Arie Firdaus, Jakarta - 2016-07-21
Suasana Sidang Rakyat 1965
di Den Haag, Belanda, November 2015.
Dok. Tribunal1965
Penolakan Pemerintah Indonesia terhadap rekomendasi
Sidang Rakyat (International People's Tribunal/ IPT) 1965 direspons negatif
beragam pihak. Pemerintah dianggap tak punya niat baik dalam penyelesaian
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu.
Padahal seperti dikatakan salah satu keluarga korban,
Ilham Aidit, putusan IPT 1965 bisa menjadi momentum pembuktian bahwa pemerintah
serius menyudahi tragedi kemanusiaan 1965-1966
"Karena jelas, artinya dunia internasional menyoroti masalah ini," tutur Ilham Aidit kepada BeritaBenar, Kamis, 21 Juli 2016.
Ilham adalah putra Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI),
Dipa Nusantara (DN) Aidit, yang tewas dalam rangkaian tragedi tersebut.
"Pemerintah harusnya tergugah dan membuka mata. Kalau masih tidak gubris, justru akan merugikan negara ini karena dianggap masih primitif dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan."
Pandangan serupa dilontarkan pegiat HAM Nursyahbani
Katjasungkana, dengan mengatakan bahwa negara berpotensi merugi jika
menunjukkan resistensi terkait rekomendasi putusan Sidang Rakyat 1965.
Apalagi dalam salah satu poin putusan, majelis hakim
menyebut tragedi 1965-1966 sebagai pembunuhan massal atau genosida.
"Apa yang terjadi di Indonesia ini setara dengan genosida lain di seluruh dunia pada abad ke-20," ujar Nursyahbani, yang juga Koordinator IPT 1965, kepada BeritaBenar. "Meskipun tak mengikat secara hukum, tapi ada sanksi moral karena mengindahkan kesepakatan internasional."
Tak punya ikatan
hukum
Merujuk dari sistem hukum internasional, persidangan
rakyat semisal IPT 1965 yang digelar di Den Haag, Belanda, November tahun lalu
itu, memang tak memiliki ikatan hukum bagi Pemerintah Indonesia.
"Tidak ada ikatan hukumnya itu (IPT 1965),” tegas juru bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir saat dikonfirmasi BeritaBenar.
Pendapat yang sama diutarakan ahli hukum internasional
dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana.
“Hanya ada dampak moral," katanya yang menambahkan bahwa dampak moral muncul dari persepsi negatif dunia internasional terhadap Indonesia.
Ketiadaan landasan hukum persidangan juga menjadi dasar
Pemerintah Indonesia menolak dengan tegas segala rekomendasi putusan Sidang
Rakyat 1965. Salah satunya, kewajiban meminta maaf kepada semua korban, para
penyintas, dan keluarganya.
"Apa urusan dia?” ujar Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, kepada wartawan di Jakarta, Rabu, 20 Juli 2016. "Indonesia punya sistem hukum sendiri. Saya tidak ingin orang lain mendikte bangsa ini. Kami selesaikan dengan cara kami dengan nilai-nilai universal.”
Menekan lewat PBB
Meski pemerintah telah tegas menolak mengakui dan
mengikuti hasil rekomendasi IPT 1965, Nursyahbani masih percaya putusan
tersebut bakal berpengaruh dalam penyelesaian tragedi 1965. Salah satu
siasatnya adalah dengan menyerahkan hasil rekomendasi sidang rakyat kepada
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Hal ini dilakukan agar PBB bisa menekan Indonesia agar
permasalahan kemanusiaan 50 tahun silam bisa diselesaikan. Hanya saja, ia tak
memerinci kapan rekomendasi itu akan diserahkan kepada PBB.
Dia juga berniat menyerahkan rekomendasi IPT 1965 kepada
sejumlah kementerian dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Mudah-mudahan dengan begitu bisa mengubah perspektif Kejaksaan Agung dalam menyelesaikan masalah 1965," kata Nursyahbani lagi.
Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil mengatakan anggota
dewan siap menerima jika putusan IPT 1965 itu diserahkan kepada parlemen. Namun
menurut Nasir, parlemen kemungkinan besar akan bersikap sama seperti
pemerintah, yaitu menolak minta maaf.
“Karena keputusan itu seperti ingin mendikte Pemerintah Indonesia,” kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu. “Indonesia harus berdaulat dalam mengelola persoalan hukum dan kemanusiaan.”
Dibacakan lewat
video
Putusan Sidang Rakyat 1965 dibacakan oleh Ketua Hakim IPT
1965 Zak Yacoob lewat rekaman video dari Cape Town, Afrika Selatan, Rabu. Rekaman
ini kemudian diputar ulang di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI).
Selain menyerukan permintaan maaf dalam putusannya,
Pemerintah Indonesia juga diminta menyidik dan mengadili semua pelanggaran
kemanusiaan yang terjadi dalam kurun waktu tersebut dan memastikan kompensasi
kepada korban dan penyintas.
"Rekomendasi ini mendesak," kata Jacoob, seperti dikutip dari laman tribunal1965.
Ia menyebutkan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan
pemerintah Indonesia pada saat itu termasuk pembunuhan brutal terhadap sekitar
400.000 hingga 500.000 orang, memenjarakan sekitar 600.000 orang dengan tidak
manusiawi, kerja paksa di kamp-kamp buruh, penyiksaan, penghilangan dengan
paksa, kekerasan seksual; dan perampasan kewarganegaraan terhadap ratusan ribu
orang, demikian dilaporkan media.
Menurutnya, rekomendasi ini dikeluarkan karena Pemerintah
Indonesia dianggap lalai mencegah munculnya tindakan tidak manusiawi dan tak
menghukum mereka yang terlibat dalam tragedi itu.
Padahal, tambah Jacoob, hasil penelitian telah
menunjukkan serta mengungkapkan bahwa ada rantai komando dari Soeharto di
Jakarta ke jajaran yang lebih rendah di daerah.
"Yang menyasar kalangan komunis dan siapa saja yang terkait, termasuk pendukung Presiden Soekarno dan anggota serta pendukung PNI," ujar Jacoob lagi.
IPT 1965 yang beranggotakan warga Indonesia yang berada
di pengasingan, aktivis HAM, organisasi korban 1965 dan peneliti itu, secara
resmi berdiri pada tahun 2014.
Putusan pelanggaran HAM berat oleh Sidang Rakyat seperti
yang dialamatkan pada Pemerintah Indonesia bukanlah yang pertama sepanjang
sejarah.
Yugoslavia pernah didakwa melakukan kejahatan kemanusiaan
berat dalam kurun 1991-2001. Setidaknya 140 ribu orang tewas dalam konflik
antar-etnis mematikan, yang disebut terburuk sejak Perang Dunia II.
0 komentar:
Posting Komentar