B3
adalah target untuk dibuang ke Pulau Buru dan Nusakambangan, sementara C
adalah calon tahanan penjara.
Tersiksa mental di kamp penahanan
Tuhan masih menolongku. Mereka percaya
namaku keliru masuk daftar A, sehingga aku lolos dari maut. Aku dikirim
dengan mobil jeep ke kamp penahanan. Pada hari ketiga, aku diangkut ke
Balai Kota Solo. Aku bergabung dengan tahanan lainnya di sana.
Semuanya ditelanjangi, demikian juga aku. Hanya menggunakan celana dalam saja, kami disuruh push up
dan jongkok dengan tangan terlipat di belakang kepala. Kami semua
dijemur di halaman balai kota, dan dijadikan tontonan banyak orang.
Setelah matahari tergelincir lewat tengah hari, kami baru digiring
masuk.
Setelah dijemur, aku tak juga dilepaskan.
Malahan, bersama yang lainnya, kami dipindahkan ke kamp Sasono Mulyo di
Keraton Surakarta. Di tempat pengap yang dipaksakan menampung sekitar
2.000 orang itu, aku menjadi tukang kebun, tukang listrik, dan juru
masak. Aku bertahan satu tahun di kamp itu, sebelum akhirnya dipindah
lagi.
Pengalaman di Sasono Mulyo sungguh
mengerikan. Meskipun jarang ada siksaan fisik di sini, tetapi teror
mental terjadi hampir setiap malam. Di kamp itu, detik demi detik terasa
seperti penantian maut yang mendebarkan.
Setiap truk datang, suasana menjadi
hening. Semuanya menduga-duga siapa yang akan meninggalkan kamp. Mereka
yang namanya dipanggil melalui mikrofon berarti akan diambil dan dibawa
pergi. Mereka tak akan pernah kembali lagi. Wajah-wajah mereka pucat
saat digiring ke atas truk, mengira sebentar lagi ajal akan menjemput.
Disetrum di kamp di Solo
Aku akhirnya dipindah ke sebuah kamp
lain, tetapi masih di Kota Solo. Di sana, aku kembali diinterogasi.
Pertanyaannya sama seperti pada saat pertama kali aku diculik.
“PKI atau bukan?” tanya petugas interogasi.
“Bukan, saya ndak tahu soal PKI, Pak,” jawabanku tetap sama.
Namun, kali ini aku merasakan kengerian.
Di hadapanku, setiap tahanan yang diinterogasi disetrum ujung jari kaki
dan tangannya agar mengaku. Tetapi, siksaan dengan aliran listrik malah
membuat banyak tahanan mati satu per satu sebelum mengaku. Kejutan
listrik tinggi membuat orang kejang-kejang dan mengeluarkan busa dari
mulutnya dalam hitungan menit.
Aku seperti merasakan akan mati sebentar
lagi. Kepalaku kosong, tak ada harapan lagi. Giliranku tiba. Aku
disetrum seperti tahanan lainnya agar mengaku.
“Saya bukan PKI, bukan PKI!” teriakku.
Aku merasakan sesuatu yang aneh. Kejutan
aliran listrik tidak sampai membuat jantungku berhenti berdetak. Otakku
masih sadar. Aku masih bisa melihat orang-orang di sekelilingku. Aku
yakin aku belum mati.
Mereka melakukannya berulang-ulang,
menyetrumku di beberapa bagian tubuh, tetapi aku masih hidup dan tidak
mati-mati. Aku sendiri heran dengan apa yang terjadi dengan tubuhku.
“Orang ini kebal listrik, ia pasti punya ilmu kanuragan,” kata salah seorang di antara mereka.
“Berarti dia bukan PKI. Seorang komunis tidak percaya ilmu kebal.”
“Kita lepas saja, tetapi suruh dia
bekerja untuk kita,” ujar yang lainnya sambil geleng-geleng kepala heran
menyaksikanku tidak mempan sengatan listrik.
Aku masih tidak percaya mereka mengira
aku memiliki ilmu kebal. Mungkin ini keajaiban Tuhan untuk
menyelamatkanku. Ada hal yang mungkin tidak mereka ketahui bahwa aku
adalah tukang listrik yang sudah makan asam garam.
Sengatan listrik dengan berbagai voltase
sudah menjadi makananku sehari-hari. Mungkin karena sering kena setrum,
tubuhku menjadi akrab dengan listrik. Sampai sekarang pun aku bisa
memegang aliran listrik di instalasi rumah tanpa tersengat.
Orang pun sering heran, dan suka mengetes
dengan menempelkan tespen di lenganku yang dialiri kabel listrik. Lampu
tespen menyala.
“Kamu harus tetap di sini,” ujar salah satu dari mereka.
Menjadi pengangkut mayat korban
Aku dibebaskan tetapi dengan syarat aku
mau bekerja sama. Aku akhirnya menjadi tenaga teknisi di kamp.
Pekerjaanku serabutan, dari mulai tukang kebun, tukang masak,
memperbaiki instalasi listrik, memperbaiki mobil tahanan yang rusak,
sampai menjadi sopir pengantar mayat.
Yang terakhir ini membuatku merasa ngeri
saat pertama kali melakukannya. Akhirnya aku pun menjadi terbiasa
memperlakukan tawanan yang sudah tak bernyawa. Sebenarnya ini bukan
bagian pekerjaanku. Tetapi karena aku sering memperbaiki dan membawa
mobil, aku pun diperintah untuk mengangkut tahanan yang mati di kamp.
Setiap pagi dan siang ada yang mati,
malam hari aku bekerja. Selepas maghrib, aku mengangkut mayat-mayat itu
ke Jembatan Bacem untuk dibuang ke sungai Bengawan Solo atau ke kuburan
massal. Setiap malam, minimal tiga mayat aku angkut dengan mobil. Setiap
Sabtu dan Minggu, jumlahnya bisa 20 sampai 30. Aku mengantarkan jenazah
setiap malam selama dua tahun.
Aku terpaksa bekerja di kamp tahanan,
meskipun hatiku tidak di sana. Jika tidak mau bekerja sama, aku pasti
sudah tewas. Aku mungkin tahan sengatan listrik, tetapi kulit dan
dagingku tidak anti peluru.
Bebas, namun ditandai
Setelah aku bebas, aku tetap ditandai
sebagai eks-tahanan politik. KTP ku berbeda dengan orang biasa.
Anak-anakku pun tak bisa menjadi pegawai negeri, tentara, atau polisi.
Selama Orde Baru, aku berusaha untuk menyembuhkan trauma dan mencari
makan sendiri. Aku membuka bengkel untuk menyambung hidup.
Aku pernah bergabung dengan organisasi
korban 65. Tugasku adalah mencari dan mendata jumlah korban pelanggaran
HAM berat 1965. Aku berhasil mendapatkan ribuan orang korban yang masih
hidup di wilayah Solo, Klaten, dan Boyolali. Tetapi, aku akhirnya
berhenti karena aku sudah lelah dengan ketidakpastian nasib korban.
Lima puluh tahun sudah tragedi itu
berlalu. Aku tak menyimpan dendam meskipun lima tahun di tahanan. Aku
hanya ingin negara tahu dan mengakui bahwa aku adalah satu dari sekian
banyak orang tak bersalah yang menanggung penderitaan karena pergolakan
politik.
Aku bukan pemberontak, bukan pengkhianat, bukan komunis. Aku si tukang listrik, korban salah tangkap!
Namun, selepas Oktober, semuanya kembali senyap.— Rappler.com
Kisah di atas seperti yang dituturkan
Martono YS (82), seorang survivor (penyintas) yang pernah diperiksa
oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2008 sebagai
korban dan saksi pelanggaran HAM 1965-1966, kepada Rappler
0 komentar:
Posting Komentar