Kamis, 21/07/2016 11:37 WIB
Putusan Pengadilan
Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 yang menyebut
Indonesia melakukan 'genosida', membuat pendengarnya tercengang. (Dok.
Akun Flickr International People's Tribunal Media)
Jakarta, CNN Indonesia --
Putusan Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan (International People's Tribunal on Crimes Against Humanity, IPT) 1965 yang memasukkan kata ‘genosida’ membuat pendengarnya tercengang.
Para korban Tragedi 1965 yang mendengarkan pembacaan putusan oleh Ketua Hakim Zak Yacoob dari kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, spontan bertepuk tangan, terharu. IPT 1965 memutuskan Indonesia melakukan genosida pada periode 1965-1966.
“Saya agak emosional ketika hakim mengatakan genosida. Saya kira itu keputusan yang luar biasa," kata salah satu korban, Martin Aleida, di kantor YLBHI, Jakarta, Rabu (20/7).
Martin yang mengikuti sidang IPT 1965 pada 10-13 November 2015 di Den Haag, Belanda, mengatakan hakim tak hanya mempertimbangkan apa yang disampaikan dalam persidangan, tapi juga seluruh dokumen dan bahan yang mereka cari sendiri.
“Mereka bekerja dan berpikir dengan luar biasa,” ujar Martin.
Genosida sesungguhnya tidak dimasukkan dalam dakwaan yang diajukan para
penuntut. Namun hakim menyebutkan genosida di dalam putusan.
“Fakta-fakta yang dihadirkan di Sidang Tribunal oleh penuntut termasuk tindakan-tindakan yang disebutkan dalam Konvensi Genosida. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan untuk melawan bagian substansif negara Indonesia atau kelompok nasional, sebuah kelompok yang dilindungi dalam Konvensi Genosida. Tindakan dilakukan dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut secara bagian atau keseluruhan. Hal ini juga berlaku pada kejahatan yang dilakukan pada kelompok minoritas Cina. Indonesia terikat pada ketentuan Konvensi Genosida tahun 1948 di bawah hukum internasional,” ujar Zak Yacoob.
Selain itu, kata-kata “para loyalis Sukarno dan anggota PNI yang progresif” yang ikut disebutkan dalam kesimpulan hakim pun tak masuk dakwaan penuntut.
“Indonesia harus bertanggung jawab terhadap 10 tindakan kejahatan hak asasi manusia berat yang terjadi pada 1965-1966, termasuk di antaranya kejahatan genosida terhadap mereka yang menjadi anggota, pengikut, dan simpatisan Partai Komunis Indonesia, serta loyalis Presiden Sukarno dan anggota Partai Nasional Indonesia yang progresif,” demikian kutipan atas putusan IPT 1965.
Martin berkata, penuntut sesungguhnya telah berniat mencantumkan genosida dalam dakwaan. Namun ada anggota jaksa penuntut di IPT yang tak setuju pencatuman kata 'genosida' karena ia menganggap Tragedi 1965 bukan pembunuhan massal.
“Tetapi uraian dari hakim jelas sekali bahwa ini genosida. Hakim punya kebebasan untuk memutuskan,” kata Martin.
Putusan IPT 1965 menyebutkan bahwa pembunuhan massal, pemusnahan,
pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan
seksual, pengasingan, propaganda palsu, keterlibatan negara lain, hingga
genosida pada periode 1965-1966 di Indonesia merupakan bagian integral
dari serangan menyeluruh, meluas, dan sistematis terhadap PKI,
organisasi-organisasi onderbouw-nya, para pemimpinnya,
anggotanya, pendukungnya, dan keluarga mereka, termasuk mereka yang
bersimpati pada tujuannya, dan secara lebih luas juga terhadap orang
yang tak berkaitan dengan PKI.
Koordinator Umum Yayasan IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana mengatakan, putusan tersebut sesuai dengan ekspektasi tim penuntut.
Meski para penuntut tak membuat dakwaan mengenai genosida, kata dia, dalam perjalanannya unsur-unsur genosida berdasarkan Pasal 1 Konvensi Genosida 1948 telah terpenuhi, yaitu perusakan terhadap kelompok nasional yang kemudian mengubah pola dan relasi sosial masyarakat Indonesia.
Jadi meski genosida tak masuk dalam dakwaan, ujar Nursyahbani, hakim memiliki kewenangan untuk menemukan, memperbaiki, dan memperhalus hukum. Hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri hasil putusan berdasarkan analisisnya.
Kewenangan tersebut disebut ultra petita atau penjatuhan putusan hakim atas perkara yang tidak dituntut. Pada proses hukum di Indonesia, kata Nursyahbani, hal itu juga biasa dilakukan. Namun wewenang ultra petita hanya berlaku bagi proses hukum pidana yang terkait dengan kepentingan publik.
“Kalau tidak (memutuskan genosida), hakim juga bisa dituntut sebagai orang yang membiarkan kejahatan terjadi,” ujar Nursyahbani.
Putusan hakim IPT 1965 menyatakan Indonesia melakukan dua pelanggaran
HAM berat sekaligus. Kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida, dalam
yurisdiksi International Criminal Court, termasuk bagian dari empat pelanggaran HAM berat selain kejahatan perang dan kejahatan agresi.
Ini bukan kali pertama satu negara divonis melakukan lebih dari satu pelanggaran HAM berat. Saat Yugoslavia menjadi terdakwa atas kejahatan selama Perang Yugoslavia, ada dua pelanggaran HAM berat yang dijatuhkan kepada negara itu.
Perang Yugoslavia yang berlangsung selama 10 tahun pada periode 1991-2001 dan menewaskan sekitar 130 ribu sampai 140 ribu orang, disebut sebagai konflik etnis yang amat mematikan, dan terburuk sejak Perang Dunia II.
Sementara IPT 1965 merekomendasikan agar pemerintah Indonesia mengajukan permintaan maaf kepada korban dan keluarganya, serta pihak-pihak yang dirugikan; menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM dan Komnas Perempuan; serta melakukan rehabilitasi dan memberikan kompensasi yang memadai bagi para korban.
(agk)
Para korban Tragedi 1965 yang mendengarkan pembacaan putusan oleh Ketua Hakim Zak Yacoob dari kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, spontan bertepuk tangan, terharu. IPT 1965 memutuskan Indonesia melakukan genosida pada periode 1965-1966.
“Saya agak emosional ketika hakim mengatakan genosida. Saya kira itu keputusan yang luar biasa," kata salah satu korban, Martin Aleida, di kantor YLBHI, Jakarta, Rabu (20/7).
Martin yang mengikuti sidang IPT 1965 pada 10-13 November 2015 di Den Haag, Belanda, mengatakan hakim tak hanya mempertimbangkan apa yang disampaikan dalam persidangan, tapi juga seluruh dokumen dan bahan yang mereka cari sendiri.
“Mereka bekerja dan berpikir dengan luar biasa,” ujar Martin.
|
“Fakta-fakta yang dihadirkan di Sidang Tribunal oleh penuntut termasuk tindakan-tindakan yang disebutkan dalam Konvensi Genosida. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan untuk melawan bagian substansif negara Indonesia atau kelompok nasional, sebuah kelompok yang dilindungi dalam Konvensi Genosida. Tindakan dilakukan dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut secara bagian atau keseluruhan. Hal ini juga berlaku pada kejahatan yang dilakukan pada kelompok minoritas Cina. Indonesia terikat pada ketentuan Konvensi Genosida tahun 1948 di bawah hukum internasional,” ujar Zak Yacoob.
Selain itu, kata-kata “para loyalis Sukarno dan anggota PNI yang progresif” yang ikut disebutkan dalam kesimpulan hakim pun tak masuk dakwaan penuntut.
“Indonesia harus bertanggung jawab terhadap 10 tindakan kejahatan hak asasi manusia berat yang terjadi pada 1965-1966, termasuk di antaranya kejahatan genosida terhadap mereka yang menjadi anggota, pengikut, dan simpatisan Partai Komunis Indonesia, serta loyalis Presiden Sukarno dan anggota Partai Nasional Indonesia yang progresif,” demikian kutipan atas putusan IPT 1965.
Martin berkata, penuntut sesungguhnya telah berniat mencantumkan genosida dalam dakwaan. Namun ada anggota jaksa penuntut di IPT yang tak setuju pencatuman kata 'genosida' karena ia menganggap Tragedi 1965 bukan pembunuhan massal.
“Tetapi uraian dari hakim jelas sekali bahwa ini genosida. Hakim punya kebebasan untuk memutuskan,” kata Martin.
|
Koordinator Umum Yayasan IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana mengatakan, putusan tersebut sesuai dengan ekspektasi tim penuntut.
Meski para penuntut tak membuat dakwaan mengenai genosida, kata dia, dalam perjalanannya unsur-unsur genosida berdasarkan Pasal 1 Konvensi Genosida 1948 telah terpenuhi, yaitu perusakan terhadap kelompok nasional yang kemudian mengubah pola dan relasi sosial masyarakat Indonesia.
Jadi meski genosida tak masuk dalam dakwaan, ujar Nursyahbani, hakim memiliki kewenangan untuk menemukan, memperbaiki, dan memperhalus hukum. Hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri hasil putusan berdasarkan analisisnya.
Kewenangan tersebut disebut ultra petita atau penjatuhan putusan hakim atas perkara yang tidak dituntut. Pada proses hukum di Indonesia, kata Nursyahbani, hal itu juga biasa dilakukan. Namun wewenang ultra petita hanya berlaku bagi proses hukum pidana yang terkait dengan kepentingan publik.
“Kalau tidak (memutuskan genosida), hakim juga bisa dituntut sebagai orang yang membiarkan kejahatan terjadi,” ujar Nursyahbani.
|
Ini bukan kali pertama satu negara divonis melakukan lebih dari satu pelanggaran HAM berat. Saat Yugoslavia menjadi terdakwa atas kejahatan selama Perang Yugoslavia, ada dua pelanggaran HAM berat yang dijatuhkan kepada negara itu.
Perang Yugoslavia yang berlangsung selama 10 tahun pada periode 1991-2001 dan menewaskan sekitar 130 ribu sampai 140 ribu orang, disebut sebagai konflik etnis yang amat mematikan, dan terburuk sejak Perang Dunia II.
Sementara IPT 1965 merekomendasikan agar pemerintah Indonesia mengajukan permintaan maaf kepada korban dan keluarganya, serta pihak-pihak yang dirugikan; menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM dan Komnas Perempuan; serta melakukan rehabilitasi dan memberikan kompensasi yang memadai bagi para korban.
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160721113757-12-146081/kata-genosida-yang-menyentak-dalam-putusan-sidang-1965/
0 komentar:
Posting Komentar