Kamis, 01 Oktober 2015 | 20:04 WIB
Diorama penyiksaan Pahlawan Revolusi oleh anggota PKI (Partai Komunis
Indonesia) di Kompleks Monumen Pancasila Sakti, Jakarta, 29 September
2015. ANTARA FOTO TEMPO.CO,
Yogyakarta - Sepetak lubang segi empat berukuran sekitar 180 x 120 centimeter dengan kedalaman 70 centimeter dibiarkan menganga di bawah atap bangunan joglo. Dasar lubang itu dibiarkan tetap berupa tanah, sedangkan lantai sekitarnya berupa porselin putih.
Di dalam lubang yang terletak di Dusun Kentungan, Desa Condong Catur, Kecamatan Depok, Sleman itu menjadi lokasi penemuan jenazah petinggi batalyon itu: Komandan Komando Resor Militer 072/Pamungkas Brigandir Jenderal TNI Katamso dan bawahannya, Kas Rem 072/Pamungkas Kolonel Infanteri Soegijono.
Seperti tujuh Pahlawan Revolusi yang ditemukan di sumur Lubang Buaya di Jakarta, Katamso dan Soegijono juga menjadi korban kudeta berdarah yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965. Mereka dibunuh pada 2 Oktober 1965 oleh para stafnya yang menyebut dirinya sebagai pendukung Dewan Revolusi.
Katamso dan Soegijono dikubur di dalam lubang yang telah ditanami pohon pisang dan ubi jalar. Tak heran, kedua jenazah itu baru ditemukan sebulan setelah peristiwa G 30 S. “Dulunya, ini hutan dan rawa yang dipagari akwat berduri. Dilewati orang untuk jalan pintas,” kata penjaga lokasi itu yang diberi nama Monumen Pahlawan Pancasila Kentungan Yogyakarta, Malis Ari Juliyanto saat ditemui Tempo di tepi lubang, Kamis, 1 Oktober 2015.
Katamso diculik dari rumahnya karena menolak untuk mendukung pembentukan Dewan Revolusi. Sedangkan Soegijono diculik usai kembali dari Semarang setelah menjumpai Pangdam VII/Diponegoro Brigjen TNI Suryosumpeno.
Keduanya dipukul pada bagian kepala dengan kunci mortal dan dilempari batu sebesar kepala bayi. Benda-benda berupa kunci mortal dan batu itu ikut disimpan dalam lemari kaca di kantor monumen. “Keduanya dipukul dengan kunci mortal delapan, bukan ditembak,” kata Malis.
Sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Baskara T. Wardaya yang kerap melakukan penelitian tentang peristiwa G 30 S melihat bahwa peristiwa itu bukan didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun adanya gerakan militer yang dikomandoi tiga tokoh utama militer Angkatan Darat, yaitu Letnan Kolonel Untung Sauri, Kolonel Abdul Latief, dan Mayor Soejono. “Ide gerakan itu untuk menyelamatkan Sukarno akibat isu Dewan Jenderal,” kata Baskara.
Kini, menurut dia, yang mesti dilakukan negara maupun masyarakat Indonesia, bukan lagi saling tuding untuk menyalahkan dan merasa lebih benar. Bukan pula penyelesaian melalui hukum. Pun bukan permintaan maaf dari penguasa negara sekarang, karena mereka tidak terlibat dalam peristiwa 1965 itu. “Tapi rekonsiliasi dari bekas korban dan bekas pelaku, dari bukan korban dan bukan pelaku,” kata Baskara.
PITO AGUSTIN RUDIANA
https://m.tempo.co/read/news/2015/10/01/078705598/eksklusif-g30s-kisah-seram-lubang-buaya-di-yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar