ARIEF IKHSANUDIN
Kamis 01 Oktober 2015 WIB
Gubernur Bali, Anak Agung Bagus Sutedja.
KORBAN pembantaian massal pasca Gerakan 30 September 1965 (G30S) tidak hanya anggota dan simpatisan PKI. Tetapi juga orang-orang nasionalis atau Sukarnois seperti Gubernur Bali, Anak Agung Bagus Sutedja, yang dihilangkan dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya.
“Ayah saya bukan anggota atau simpatisan PKI. Ini dibuktikan dengan surat keterangan nomor 351 tahun 1989 yang menyatakan tidak terlibat Gerakan 30 September,” kata Anak Agung Gede Agung Bagus Sutedja, anak sang gubernur, dalam bedah buku Nasib Para Soekarnois: Penculikan Gubernur Bali Sutedja, 1966 di LBH Jakarta, 1 Oktober 2015.
Bagus Suteja menyebut ayahnya yang lahir tahun 1923 sebagai pejuang kemerdekaan sejak tahun 1942 sehingga tercatat sebagai veteran sejak 29 Juli 1964.
Menurut Aju, penulis buku, menghilangnya Gubernur Sutedja berlatar belakang konflik Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bali. Sutedja yang dekat dengan Sukarno dituduh masuk PKI. “Ada perseteruan internal di tubuh PNI antara kubu Sutedja dan kubu I Nyoman Mantik serta Wedastera Sujasa,” kata Aju.
Dalam Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik, sejarawan Geoffrey Robinson menyebutkan bahwa Nyoman Mantik adalah seorang antikomunis yang kukuh. Sudah sejak tahun 1957 dia melancarkan serangan gencar terhadap PKI, mengingatkan bahaya kudeta komunis, dan menyerukan kepada Presiden Sukarno agar melarang partai ini. Pada 1958, ketika upayanya untuk menjadi gubernur dimentahkan oleh pilihan Sukarno kepada Sutedja, Mantik mulai menuduh Sutedja sebagai simpatisan komunis. Dalam kampanyenya, Mantik dibantu oleh sosok antikomunis yang ganas, Wedastera Suyasa.
“Lebih daripada tokoh PNI lokal manapun, kedua eks pemuda inilah –Mantik dan Wedastera– yang bertanggung jawab atas meningkatnya polarisasi politik di Bali sesudah tahun 1958. Sesudah kudeta 1965, Mantik bekerja keras untuk ′meng-Golkar-kan′ PNI Bali, yang pada hakikatnya berarti membersihkan organisasi elemen-elemen Sukarnois yang berafilias dengan PNI,” tulis Geoffrey Robinson.
Setelah G30S konflik semakin berkembang, apalagi setelah Sutedja pergi ke Jakarta. “Pada 9 Desember 1965, Anak Agung diisukan oleh lawan-lawan politik melarikan diri ke Jakarta. Itu tidak benar, karena ada undangan resmi dari ketua MPRS Chairul Saleh untuk hadir di Bandung dalam rangka sidang gabungan ke-10 MPRS. Juga menghadiri sidang-sidang akhir tahun dari Dewan Harian Nasional Angkatan 45,” kata Bagus Sutedja.
Selain itu, Bagus Sutedja mengatakan bahwa ayahnya dipanggil oleh Presiden Sukarno ke Istana Negara pada 10 Desember 1965. Presiden membutuhkan bantuannya. Sukarno pun mempercayai bahwa dia tidak terlibat G30S. Setelah pertemuan itu, dia tinggal di Jakarta.
“Kemudian pada tanggal 29 Juli 1966, saksinya adik saya yang perempuan bersama almarhumah ibu saya, didatangi empat orang militer berseragam membawa senjata laras panjang dan pistol, membawa mobil Nissan warna abu-abu. Sejak saat itu, tidak tahu lagi bagaimana nasib Gubernur Sutedja,” kata Bagus Sutedja.
Nursjahbani Kartjasungkana, aktivis hak asasi manusia yang mendorong Internasional People’s Tribunal 1965 menegaskan bahwa setelah G30S banyak orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan PKI dibunuh atau ditahan atas tuduhan ikut terlibat dalam pemberontakan. Padahal, mungkin hanya karena dendam pribadi yang akhirnya mengakibatkan pembantaian.
“Pemerintah tidak boleh melihat konflik 1965 semata-mata konflik ideologis. Ini ada aspek kemanusian. Paling tidak, bahwa pernah terjadi kejahatan HAM serius, as bad as genocide,” kata Nursjahbani.
Ketua Komnas HAM Bidang Internal, M. Imdadun Rahmat, menyambut baik hadirnya buku tentang G30S dari perspektif di luar pemerintah. “Masyarakat bisa menggunakan nalarnya untuk mencari kebenaran masing-masing,” katanya.
Selain Gubernur Bagus Sutedja, buku ini juga menceritakan kisah enam kepala daerah lainnya yang dituduh terlibat G30S: Gubernur Sumatera Utara Brigjen TNI Oeloeng Sitepu, Gubernur Sumatera Selatan Pagar Alam, Gubernur Kalimantan Tengah Tjilik Riwut, Gubernur Jakarta Henk Ngantung, Gubernur Kalimantan Barat Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray, serta Gubernur Jawa Tengah Mochtar.
http://historia.id/modern/dituduh-komunis-gubernur-bali-dihilangkan
0 komentar:
Posting Komentar