Kamis, 02 Juni 2016

Bagaimana Kita Memahami Kebebalan Kiki dan Kiplan (juga Taupik)

oleh: Roy Murtadho
 

Seandainya, sekali lagi seandainya mereka mau sedikit belajar. Insyaallah, Allah akan menunjukkan jalan kebenaran pada orang semacam mereka. 
Coba kalo mereka mau meluangkan sedikit waktu dan menyisakan sedikit kecerdasan untuk membaca buku tipis yang cuma 139 halaman karya Etienne Balibar, mengenai filsafat Marx, ini. 
Maka kalimat dan statemen-statemen yang justru memalukan umat Islam Indonesia tidak akan keluar dari mulut mereka dalam Simposium tandingan yang konon dimaksudkan untuk menjaga NKRI yang hari ini digelar. 

Jujur saja, saya sangat sedih dan kecewa melihat tingkah polah dan manuver mereka yang sudah tua ini yang terus-terusan menghasut rakyat dengan Kebebalannya. Kalau mereka punya komitmen terhadap Islam, harusnya mereka memberikan teladan yang baik pada rakyat, dengan merumuskan secara rigorus konsep perdamaian dalam Islam untuk masa depan republik ini, sebagai proposal perdamaian bagi semua rakyat Indonesia. 
Bukannya malah sibuk menghasut yang juntrunganya hanya mempertontonkan arogansi, kebebalan, dan kebencian. Apakah Islam sesungguhnya demikian? Tentu saja tidak. Sebelum saya lanjutkan. Sekali lagi saya ulangi, sebagai bagian dari jutaan umat Islam Indonesia, saya benar-benar kecewa, melihat Islam dijadikan pemuas hawa nafsu, dendam dan amarah yang tidak berdasar dan tak ada ujungnya. Mereka dengan sekehendak hatinya telah mempermainkan, dan mengkomodifikasi agama Allah yang suci lagi mensucikan, yang selamat lagi menyelamatkan untuk meraih keuntungan dan hasrat dendam mereka sendiri.

Semesta Islam yang sejatinya Kosmopolit, terbuka, dan demokratis justru dikebiri habis-habisan tanpa ada sisa bagi secuil kebenaran pun untuk bicara. Mereka mendustakan banyak ayat Allah sembari memekikkan nama Allah. Mereka melafalkan nama Allah untuk menakut-nakuti hamba Allah. Mereka mengagungkan (juga menggaungkan nama Allah) dengan merendahkan Allah.
Dengan situasi ini. Sayangnya lagi, kebanyakan Cendekiawan Muslim kita yang selama ini gemar mempromosikan Islam damai justru tak terdengar suaranya. Para kaum terdidik Islam yang selama ini menjadi garda depan suara kebebasan dan toleransi rupanya juga cukup alergi bila berbicara mengenai 65, Marxisme, komunisme, buruh dan petani. 
Seolah-olah mereka mempunyai ruang kedap udara untuk membincangkan Islam yang menyelamatkan versi mereka sendiri yang bersih dari debu sejarah hari ini, jauh dari hiruk pikuk perjuangan korban 65, buruh yang dianiaya, petani yang dirampas tanahnya, atau nelayan yang disingkirkan dari lautnya. 
Tak sedikitpun kita tahu kaum terdidik Islam menunjukkan suaranya terhadap berbagai malapetaka sosial yang kita hadapi hari ini. Buktinya minim sekali kritik, atau pernyataan yang kita dengan darinya mengenai bangkitnya fasisma orba atau lebih jauh berani membangun agenda penegakan hak-hak yuridis dan politis korban pembantaian 65 via Islam.Jika ada masih sedikit sekali.

Sudah sangat jauhkan kita dengan Islam Ideal yang hendak kita wujudkan sebagai Islam yang seringkali diklaim sebagai jalan keselamatan ini? Bila dijawab dengan jujur, bisa jadi: iya!. Islam kita hari ini dan di sini yaitu Islam faktual, tak bisa disangkal adalah Islam yang bangkrut, Islam yang kehilangan apinya, Islam yang bukan lagi obor yang memberi arah dan penunjuk jalan (Hudan linnas) bagi umat manusia. Islam kita adalah Islam yang La Tarikhiyah (ahistoris) yang jauh dari Islam yang pernah dipraktikkan oleh nabi. 

Entah kita suka atau tidak suka, Soekarno menyebut Islam semacam ini sebagai Islam Sontoloyo. Islam yang hanya bisa membangun masyarakat onta bukan masyarakat Kapal udara yang berarti berkemajuan dan kosmopolitan. Islam kita hari ini tak lebih dari Islam yang picik (bahkan licik, mau menang sendiri) pendendam, dan pseudo Demokrat. Bagi mereka yang percaya dengan Islam semacam ini, keadilan hanya berlaku bagi 'golongan ku sendiri'. Rumusnya, meskipun salah, bila ini menyangkut saudara sendiri: 'lebih baik bertempur hidup mati membelanya ketimbang bertindak adil dan jujur'. 

Bahkan yang paling menyedihkan. Kehormatan Islam disematkan pada figur-figur yang hanya bisa pakai sorban, berparfum, sedikit pakai celak dan berjenggot. Seolah-olah figur-figur tersebut tak pernah alpa dan dosa. Dengan kritik ini mereka akan menyanggah: 'Oh, ya bagaimana mungkin mereka yang dipanggil habib, kiai, ustad, pernah salah? Apa anda sedang melecehkan Islam?' Inilah faktanya Islam kita. Islam yang diwakili para pendendam semacam Kiki, Kiplan, Taupik, Rijik dan banyak lainnya. 

Islam inilah yang selama ini telah kita bangga-banggakan: 'Islam Sontoloyo'. Islam yang abai pada ketidakadilan. Fatalnya tanpa disadari, seringkali dengan bangga kita tepuk-tepuk dada sendiri sembari bergumam: 'alhamdulillah, kita telah menyelamatkan Indonesia dengan Islam kita'. Mereka lupa bahwa mereka telah mengibarkan Panji Islam dengan dendam bukan kasih sayang. Mereka double standard bila bicara 65. persis sebagaimana sering dikritik oleh Gus Dur bahwa banyak tokoh Islam Indonesia yang tak berani jujur pada sejarahnya sendiri di tahun 65, bahwa mereka telah dimainkan oleh laskar hijau nya Soeharto. Mereka hanya dijadikan gedibal sang Jagal besar yang secara keliru dijuluki sebagai bapak pembangunan (harusnya yang benar adalah bapak peng-hancur-an dan bapak pen-jagal-an Indonesia).

Anda semua bisa bayangkan. Bagaimana jadinya, seandainya Islam diwartakan oleh nabi dengan menghunuskan pedang pada orang yang tidak mengimani Allah? Apakah Islam akan menjadi agama Rahmat? Atau menghukum orang yang tak bersalah apa-apa dan menghabisinya dengan keji? Tentu saja Nabi tidak melakukan itu. Setitik pun tidak. Kemudian dari mana daya teologis amarah mereka yang masih ingin menghunuskan pedang pada rakyat yang tengah memperjuangkan keadilan? Bukannya su'udzan. Bisa jadi daya itu dipetiknya dari Abu Jahal dan Abu Lahab. Dua Mahaguru kebencian dalam sejarah Islam yang oleh Allah sampai diabadikan dalam Al-Qur'an. Bagi Abu Jahal dan Abu Lahab dan Islam picik atau Islam Sontoloyo, prinsipnya gampang: Yang tak sepakat denganku, sikat! Bukankah Kiki, Kiplan, Taupik atau Rijik menunjukkan tabiat demikian? Hati nurani anda sendiri yang harus menjawabnya. 

Jika saya boleh bertanya. Ayat manakah dalam Al-Qur'an yang bisa membenarkan pembantaian ratusan ribu manusia tak berdosa? Islam cap apakah ini? Akal apakah yang bisa membenarkan ini? 

Maha benar Allah dengan segala firman-nya. Dalam Al-Qur'an Allah telah mengingatkan agar kita memohon padanya agar memberi perlindungan dari kejahatan (wa min syarri) para pendengki (hasidin) ketika ia menghasut (Idza jasad) seperti Kiki dkk. Maka minimal inilah yang harus kita lakukan terlebih dulu menghadapi fitnah para pendengki. Kemudian tetap Istiqomah digaris perjuangan dan tidak boleh membiarkan Islam dibajak oleh segelintir orang pendengki tersebut. Dan yang terakhir, tak boleh diam atau pura-pura tak tahu dengan situasi ini. 
Karena kebungkaman dihadapan malapetaka adalah dosa. Bungkam dihadapan ketidakadilan adalah khianat pada agama. Tolong ini di kabarkan di masjid-masjid dan musholla-musholla. Bahwa tak ada yang suci selain Allah itu sendiri. Rijik tidak suci, ustad tidak suci. Dengan demikian, meski bergelar habib, ustad kalau tidak berdiri di jalan kebenaran dan keadilan (malah berdiri di jalan kezaliman) maka musuhnya Allah sendiri. 

Baiklah, sebelum saya akhiri sikap saya, atau anggap saja kekecewaan saya. Saya tak akan sungkan-sungkan menganggap siapapun, entah yang berpangkat intelektuil Islam, budayawan Islam, aktivis lintas iman, lintas RT, lintas RW, lintas kecamatan atau bahkan lintas alam. Kalau Anda diam-diam, mengamini kebohongan kaum fasis orde baru yang berjubahkan agama atau secara sembunyi-sembunyi menyokongnya, maka saya anggap musuh rakyat Indonesia. 
Dan semoga Allah sendiri yang memberi jalan terbaik bagi Anda.

https://www.facebook.com/roy.murtadho/posts/1023809397654804

0 komentar:

Posting Komentar