Oleh: Petrik Matanasi - 25 Juli 2016
Kartosuwiryo sebelum dieksekusi mati.
Foto/Istimewa
Tak jelas keberadaan makam dari orang-orang yang dianggap "musuh negara". Sebutlah Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar, atau Soumokil. Penguasa khawatir makam mereka bakal dikeramatkan dan menyemai benih perlawanan.
Nasib Santoso agak mirip dengan Kahar Muzakkar. Keduanya
dicap akan mendirikan negara Islam di Indonesia. Mereka bergerilya di pedalaman
Sulawesi. Santoso akhirnya tewas di hutan Tambarana, Poso, Sulawesi Tengah,
pada 18 Juli 2016 oleh pasukan Raider Yonif 515 Kostrad dari Jawa Timur.
Sementara Kahar Muzakar tewas tak jauh dari Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara,
pada 3 Februari 1965, oleh pasukan raider Yonif 330 Kostrad dari Jawa Barat.
Pembeda penting antara Santoso dan Muzakkar adalah soal
pemakaman. Pemakaman Santoso dihadiri ribuan orang pada 23 Juli 2016. Sementara
pemakaman Muzakkar nyaris tidak terdengar karena pihak militer merahasiakan
makamnya. Keluarga ataupun pemujanya tak bisa mengantarkan idolanya ke tempat
peristirahatan terakhir.
Meski demikian, pamor Muzakkar terbilang besar. Anak-anak
Muzakkar sukses menjadi politisi di tanah kelahiran Kahar, di Luwu. Ada
kesamaan sikap bagaimana menguburkan jenazah para pemberontak, baik Republik
Indonesia maupun pemerintah Hindia Belanda jelang abad 20. Makam-makam mereka
rata-rata disembunyikan.
Tak hanya Kahar Muzakkar, makam Kartosuwiryo (pemimpin Negara
Islam Indonesia) maupun Soumokil (pemimpin Republik Maluku Selatan) di masa
setelah kemerdekaan Indonesia juga tak diketahui letaknya.
Pemerintah Kolonial Memulai Beberapa pemberontak di zaman
Belanda memiliki nasib yang beragam. Ada yang makamnya jelas, bahkan ada yang
dijadikan tugu peringatan, tapi ada pula yang tidak diketahui di mana jasadnya
disemayamkan.
Misalnya Kapitan Jonker yang dihabisi VOC karena dituduh
berkomplot dengan bangsawan Banten untuk melawan VOC di Betawi. Jonker adalah
mitos sekaligus legenda bagi serdadu-serdadu kolonial Hindia Belanda (KNIL)
Ambon. Makam Jonker hilang oleh abrasi, tetapi petilasannya berdiri megah
berkat para pemujanya. Petilasan itu tak tergusur meski sudah dikepung
tumpukan-tumpukan peti kemas di daerah Cilincing, tak begitu jauh dari rumah
hasil rampokan si Pitung. Menurut penduduk setempat, petilasan Jonker pernah
dikunjungi petinju Ambon.
Mereka berharap kekuatan Jonker bisa masuk ke tubuh sang
petinju agar tahan dari pukulan lawan dan mampu merobohkan lawan.
Tak jauh dari petilasan Jonker, ada petilasan Mayor Dotulong,
seorang tokoh legendaris bagi orang-orang Manado yang jadi serdadu KNIL. Makam
Dotulong sendiri sebenarnya ada di Minahasa. Dua petilasan itu bernasib lebih
baik daripada petilasan Mbah Priok, penyebar agama Islam dari Sumatera, di
daerah Koja yang digusur Pelindo. Pada 1700-an, pemerintah kolonial tak
menyembunyikan jejak musuhnya. Pieter Erberveld, yang dipancung pada 1721,
bahkan dibuatkan tugu peringatan. Tujuannya agar menjadi peringatan bagi semua
orang sehingga tidak ada yang coba-coba merebut kekuasaan dari VOC. Tokoh
pembangkang berikutnya adalah Pitung.
Makamnya tak jelas, meski ada koran kolonial menulis makamnya
di sekitar Pasar Baru yang sudah sangat ramai. Sebagian orang mempercayai makam
Pitung ada di sekitar Kebayoran. Pemerintahan pendudukan Jepang memiliki watak
yang agak berbeda. Tentara fasisme zaman Jepang dikenal menguburkan musuhnya
secara serampangan setelah membantainya. Salah satu pejuang Indonesia yang
jasadnya tidak ditemukan adalah Supriyadi.
Semua orang Indonesia yang pernah belajar sejarah mengenai
masa pendudukan Jepang (1942-1945) menjadikan makam Supriyadi sebagai salah
satu misteri sejarah Indonesia. Supriyadi diperkirakan dieksekusi diam-diam
oleh militer Jepang. Selain Supriyadi, Kiai Haji Zaenal Mustofa, pemimpin
pesantren di Sukamanah, Tasikmalaya, yang melawan militer Jepang, juga tak
diketahui secara jelas kuburnya.
Begitupun Achmad Mochtar, dokter yang dieksekusi oleh serdadu
Jepang setelah dipaksa mengaku mencampur vaksin dengan racun yang menyebabkan
tewasnya 900 romusha di Klender. Makam Achmad Mochtar baru ditemukan di Ereveld
Ancol beberapa tahun silam.
Banyak korban pembantaian militer Jepang di Indonesia yang
dikubur secara serampangan. Musuh-musuh militer Jepang itu biasanya dieksekusi
beramai-ramai. Bisanya dengan memenggal kepala atau menusuk dengan bayonet,
lalu dikuburkan dalam satu lubang. Selama beberapa tahun, tak diketahui
jejak-jejak pembantaian ini.
Pemerintah Republik Melanjutkan
Pemerintah Indonesia pada
awal kemerdekaan berlaku sama dengan pemerintah kolonial maupun militer
pendudukan Jepang. Kartosuwiryo, setelah diadili dan divonis mati, akhirnya
dikirim ke sekitar pulau Onrust. Begitupun Soumokil. Eksekusi kedua pemberontak
itu sempat difoto, bahkan foto-fotonya sudah beredar di dunia maya. Namun,
jejak kedua tokoh itu tak diketahui lagi.
Beberapa orang yang dianggap "musuh negara" memang
tak jelas makamnya. Sebutlah Dipa Nusantara Aidit atau Musso. Banyak orang
menduga bahwa penguasa sengaja menyembunyikan makam mereka. Jika makamnya
dirahasiakan, orang-orang bernasib malang itu akan dilupakan semua orang
Indonesia.
Makam musuh penguasa tak boleh diketahui karena punya potensi
menghidupkan kembali gerakan perlawanan. Apalagi orang Indonesia punya tradisi
ziarah. Ziarah dianggap bisa menanam bibit pemberontakan. Kita masih ingat
bagaimana Amerika Serikat memakamkan Osamah Bin Laden. Bukan di daratan, tapi
di Samudera Hindia.
Suatu kali, keluarga Kahar Muzakkar bertanya kepada Jenderal
M. Jusuf, Panglima daerah Sulawesi, tentang makam Muzakkar. Jenderal Jusuf tak
mau memberitahu. Menurut Jusuf, jika letak kuburan Muzakkar diketahui
masyarakat, makamnya akan disembah dan dikeramatkan.
Itulah mengapa beberapa makam yang dianggap musuh negara tak
pernah jelas letaknya. Ada ketakutan bahwa jika makam-makam ini diketahui,
lantas dikeramatkan, maka pemberontakan bisa terulang lagi.
Menghilangkan atau mengaburkan sebuah makam, dengan kata
lain, dianggap sebagai langkah melenyapkan orang yang dimakamkan tersebut dari
sejarah.
___
Keterangan foto: Kartosuwiryo sebelum
dieksekusi mati Reporter: Petrik Matanasi Penulis: Petrik Matanasi | Editor:
Nurul Qomariyah Pramisti
Makam musuh penguasa tak boleh ada, karena punya potensi menghidupkan kembali gerakan perlawanan
Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar