Rabu, 21 Oktober 2015

Tentang jejak PKI di Aceh


* anonymus

ADAKAH hari bersejarah yang paling dikenal rakyat Indonesia selain tanggal 17 Agustus? Bagi saya, itu adalah tanggal 30 September.

Sebelum Soeharto jatuh pada 1998, TVRI saban 30 September malam selalu menayangkan film Gerakan 30 September (G30S) yang menggambarkan betapa kejamnya Partai Komunis Indonesia (PKI) menculik dan menyiksa para jenderal TNI. Di ujung film, Soeharto muncul sebagai pahlawan. Ia digambarkan seperti pahlawan yang menyelamatkan Indonesia dari kekuatan sadis PKI.

Entah karena pengaruh film atau sebab lain, PKI hingga kini identik dengan sesuatu yang sadis. Orang-orangnya disebut tak percaya Tuhan, tanpa agama. Istilah atheis pun dilakabkan pada mereka yang bergabung ke sana.

Di Aceh, yang saya tahu, istilah PKI kerab dilakapkan pada seseorang yang tidak disukai. Kalimat "lagee PKI-kah" kerap kita dengar dilontarkan seseorang jika tidak menyukai lawan bicaranya. Maksudnya,"kamu seperti PKI."

Tapi seberapa buruk sebenarnya PKI? Benarkah PKI tidak beragama? Jika benar, mengapa partai itu diizinkan? Bukankah itu bertentangan dengan sila pertama Pancasila tentang kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa? Mengapa pula PKI yang katanya tak ber-Tuhan punya wakil di DPR Aceh? Benarkah di Aceh pernah hidup orang-orang yang tak percaya Tuhan?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggantung di kepala saya hingga kini. Apalagi ketika saya tahu ternyata komunis adalah sebuah paham yang berawal dari perjuangan kaum buruh yang memperjuangkan hidup tanpa kelas alias kehidupan yang setara. Istilah awamnya, susah senang dirasa bersama.

Rasa penasaran saya kian bertambah. Bukankah dalam Islam pun kita diajarkan untuk hidup setara tanpa kelas dan kasta? Atau jangan-jangan pada titik itulah ajaran komunis menemukan tempatnya di Aceh? Pertanyaan-pertanyaan itu hingga kini masih bersemayam di benak saya.

Saya pernah mencoba mencari saksi sejarah untuk menuntaskan rasa penasaran itu. Dari kalangan ulama, kalimat yang muncul hampir seragam. Intinya, PKI adalah "kafir" yang tak pantas hidup di bumi Aceh.

Bukannya tak percaya ulama jika kemudian saya mencoba mencari perspektif lain dari sudut pandang PKI. Namun, saya juga ingin tahu seperti apa mereka melihat dirinya. Pastilah  mereka punya pembenaran sendiri. Sayangnya, sulit sekali mencari orang PKI di Aceh. Kalau pun ada, mereka memilih tiarap, tak banyak bicara.

Mencari buku-buku referensi tentang PKI di Aceh juga sulit. Sedikit sekali referensinya.

Sampai akhirnya dari beberapa literature yang sedikit itu, saya tahu bahwa yang disebut PKI itu lahir dari organisasi Sarekat Dagang Islam yang kelak terpecah dalam beberapa fraksi. Ada yang bilang, Sarekat Dagang Islam sengaja disusupi ideologi komunis.

Sarekat Dagang Islam yang kemudian menjadi Sarekat Islam (SI) akhirnya benar-benar pecah menjadi SI putih dan SI merah. SI merah dipimpin Haji Omar Sait Cokroaminoto, dan SI merah yang berhaluan sosialis komunis dipimpin Samaun.

Sarekat Dagang Islam telah berdiri sejak 16 Oktober 1905. Perubahan nama menjadi Sarekat Islam terjadi pada 1912. Lima tahun berselang, SI menjadi partai politik. Sementara friksi antara SI putih dan SI merah kian melebar pada 1921. Pada tahun yang sama Samaoen dan Darsono dikeluarkan dari Sarekat Islam sebagai bagian dari membersihkan organisasi itu dari ideologi komunis.

Lalu bagaimana paham komunis ini mendapat tempat di Aceh? Ini pun tak ada titik terang. Dari kurun waktu 1921 hingga masa awal kemerdekaan, saya tak menemukan referensi tentang jejak PKI di Aceh.

Untunglah saya menemukan sebuah referensi berupa dokumen teks pidato yang dibacakan Sekretaris CDB PKI Aceh, Muhammad Samadikin, dalam Kongres Nasional PKI ke-6 pada tanggal 7-14 September 1959. Pidato itu memperlihatkan sisi nasionalisme PKI di Aceh. Mereka ternyata sama sekali tidak mendukung perjuangan DI/TII di bawah pimpinan Teungku Daud Beureueh yang ingin mendirikan negara Islam.

Samadikin memulai pidatonya dengan menyebutkan bahwa kaum PKI di Aceh "sedang berjuang mengalahkan kaum kontra-revolusioner  DI/TII Daud Beureuh cs."

Dalam pidatonya, Samadikin juga menyinggung tentang cita-cita PKI yang disebutnya "untuk mengakhiri sama sekali kekuasaan imperialisme dan tuan tanah di Indonesia dan membentuk kekuasaan rakyat, pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat."

Tak berhenti di situ, Samadikin juga menyebutkan,"Daud Beureuh cs telah memanfaatkan semangat anti-Belanda rakyat Aceh untuk memasukkan Jepang ke daerah Aceh dan bersama-sama Jepang menindas pemberontkan anti-fasis di Bayu dan di Pandrah."

Di bagian lain, Samadikin menyebut, saat itu sisa-sisa feodalisme masih mempunyai pengaruh yang amat besar di Aceh. Dia membagi tuan tanah di Aceh dalam dua golongan: "tuan tanah DI/TII yang bersekongkol dengan kaum imperialis dan tuan tanah dari golongan teuku/uleebalang yang anti-DI/TII dan bersatu dengan kekuatan republik melawan DI/TII."

Samadikin lantas mencontohkan apa yang disebutnya sebagai sisa-sisa feodalisme di Aceh. Ia merujuk pada sistem sewa menyewa tanah milik uleebalang.

"Pengaruh sisa-sisa feodalisme di daerah Aceh ditandai dengan masih adanya hak monopoli tuan tanah atas tanah; sewa-tanah dalam bentuk hasil bumi seperti bagi lhe (bagi tiga – sebagian untuk tuan tanah dan dua bagian untuk kaum tani), bagi limong (bagi lima – sebagian untuk tuan tanah, empat bagian untuk kaum tani); sewa alat-alat pertanian, seperti sapi, luku, lhong (tali air) dan lain-lain; adanya sistem kulak dan lintah darat; sistem ijon dan mawah; sistem jual-beli akad dan gadai; serta pengisapan supra-ekonomi," kata Samadikin.

Kebencian PKI Aceh terhadap kaum uleebalang dirincikan Samadikin dalam kalimat begini:

"Sisa-sisa feodalisme yang masih merajalela di desa-desa ini tidak memberikan kebebasan bagi tenaga-tenaga produktif di desa-desa dan tidak memungkinkan adanya kenaikan produksi. Disamping itu, daerah Aceh sangat terbelakang di lapangan ilmu, pendidikan, dan kesehatan. Daerah Aceh yang terkenal sebagai daerah surplus, dalam tahun 1957, 1958, dan 1959 mengalami kekurangan beras, sehingga harga beras membumbung tinggi sampai Rp. 20,- sekilo (bulan Oktober 1958) dan sekarang ini Rp. 9,- sekilo. Untuk 1½ juta penduduk hanya ada 13 orang dokter dan menurut catatan tahun 1957 hanya ada 548 buah Sekolah Rakyat Negeri, 22 Sekolah Rakyat partikelir dengan murid semuanya 88.036 dan sekolah lanjutan kira-kira 45 buah."

Ia juga memprotes pemberlakuan wajib militer oleh DI/TII, juga pelarangan aktifitas kebudayaan yang sangat digemari rakyat seperti seudati, poh, ratoh dan lain-lain.

Sampai di sini, saya melihat ada satu musuh bersama antara PKI Aceh dengan kaum ulama di bawah komando Teungku Daud Beureueh: kaum ulee balang. Kita tahu, perang Cumbok yang terjadi tahun 1948 adalah tragedi kelam antara kaum ulama dengan ulee balang.

Namun, Samadikin buru-buru mengingatkan, tidak semua uleebalang yang disebutnya sebagai kaum feodal harus dijadikan musuh. "Suatu kenyataan bahwa tidaklah semua tuan tanah di Aceh pro DI/TII, malah tidak sedikit yang menentang DI/TII, karena lahirnya DI/TII di Aceh adalah merupakan kelanjutan proses dari perebutan kekuasaan di antara golongan tuan tanah yang baru mulai tumbuh dengan golongan tuan tanah yang lama. Jadi, pada hakekatnya bersumber pada persoalan agraria," kata Samadikin.

Ia melanjutkan,"justru karena itu adalah keliru kalau Partai melakukan tindakan  yang sama terhadap semua tuan tanah di daerah Aceh. Politik yang  tepat ialah bersatu dengan semua kekuatan Republik – termasuk tuan  tanah anti DI/TII – untuk menghancurkan gerombolan DI/TII yang  bersekutu dengan kaum imperialis. Disamping itu sekaligus harus juga ada aksi-aksi kaum tani menuntut penurunan  sewa tanah dari tuan tanah, termasuk tuan tanah yang anti-DI/TII dengan cara-cara dan dalam batas-batas yang tidak sampai merugikan front anti-DI/TII."

Ketika Samadikin berbicara di forum itu, Kodam Iskandar Muda yang dipimpin Syamaun Gaharu sedang berhadap-hadapan dengan DI/TII di bawah pimpinan Teungku Daud Beureueh. Samadikin lantas menyampaikan sikap partainya dalam kalimat begini,"partai menyokong usaha Komando Daerah Militer Aceh/Iskandar Muda untuk menghancurkan dengan kekuatan senjata, kekuatan DI/TII Daud Beureuh."

Ia juga mengutip peribahasa yang katanya dipopulerkan Syamaun Gaharu yang berbunyi:
Lon jak u glee jikap lee rimueng
Lon tron u krueng jitaloum lee buya
Lon jak u laot jitop lee paroe
Lon woe u Nanggroe jipoh le bangsa
Ho lon jak juga Tuhanku? Lon jak bak Droeneuh ibadat hana
(Ku pergi ke hutan ditangkap harimau, ku turun ke sungai ditangkap buaya, kupergi ke laut disambar ikan pari, ku pergi ke kampung dibunuh oleh bangsa sendiri. Kemana lagi aku pergi, Tuhan. Mau kembali kepadaMu ibadat tak ada).


***
Setahun setelah Samadikin menyampaikan pidatonya, lahir Perpres No.5 Tahun 1960 yang membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRDGR) untuk periode 1961-1964 yang diketuai Gubernur Aceh Ali Hasjmy.

Saya tidak tahu persis berapa orang anggota PKI Aceh yang duduk di sana. Namun, ada satu nama yang disebut sebagai perwakilan PKI di lembaga yang sekarang bernama DPR Aceh itu. Orang itu bernama Thaib Adamy. Ia menjabat sebagai Wakil Sekretaris Pertama Komite PKI Aceh. Belakangan, pada 16 September 1963 Thaib dihukum dua tahun penjara. Majelis hakim yang dipimpin Chudari menyatakan Thaib terbukti bersalah menghasut rakyat dan menyiarkan kabar bohong saat berpidato di Gedung Bioskop Purnama Sigli. Ia dinilai telah menimbulkan keonaran sekaligus menghina aparat pemerintah.

Namun dalam pledoinya yang dibukukan oleh Komite PKI Aceh tahun 1964, Thaib Adamy menolak semua dakwaan itu. Dalam pembelaaan berjudul "Aceh Mendakwa" itu, Thaib menyebutkan apa yang dilakukannya semata-mata untuk mengungkapkan kebenaran dan membela kaum buruh dan petani di Aceh.

"Kegiatan saya yang membikin saya berkenalan dengan pengadilan ini
bukan satu kejahatan, karena rakyat tidak mungkin memberi simpati pada orang jahat," kata Thaib Adamy.

Thaib Adamy  menutup pledoinya dengan mengutip sebuah pepatah Aceh. "Njang teupat meupalet, yang sulet lheuh. (yang jujur terikat, yang curang dilepas)."

Ia juga melampirkan  sebuah pantun dalam bahasa Aceh lengkap dengan terjemahan bahasa Indonesia:
"Ranub kuneng on di gampong Lamreh
Kareung meutjungkeh di Lho; Kruengraya
Meunjoe ta bantji leo that pue daleh
Meunjoe ta gaseh salah pih beuna
(Sirih kuning di kampung Lamreh
Karang "meutjungkeh" di Lho' Kruengraya
Kalau membenci banyak dalih
Kalau kasih salah pun benar).

***

Apa yang membuat Thaib merasa mendapat simpati rakyat? Dalam pengantar buku yang ditulis oleh Muhammad Samikidin disebutkan, dalam enam kali persidangan, setiap sidang dihadiri antara 5-10 ribu orang. "Belum pernah perkara politik di Aceh mendapat perhatian begitu besarnya dari massa Rakyat," tulis Samikidin.

Angka yang disebut Samikidin membuat saya bergidik. Terkenang lagi dengan klaim bahwa PKI tidak percaya Tuhan. Jika benar, sebanyak itukah pendukung orang yang tidak beragama di Aceh ketika itu?

Menarik menyimak apa yang dikemukan sejarawan Aceh Rusdi Sufi dalam makalahnya berjudul "Krisis Nasional dan Masa Peralihan di Aceh (1965-1967).

Menurut Rusdi Sufi, para pendukung Thaib Adamy datang dari Samalanga yang merupakan salah satu kota santri di Aceh.

"Partai komunis ini agak berkembang di Kecamatan Samalanga, Aceh Utara karena di daerah kecamatan ini pada tahun-tahun 1930-an merupakan daerah gerakan Sarikat Islam yang kemudian berkembang menjadi Sarikat Islam Merah yang merupakan embrio gerakan komunis. Tidak heran bila sewaktu sidang pengadilan Thaib Adamy diadakan sejak bulan Maret 1963 di Sigli, berduyun-duyun orang komunis dan simpatisannya berdatangan dari Samalanga untuk memberikan support kepada Thaib Adamy," tulis Rusdi Sufi.

Menurut Rusdi, ideologi komunis mulai merembes masuk ke wilayah Aceh tatkala gerakan tersebut memasuki Hindia Belanda pada akhir dasawarsa tahun 1910-an. "Gembong kaum komunis di Aceh pada waktu itu umumnya berasal dari kaum pendatang," tambah Rusdi.

Tentang cara PKI mendulang dukungan di Aceh, Rusdi mengatakan partai itu  membujuk orang awam dengan mengatakan bahwa PKI diterjemahkan sebagai  Partai Kejayaan Islam. Begitu juga dengan BTI yang diterjemahkan sebagai Barisan Tani Islam.

Namun dalam pembelaannya di Pengadilan Sigli, Thaib Adamy jelas-jelas menyebut "saya membela keyakinan komunis saya." Tidak ada satu pun kalimat yang menerjemahkan PKI sebagai Partai Kejayaan Islam.

Seperti pandangan umum yang berkembang, Rusdi Sufi menyimpulkan bahwa penyingkiran kaum komunis di Aceh "karena gerakan itu dibumbui dengan pahamnya yang atheis." Sayangnya, Rusdi tidak menyebutkan contoh seperti apa tindakan atheis itu.

***

Menarik menelisik lebih jauh hubungan PKI Aceh, kaum ulama yang tergabung dalam PUSA, TNI, dan uleebalang.

Di awal kemerdekaan, PKI dan kaum ulama punya musuh bersama: kaum uleebalang, meski tak semua disamaratakan. Toh ada juga kaum uleebalang yang bergabung dalam PUSA. Ini sama seperti seperti pidato Samadikin yang tak menyamarakan uleebalang sebagai musuh mereka. Namun, secara umum mereka punya kepentingan bersama: menjatuhkan kekuasaan uleebalang. Sejarah kemudian mencatat, momentum itulah yang menjadi titik balik perubahan status sosial di Aceh.

Hubungan yang didasari kepentingan bersama itu kemudian retak ketika sebagian kaum ulama angkat senjata menentang pemerintah Indonesia. Pada tahap ini, PKI justru mendukung tentara dan pemerintah Indonesia. Sebaliknya, ulama PUSA berada pada posisi berhadap-hadapan dengan tentara Indonesia.

Ketika Abu Beureueh dan kawan-kawan memutuskan turun gunung pada 1962, tiga tahun menjelang meletusnya penculikan para jenderal yang kelak disebut sebagai G30S PKI, hubungan tentara dan ulama mulai terjalin lagi. Pangdam saat itu Kolonel Jasin yang memerintahkan penangkapan Thaib Adamy, mulai membina hubungan harmonis dengan kaum ulama PUSA pimpinan Abu Beureueh.

Malapetaka bagi PKI terjadi setelah G30S. Kaum ulama dan tentara bersepakat memberangus PKI. Ali Hasjmy dalam sebuah bukunya menulis, dua bulan setelah G30S para ulama menggelar musyawarah yang bertajuk Musyawarah Alim Ulama se-Daerah Istimewa Aceh. Musyawarah yang berlangsung di Banda Aceh itu dipimpin ulama besar Teungku Abdullah Ujongrimba. Pertemuan itu melahirkan fatwa mengharamkan ajaran komunis di Aceh. Disebutkan,"penggerak, pelopor dan pelaksana G30S adalah "kafir harbi yang wajib dibasmi."

Musyawarah kaum ulama itu tidak lahir dengan sendirinya. Adalah Ishak Juarsa, Pangdam Iskandar Muda selaku Penguasa Perang untuk Daerah Istimewa Aceh yang meminta pendapat hukum Islam mengenai G30S. Walhasil, pada 17-18 Desember 1965 berkumpullah 56 alim ulama se-Aceh.

Kaum ulama pulalah yang mengeluarkan seruan wajib hukumnya membubarkan PKI dan mengeluarkan fatwa mati syahid bagi mereka yang terbunuh dalam penumpasan G30S.

Mendapat legitimasi ulama, besoknya, pada 19 Desember 1965, Panglima Kodam I Iskandarmuda mengumumkan pembubaran PKI di Aceh.

Yang terjadi berikutnya, pembantaian yang terlalu pahit untuk dikenang. Jika pada masa Perang Cumbok PKI punya kepentingan yang sama dengan kaum ulama, tahun 1965 sejarah mencatat kaum ulama dan tentara bersekutu mengganyang PKI. Ribuan nyawa kembali melayang. Tanpa pengadilan, tanpa pembuktian. Yang penting: ganyang PKI hingga ke akar-akarnya!

Bagaimana dengan kaum uleebalang? Saya belum menemukan referensinya. Saya hanya bisa menduga-duga kaum uleebalang pun grop lam padok karena kelompok yang sebelumnya punya misi menjatuhkan mereka telah tamat riwayatnya.

Melihat runtutan dan tali temali unsur-unsur yang terlibat di dalamnya,  sulit menampik bahwa faktor politiklah yang mendominasi pembunuhan kaum PKI. Ini mengingatkan saya pada nasib Ikhwanul Muslimin di Mesir. Bukan lantaran ideologinya, melainkan mereka sama-sama dibubarkan dan diburu oleh pemerintah yang merasa kepentingannya terganggu. Anda punya pandangan lain? []


Catatan: artikel ini juga dipublikasikan di atjehtoday.com
Sumber: AcehNetwork.Com 

0 komentar:

Posting Komentar