Made Supriatma
Judul
: The Contours of Mass Violence in
Indonesia, 1965-68
Editor
:
Douglas Kammen dan Katharine McGregor
Penerbit
: Honolulu, Asian Studies Association of Australia dan University of Hawai’i
Press
Tahun :
2012
PEMBANTAIAN massal tahun 1965 adalah peristiwa yang paling
gelap dalam sejarah republik ini. Kira-kira setengah hingga sejuta orang mati
terbunuh dalam peristiwa mengerikan tersebut. Dari segi kuantitas, pembantaian
ini bahkan menyamai jumlah yang terbunuh saat genosida di Rwanda tahun 1994.
Namun, tidak seperti genosida di Rwanda, dunia internasional tampaknya tidak
peduli untuk mengungkit hal ihwal pembantaian di Indonesia ini.
Hingga kini pembantaian itu lebih banyak menyisakan
pertanyaan daripada jawaban. Bahkan kita gagap untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang paling umum seperti: Mengapa pembunuhan itu terjadi?
Dimana saja terjadinya? Siapa yang melakukannya? Siapa yang menjadi korban?
Dimana para korban dikuburkan?
Usaha-usaha untuk menyelidikinya pun tidaklah mudah. Selama 32 tahun kekuasaan
Orde Baru, pemerintah Indonesia menutup semua celah untuk melakukan penelitian
mendalam soal pembantaian ini. Ironisnya, setelah Orde Baru tumbang sekali pun,
kesulitan-kesulitan untuk menyelidikinya tetap ada. Tantangan datang tidak saja
dari negara – khususnya dari militer Indonesia – namun juga dari masyarakat
sipil. Sebagian dari kelompok masyarakat sipil ini diperalat oleh militer dan
negara. Sebagian lainnya memang murni lahir dari ‘komunisto-phobia’ yang
melanda (khususnya) golongan agama.
Kekurangan informasi dan kajian tentang pembantaian 1965
itulah yang ingin dilengkapi oleh buku ini. Pembuatannya diawali dengan sebuah
konferensi ilmiah tiga hari di National University of Singapore. Para editor
memilih sembilan tulisan dari peserta konferensi itu yang kemudian
dikompilasikan dalam sebuah buku. Tulisan-tulisan tersebut dianggap mewakili
beragam pikiran yang muncul dalam konferensi tersebut.
***
Pada bagian awal, dua editor dari buku ini menulis sebuah
Pengantar yang membawa pemahaman baru terhadap pembantaian massal ini.
Pertanyaan yang mereka ajukan mendasar: mengapa pembunuhan massal ini terjadi?
Kedua editor ini sepintas menyinggung beberapa teori yang menyebutkan mengapa
pembantaian massal ini terjadi, misalnya perbedaan ideologi yang sangat
ekstrem, kompetisi tajam antar partai politik, soal perebutan tanah di
pedesaan, ekonomi yang memburuk karena hiper-inflasi, kekurangan pangan, dan
lain sebagainya. Sekalipun penjelasan-penjelasan ini tampak meyakinkan, namun
tidak seluruhnya benar. Mungkin satu sebab itu bisa menjelaskan satu keadaan
khusus di tingkat lokal. Namun sulit untuk dipakai dalam menganalisa
keseluruhan pembunuhan massal.
Banyak ahli yang memusatkan kajian pada korban menyebutkan
bahwa pembantaian massal ini adalah sebuah usaha untuk mengeliminasi PKI dari
panggung politik Indonesia. Editor buku ini mengkritik pandangan tersebut,
dimana menurut keduanya terlalu oversimplikasi. Mereka berargumen bahwa usaha
pemberantasan terhadap PKI sesungguhnya sedikit banyak telah dituntaskan pada
bulan Desember 1965. Sejak saat itulah saingan politik utama TNI-Angkatan Darat
sudah habis. Langkah Angkatan Darat berikutnya adalah membabat kekuasaan
Soekarno yang pada ujungnya menjungkalkannya dari kekuasaan pada bulan Maret
tahun 1966. TNI-Angkatan Darat tidak berhenti sampai disana. Mereka mulai
membersihkan tubuh tentara dan birokrasi dari orang-orang Kiri. Mereka kemudian
juga membersihkan partai-partai politik.
Semua ini dilakukan oleh TNI-Angkatan Darat dengan kecepatan
dan efisiensi yang sangat mengagumkan. Mereka menunggangi kondisi sosial yang
memang sudah matang karena persaingan politik dan ideologis yang telah ada
sebelumnya. Menurut kedua editor ini, pandangan yang mengatakan bahwa
pembantaian massal adalah bentuk penghancuran PKI dalam konteks perang dingin
sesungguhnya penjelasan yang mengabaikan dimensi politik dari kekerasan ini.
Pembantaian massal tahun 1965 tidak hanya berhenti pada penumpasan kekuatan
politik Kiri dan pembantain kaum Kiri. Namun, demikian argumen mereka,
pembantaian massal ini adalah “sebuah reorganisasi segenap kekuatan sosial dan reintegrasi
Indonesia ke dalam ekonomi dunia kapitalis” (cetak miring dari
saya). Singkatnya, pembantaian massal ini adalah sebuah kontra-revolusi (hal.
11).
***
Tulisan-tulisan dalam buku ini berusaha untuk mengkaji
pembantaian massal 1965 dari berbagai aspek. John Roosa, misalnya, mencoba
mencari titik terang dari bagian yang paling gelap dan paling sering diklaim
sebagai alasan untuk melakukan pembantaian massal, yakni Gerakan 30 September.
Roosa mengelaborasi argumen-argumen yang pernah ditulis dalam bukunya, ‘Dalih
Pembunuhan Massal’ (Pretext to
Mass Murder) itu. Dia menelaah argumen resmi pemerintah Orde Baru
yang mengkaitkan Gerakan 30 September dengan PKI, dan kemudian dengan
pembantaian massal. Roosa memakai konsep ‘aporia,’ yakni hal yang secara
individual kelihatan masuk akal namun secara keseluruhan jalinan logikanya akan
berantakan, untuk menelaah argumen resmi Orde Baru tersebut. Alhasil, John
Roosa menyimpulkan bahwa Gerakan 30 September memang hasil kerjaan Biro Chusus
Politbiro PKI, namun sangat sulit untuk menghubungkannya dengan PKI secara
keseluruhan. Apalagi dipakai untuk menjustifikasi pembantaian massal.
Pada bagian yang lain, Brad Simpson berusaha mengungkap
dimensi internasional dari pembantaian massal ini. Dari riset mendalam terhadap
dokumen-dokumen sejarah yang tersedia, Simpson berpendapat bahwa Amerika dan
negara-negara Barat memang dari sejak awal menginginkan Indonesia diperintah
oleh penguasa otoriter. Ini dilakukan lewat kerjasama dengan militer dan
intelektual sipil pro-Barat yang jengah dengan sistem demokrasi parlementer
yang tidak bisa membawa stabilitas dan pembangunan ekonomi. Dari sinilah lahir
‘proyek PRRI’ – pemberontakan di daerah-daerah yang ditulang punggungi oleh
militer.
Namun, hubungan Indonesia dengan negara-negara Barat memburuk
karena konfrontasi dengan Malaysia. Sementara itu, setelah kegagalan proyek
PRRI, kekuatan PKI malah makin meningkat. Hingga muncullah percobaan kudeta
G30S yang kemudian terbukti membawa berkah untuk Amerika dan negara-negara
Barat.
Dalam artikelnya, Simpson merinci bagaimana Amerika dan
sekutu-sekutunya membantu militer Indonesia. Sekalipun usaha kudeta ini cukup
mengejutkan bagi Amerika, namun mereka bertindak cepat untuk membantu militer
Indonesia. Dalam beberapa jam setelah mendengar berita usaha kudeta gagal itu,
Amerika sudah menyiapkan daftar bantuan untuk militer Indonesia.
Beberapa
minggu setelah kudeta, tentara menghubungi kedutaan besar Amerika di Jakarta
untuk meminta bantuan.
Amerika dan para sekutunya tahu persis akan pembantaian
terhadap anggota-anggota PKI dan organisasi afiliasinya, namun mereka tidak
mengambil tindakan apapun. Tetapi Simpson tidak beranjak lebih jauh dengan
mempersoalkan hal yang paling sering menjadi kontroversi, yakni pemberian
daftar elit PKI yang harus dibunuh.
Hal yang paling penting dari kajian Simpson adalah bantuan
besar-besaran yang diberikan Amerika kepada regim Soeharto yang baru berkuasa.
Sebagai balasan, Soeharto dan para teknokratnya pun menuruti apapun yang
dikehendaki oleh Amerika. Sebagai contoh, Simpson menyebutkan bagaimana
Rancangan Undang-undang Penanaman Modal Asing dibikin oleh perusahan konsultan
bernama Van Sickel Associates yang bekerjasama dengan Widjojo Nitisastro
(arsitek utama ekonomi Orde Baru, sering disebut sebagai ‘tetua’ Mafia
Berkeley). Rancangan Undang-undang itu dikonsultasikan terlebih dahulu dengan pihak
Kedutaan Besar Amerika. Dari situ pulalah, Amerika bisa mendapatkan akses untuk
mengeksploitasi sumber mineral Indonesia, termasuk Freeport.
***
Tulisan-tulisan selanjutnya membahas dinamika pembantaian di
daerah-daerah. Mungkin bagian inilah yang paling menarik dari buku ini.
Pembantaian di setiap daerah memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri. Variasi
itulah yang memberikan banyak nuansa. Seperti misalnya, mengapa di satu daerah
jumlah korban pembantaian rendah sementara sangat tinggi di daerah lain?
Taruhlah misalnya pembantaian di Jawa Tengah dan di Jawa Barat. Jumlah korban
yang dibantai di Jawa Tengah mencapai ratusan ribu jiwa, sementara di Jawa
Barat hanya sekitar sepuluh ribu. Padahal jumlah anggota PKI di kedua daerah
itu tidak jauh berbeda. Ternyata, perbedaan itu terjadi karena latar belakang
sejarah di kedua daerah tersebut dan kemauan militer mempersenjatai rakyat
sipil untuk melakukan pembunuhan. Di daerah-daerah dimana terjadi pemberontakan
Darul Islam (seperti di Jawa Barat) tentara tidak mempersenjatai milisi sipil
untuk melakukan pembantaian.
Ini jelas terlihat dari tulisan Douglas Kammen dan David
Jenkins yang membahas peranan RPKAD (Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat)
dalam pembantaian di Jawa Tengah dan Bali. RPKAD (yang sekarang menjadi
Kopassus) benar-benar merupakan mesin pembunuh. Karena militer lokal (seperti
Kodam Diponegoro di Jawa Tengah atau Brawijaya di Jawa Timur) memiliki banyak
tentara yang menjadi simpatisan PKI, maka tugas RPKAD adalah membersihkan tubuh
militer. Selain itu, mereka memobilisasi rakyat sipil untuk melakukan
pembunuhan. Sehingga, bagaikan malaikat maut, kemana saja pasukan RPKAD
melangkahkan kakinya pada saat itu maka hampir pasti ribuan nyawa tercabut.
Soal pembunuhan oleh rakyat sipil itulah yang menjadi subyek
bahasan Greg Fealy dan Katharine McGregor. Mereka berupaya mengupas peranan
jaringan Nahdlatul Ulama (terutama sayap organisasinya seperti Ansor dan
Banser) dalam hubungannya dengan komandan-komandan militer di Jawa Timur. Hal
yang penting untuk dicatat dalam bab ini adalah bahwa dalam hubungannya dengan
militer, NU tidak hanya dipakai untuk melakukan pembunuhan, namun juga, dalam
beberapa kasus, mencegah terjadinya pembantaian yang lebih luas.
Kekerasan tahun 1965 tidak hanya berhenti pada pembantaian.
Dia juga merambah ke bidang lain yakni penahanan, pemenjaraan, dan kerja paksa.
Kasus etnik Tionghoa di Sumatra Utara dan para tahanan PKI di Sulawesi Selatan
menjadi contoh nyata. Dalam kasus etnik Tionghoa di Sumatera Utara, sekalipun
mereka bukan sasaran utama dari kekerasan anti-komunis, namun mereka mengalami
masa penahanan yang lebih lama. Penyebabnya adalah adanya negosiasi dan
pertentangan di kalangan kelompok-kelompok anti-komunis di Sumatera Utara yang
kemudian menjadikan etnik Tionghoa sebagai sasaran. Sementara, di Sulawesi
Selatan para tahanan politik Kiri selain dipenjara juga harus melakukan kerja
paksa. Dalam bab yang ditulis oleh Taufik Ahmad jelas sekali tampak bahwa
perwira-perwira militer mengambil keuntungan dari kerja paksa para tahanan
tersebut.
Salah satu aspek yang jarang diperhartikan menyusul
pembantaian tahun 1965 dan penghancuran PKI adalah reaksi para kader PKI itu
sendiri. Satu studi yang ditulis oleh Vannessa Hearman persis menelaah soal ini
dengan studi kasus Blitar Selatan. Menurutnya, sisa-sisa kader PKI berusaha
bertahan di perbukitan kapur Blitar Selatan. Berlawanan dengan anggapan tentara
Indonesia yang mengklaim ‘basis PKI’ di Blitar Selatan adalah kelompok
bersenjata, Vannessa Hearman menunjukkan bahwa tujuan utama para kader ini ke
Blitar Selatan adalah untuk mengungsi. Kesulitan persenjataan dan ketatnya
kontrol oleh tentara mengakibatkan tidak mungkinnya dibentuk kelompok gerilya.
Vannessa menggambarkan teknik-teknik ‘penumpasan’ sisa-sisa Komunis di Blitar
Selatan yang brutal, yang mana akibatnya lebih banyak mengenai kaum perempuan
dan anak-anak.
Dua tulisan berikutnya adalah tentang dinamika di Jembrana,
Bali, dan tentang kuburan massal. Penelusuran lebih jauh oleh Mary Ida Bagus di
Jembrana memperlihatkan bahwa politik lokal didominasi oleh dua klan
aristokrasi yang saling beradu dalam pembunuhan massal. Yang pertama adalah
klan yang dipimpin oleh Anak Agung Sutedja, gubernur Bali pertama, sementara
yang kedua adalah klan Guru Wedastra Suyasa. Sutedja adalah gubernur yang sangat
dekat dengan Soekarno. Sementara Suyasa adalah pemimpin PNI (Partai Nasional
Indonesia). Sutedja menghilang (tepatnya: dihilangkan) saat dia berkunjung ke
Jakarta karena dipanggil presiden Soekarno. Hingga kini nasibnya tidak
diketahui. Sementara, Suyasa memimpin Tameng, milisi PNI yang menjadi ujung
tombak pembantaian di Bali. Namun setelah Soeharto berhasil mengkonsolidasikan
kekuasaannya, PNI pun ditindas habis.
Pembantaian besar-besaran tidak pelak membuat persoalan
tentang kuburan. Sementara banyak terdengar bahwa mayat-mayat korban
pembantaian dibuang di sungai atau di luweng-luweng (sumur yang sangat dalam yang
terdapat di gua pegunungan, atau bisa juga lubang yang dalam), banyak juga yang
dikubur begitu saja dalam satu lubang. Tulisan dari Katharine McGregor mengulas
persoalan ini, khususnya seputar kontroversi untuk memberi penghormatan yang
layak kepada mereka yang dikuburkan secara massal.
***
Buku ini dengan tepat mencatat bahwa pembantaian 1965 adalah
sebuah bentuk kontra-revolusi. Lewat pembantaian tersebut, militer Indonesia
berusaha mengembalikan tatanan lama yang berusaha dihancurkan pada Revolusi
1945. Sejarah Indonesia – khususnya yang dinarasikan oleh Orde Baru – tidak
terlalu memberi perhatian terhadap apa yang terjadi dalam masyarakat Indonesia
pada periode 1945-1949. Periode ini adalah periode revolusi sosial dimana
rakyat biasa berusaha menjungkirkan tatanan lama. Petani, buruh, pemuda,
santri, pelajar, hingga ke preman berusaha mengorganisasikan diri untuk menjadi
bagian dari revolusi sosial ini. Sebagaimana halnya revolusi, tidak terlalu
mengherankan bila kekerasan terjadi dimana-mana.
Namun, revolusi sosial ini tidak pernah selesai dengan
tuntas. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda, kekuatan-kekuatan lama
tampil kembali. Tentara melakukan apa yang dinamakan ‘ReRa’ atau rekonstruksi
dan rasionalisasi. Pada hakekatnya, ini adalah program untuk membikin sebuah
tentara yang ‘profesional.’ Namun ada harga yang sangat mahal yang harus
dibayar. Profesionalisasi ini mengeluarkan banyak sekali anak-anak muda dari
kelas bawah yang tidak memiliki pendidikan memadai untuk memenuhi syarat
menjadi tentara. Secara kelas, pimpinan tentara pun menjadi beralih dari
komandan-komandan kelas bawah ke kelas menengah terdidik. Tidak ada lagi
tentara yang tipenya seperti Sudirman yang memimpin TNI pada saat revolusi.
Yang muncul adalah tentara sejenis Nasution dan Simatupang yang fasih berbahasa
Belanda dan dididik sebentar di akademi militer Hindia Belanda.
Indonesia kemudian dijejali dengan berbagai kekuatan politik
dengan ideologinya masing-masing. Tentara, sekalipun resminya adalah organ
negara, juga mulai menjadi kekuatan politik. Persis pada titik inilah, Amerika
dan negara-negara Barat melihat celah untuk mengamankan kepentingan strategis
mereka dalam hal ekonomi maupun pertahanan. Banyak investasi Amerika dan
negara-negara Barat di Indonesia hilang atau dirampas pada saat revolusi
terjadi. Satu-satunya harapan dan jalan masuk adalah lewat militer Indonesia –
sebuah organisasi yang memerlukan kemodernan dan bisa menjadi kekuatan untuk
mengontrol semua wilayah Indonesia.
Tidak terlalu lama kemudian tentara juga menjadi kekuatan
ekonomi. Program nasionalisasi perusahan-perusahan asing yang dilakukan
Soekarno menguntungkan militer. Banyak tentara mulai menguasai perkebunan,
pertambangan, dan perusahan-perusahan lain yang semula dikuasai oleh asing.
Dalam situasi ini, tidak terlalu mengherankan bahwa ketika berhasil
mengkonsolidasikan dirinya, tentara kemudian menjadi benteng konservatisme dan
kapitalisme. Hanya ada satu kekuatan yang bisa menyaingi tentara sebagai
kekuatan politik dan ekonomi. Gesekan mulai terjadi ketika tentara mulai
menguasai perusahan-perusahan asing. Tentara harus berhadapan dengan
serikat-serikat buruh dan serikat tani yang berafiliasi ke PKI.
Harus diakui, tidak ada organisasi yang paling berhasil untuk
mengorganisasikan kekuatan massa yang biasanya disingkirkan dari proses politik
selain PKI. Partai ini tumbuh dengan pesat sesudah dihancurkan karena percobaan
melakukan ‘revolusi ala Bolshevik’ di Madiun tahun 1948 (masih dalam periode
revolusi sosial). Salah satu kekuatan partai ini adalah kemampuannya untuk
memberikan suara dan akses ke kekuasaan kepada mereka yang sebelumnya tidak
dipandang sebelah mata dalam proses kekuasaan. Contoh yang paling sederhana
adalah nama-nama pemimpin partai ini, semisal Rewang, Nyono, Nyoto, Sudisman,
dan lain-lain, yang mengindikasikan kuatnya akar kelas bawah mereka. Hampir
tidak ada nama-nama pimpinan PKI yang mengindikasikan mereka datang dari kelas
aristokrat atau kelas yang biasa dianggap berkuasa.
Itulah sumbangan terbesar dari buku ini. Secara garis besar,
buku ini menunjukkan kepada kita bagaimana gerakan kontra-revolusioner yang
dimotori oleh militer bekerja. Namun sayangnya, argumen yang paling penting ini
justru yang paling diabaikan dalam buku. Tidak ada elaborasi lebih lanjut dari
‘kontra-revolusioner’ yang dilakukan lewat pembantaian besar-besaran pada tahun
1965 itu. Itu terjadi mungkin karena buku ini hanya berpusat pada pembantaian tahun
1965 dan harus mengakomodasi berbagai pikiran dan temuan dari daerah yang
disampaikan oleh banyak peneliti.
Dengan demikian, studi tentang gerakan kontra-revolusioner
ini tentu bisa menjadi agenda riset tersendiri. Orde Baru mengambalikan tatanan
masyarakat kepada tatanan masyarakat ‘rust en orde’ yang pernah ada pada zaman
kolonial. Dengan menumpahkan darah jutaan orang dan dengan menciptakan kaum
Kiri sebagai kelas pariah dalam masyarakat, Orde Baru menjungkirkan semua ide
dan tatanan masyarakat yang pernah dicita-citakan oleh Revolusi 1945. Di dunia
internasional, Indonesia kembali ke tatanan kapitalis dunia dan membuka diri
untuk eksploitasi berkelanjutan. Di dalam negeri, Indonesia pada masa Orde Baru
menciptakan pasar dan membesarkan kelas konsumen – yang sebagian besar berasal
dari kelas sosial menengah ke atas – yang juga mengisi lapisan-lapisan
birokrasi dan militer Indonesia. Bahkan setelah Orde Baru tumbang sekali pun
orientasi ini tidak menghilang, dan justru bertambah kuat.
Tugas lain dari agenda riset gerakan kontra-revolusioner ini
adalah juga untuk mengidentifikasikan aktor-aktornya dan dari kelas sosial mana
mereka berasal. Perbandingan dengan kelas yang menghidupi masyarakat kolonial
(yang sebagian besar dibangun dari kelas pegawai itu) akan semakin memperjelas
posisi aktor-aktor pendukung Orde Baru, yang didukung oleh kelas menengah
terdidik, birokrat, dan aristrokrat.
Dengan melihat pembantaian massal tahun 1965 sebagai gerakan
kontra-revolusioner juga akan mempermudah kita untuk mengerti bahwa gerakan ini
adalah revolusi pada dirinya sendiri. Artinya, sekalipun merupakan
‘kontra-revolusi,’ pembantaian ini adalah sebuah revolusi. Dia melakukan
reorganisasi kekuatan kelas sosial yang memiliki ideologinya sendiri. Semua
kekuatan yang tidak berada dalam gerbong kelas dan ideologi kontra-revolusi
yang diciptakan oleh militer Orde Baru harus diberangus dan diberantas habis.
Demikianlah kita lihat bahwa kekuatan-kekuatan sosial dan
politik yang dipakai dan diperalat untuk membantai oleh militer kemudian satu
per satu dipungkas dan dibabat habis. Itu pulalah yang dialami oleh kaum
Nasionalis dan kaum Islam. Ketika Orde Baru mengkonsolidasi kekuasaannya,
dengan segera dia menyasar kekuatan politik Nasionalis dan Islam. Regim Orde
Baru menyingkirkan sama sekali mereka dari kekuasaan. Dalam hal ini, dilihat
dari perspektif pembantaian massal, para korban dan para jagal mengalami nasib
yang sama: tergilas oleh tank-tank militer.
Sumber: Indoprogress
0 komentar:
Posting Komentar