Rabu, 27/07/2016 14:25 WIB
Wiranto resmi menjabat Menko Polhukam di Kabinet Kerja Jokowi. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Wiranto resmi menjabat Menteri Koordinator Politik,
Hukum, dan Keamanan menggantikan Luhut Binsar Pandjaitan. Ia berdiri
berjajar bersama menteri-menteri baru Kabinet Kerja, tepat di sebelah
Sri Mulyani Indrawati yang kini ditunjuk kembali menjadi Menteri
Keuangan Republik Indonesia.
Senyum sumringah beberapa kali terlihat menghiasi wajah Wiranto. Old soldier never die. Kini sang jenderal kembali ke Istana, bahkan dipercaya menjadi salah satu pembantu dekat Presiden Joko Widodo.
Menengok masa lalu Wiranto, jenderal purnawirawan TNI itu dikenal sebagai tokoh militer yang memiliki karier cemerlang. Ia salah satu orang yang pertama kali dilantik sebagai perwira oleh Presiden Soeharto pada awal Orde Baru, 1968.
Bintang Wiranto mulai bersinar ketika ditunjuk menjadi ajudan Presiden Soeharto pada 1987-1991. Sejak itu, kariernya melesat. Setelahnya ia berturut-turut menjabat Kepala Staf Komando Daerah Militer Jaya, Panglima Kodam Jaya, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Karier militer Wiranto ada di titik puncak saat ia memimpin Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Jabatan Panglima ABRI ia emban pada periode 16 Februari 1998 sampai 26 Oktober 1999.
Akhir Orde Baru hingga awal Reformasi, Wiranto berada di lingkaran Istana. Pada masa genting Republik Indonesia, saat negara mengalami transisi demokrasi dari Presiden Soeharto ke BJ Habibie, 14 Maret 1998 sampai 20 Oktober 1999, Wiranto menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) merangkap Panglima ABRI (Pangab).
Reformasi membawa angin perubahan. Dwifungsi ABRI dihapus, berimbas pada pemisahan posisi Menhankam dengan Pangab yang disatukan pada era Orde Baru.
Selanjutnya pada 26 Oktober 1999 sampai 15 Februari 2000, di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Wiranto menduduki kursi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamananan --persis seperti saat ini. Menko Polhukam itu merupakan jabatan tertinggi di pemerintahan yang pernah ia emban.
Namun nama Wiranto tak sepenuhnya bersih dalam lembaran sejarah Indonesia, pun dunia internasional.
Catatan Hitam
Gelombang Reformasi membuat situasi negara tak menentu pada akhir Orde Baru. Wiranto yang kala itu menjabat sebagai Panglima ABRI berhadapan dengan kasus dugaan penculikan, kerusuhan, dan penembakan aktivis mahasiswa. Dia diduga terlibat kasus pelanggaran hak asasi manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam peristiwa Trisakti, serta Semanggi I dan II pada 1998.
Wiranto sulit mengelak dari jeratan tuduhan tersebut karena posisinya. Pada 17 Mei 1998, Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 16 tentang pembentukan Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional. Komando itu memiliki kewenangan besar, dan itu diberikan kepada Jenderal Wiranto.
Namun Wiranto dinilai tak mampu melaksanakan perintah Soeharto. Kepemimpinannya dianggap lemah. Kemampuannya menghimpun potensi ABRI dipertanyakan.
Wiranto dianggap bertanggung jawab atas keamanan negara yang carut-marut saat itu. Ketika banyak korban berjatuhan di era transisi tersebut, Wiranto sesungguhnya berpeluang mengambil alih negara dengan kekuatan militer. Namun dia memilih mengawal proses pergantian kepemimpinan nasional.
Catatan hitam Wiranto bukan hanya pada 1998, namun juga di kasus Timor Timur. Nama Wiranto, menurut Washington Post edisi 16 Januari 2004, masuk dalam daftar tersangka penjahat perang yang dilarang masuk ke Amerika Serikat. Selain Wiranto, ada lima warga negara Indonesia lain yang bernasib sama.
Wiranto didakwa terlibat kejahatan perang oleh pengadilan Perserikatan Bangsa-Bangsa karena tindak kekerasan di Timor Timur. Sebanyak 1.500 orang warga Timor Timur tewas saat referendum atau jajak pendapat di negara itu pada 1999. Referendum dilakukan sebagai penentuan apakah Timor Timur akan tetap bergabung atau berpisah dari Indonesia. Negeri itu akhirnya memilih merdeka, dan kini bernama Timor Leste.
Meski dunia menyoroti peran Wiranto dalam kekerasan di Timor Timur, Indonesia melindunginya. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia menolak menyelidiki keterlibatan aparat negara dalam dugaan pelanggaran HAM Timor Timur.
Sikap pemerintah Indonesia kala itu direspons Amerika Serikat dengan menolak visa Wiranto dan lima orang WNI lainnya. Nama mereka juga dicatat dalam daftar orang yang perlu diwaspadai, sehingga akan diselidiki jika mengajukan visa masuk ke AS.
Di sisi lain, seiring bergulirnya Reformasi, Wiranto berperan membantu institusinya merombak diri, mengembalikan tentara ke fungsi awal sebagai lembaga penjaga kedaulatan negara.
Pasca-Orde Baru runtuh, pada Pemilu 2004, Wiranto yang tergabung dalam Partai Golkar sempat menjadi calon presiden dari partai itu. Namun ia gagal menjadi presiden. Wiranto kemudian mendirikan Partai Hanura dan menjabat ketua umum.
Pada Pemilu 2009, Wiranto kembali melaju ke Pemilihan Presiden. Ia menjadi calon wakil presiden mendampingi Jusuf Kalla. Selanjutnya di Pemilu 2014, Wiranto sempat berniat mencalonkan diri sebagai presiden berpasangan dengan politikus konglomerat Hary Tanoesoedibjo. Namun niat itu ia batalkan karena perolehan suara Hanura tak memadai.
Hari ini, semua catatan kegagalan Wiranto pada Pemilu 'sedikit' terbayar. Senyum Wiranto setidaknya memperlihatkan, ia kembali ke lingkaran nomor satu Republik, dengan mengantongi catatan hitamnya.
(agk)
Senyum sumringah beberapa kali terlihat menghiasi wajah Wiranto. Old soldier never die. Kini sang jenderal kembali ke Istana, bahkan dipercaya menjadi salah satu pembantu dekat Presiden Joko Widodo.
Menengok masa lalu Wiranto, jenderal purnawirawan TNI itu dikenal sebagai tokoh militer yang memiliki karier cemerlang. Ia salah satu orang yang pertama kali dilantik sebagai perwira oleh Presiden Soeharto pada awal Orde Baru, 1968.
Bintang Wiranto mulai bersinar ketika ditunjuk menjadi ajudan Presiden Soeharto pada 1987-1991. Sejak itu, kariernya melesat. Setelahnya ia berturut-turut menjabat Kepala Staf Komando Daerah Militer Jaya, Panglima Kodam Jaya, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Karier militer Wiranto ada di titik puncak saat ia memimpin Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Jabatan Panglima ABRI ia emban pada periode 16 Februari 1998 sampai 26 Oktober 1999.
Akhir Orde Baru hingga awal Reformasi, Wiranto berada di lingkaran Istana. Pada masa genting Republik Indonesia, saat negara mengalami transisi demokrasi dari Presiden Soeharto ke BJ Habibie, 14 Maret 1998 sampai 20 Oktober 1999, Wiranto menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) merangkap Panglima ABRI (Pangab).
Reformasi membawa angin perubahan. Dwifungsi ABRI dihapus, berimbas pada pemisahan posisi Menhankam dengan Pangab yang disatukan pada era Orde Baru.
Selanjutnya pada 26 Oktober 1999 sampai 15 Februari 2000, di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Wiranto menduduki kursi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamananan --persis seperti saat ini. Menko Polhukam itu merupakan jabatan tertinggi di pemerintahan yang pernah ia emban.
Namun nama Wiranto tak sepenuhnya bersih dalam lembaran sejarah Indonesia, pun dunia internasional.
|
Catatan Hitam
Gelombang Reformasi membuat situasi negara tak menentu pada akhir Orde Baru. Wiranto yang kala itu menjabat sebagai Panglima ABRI berhadapan dengan kasus dugaan penculikan, kerusuhan, dan penembakan aktivis mahasiswa. Dia diduga terlibat kasus pelanggaran hak asasi manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam peristiwa Trisakti, serta Semanggi I dan II pada 1998.
Wiranto sulit mengelak dari jeratan tuduhan tersebut karena posisinya. Pada 17 Mei 1998, Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 16 tentang pembentukan Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional. Komando itu memiliki kewenangan besar, dan itu diberikan kepada Jenderal Wiranto.
Namun Wiranto dinilai tak mampu melaksanakan perintah Soeharto. Kepemimpinannya dianggap lemah. Kemampuannya menghimpun potensi ABRI dipertanyakan.
Wiranto dianggap bertanggung jawab atas keamanan negara yang carut-marut saat itu. Ketika banyak korban berjatuhan di era transisi tersebut, Wiranto sesungguhnya berpeluang mengambil alih negara dengan kekuatan militer. Namun dia memilih mengawal proses pergantian kepemimpinan nasional.
Catatan hitam Wiranto bukan hanya pada 1998, namun juga di kasus Timor Timur. Nama Wiranto, menurut Washington Post edisi 16 Januari 2004, masuk dalam daftar tersangka penjahat perang yang dilarang masuk ke Amerika Serikat. Selain Wiranto, ada lima warga negara Indonesia lain yang bernasib sama.
Wiranto didakwa terlibat kejahatan perang oleh pengadilan Perserikatan Bangsa-Bangsa karena tindak kekerasan di Timor Timur. Sebanyak 1.500 orang warga Timor Timur tewas saat referendum atau jajak pendapat di negara itu pada 1999. Referendum dilakukan sebagai penentuan apakah Timor Timur akan tetap bergabung atau berpisah dari Indonesia. Negeri itu akhirnya memilih merdeka, dan kini bernama Timor Leste.
Meski dunia menyoroti peran Wiranto dalam kekerasan di Timor Timur, Indonesia melindunginya. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia menolak menyelidiki keterlibatan aparat negara dalam dugaan pelanggaran HAM Timor Timur.
Sikap pemerintah Indonesia kala itu direspons Amerika Serikat dengan menolak visa Wiranto dan lima orang WNI lainnya. Nama mereka juga dicatat dalam daftar orang yang perlu diwaspadai, sehingga akan diselidiki jika mengajukan visa masuk ke AS.
Di sisi lain, seiring bergulirnya Reformasi, Wiranto berperan membantu institusinya merombak diri, mengembalikan tentara ke fungsi awal sebagai lembaga penjaga kedaulatan negara.
Pasca-Orde Baru runtuh, pada Pemilu 2004, Wiranto yang tergabung dalam Partai Golkar sempat menjadi calon presiden dari partai itu. Namun ia gagal menjadi presiden. Wiranto kemudian mendirikan Partai Hanura dan menjabat ketua umum.
Pada Pemilu 2009, Wiranto kembali melaju ke Pemilihan Presiden. Ia menjadi calon wakil presiden mendampingi Jusuf Kalla. Selanjutnya di Pemilu 2014, Wiranto sempat berniat mencalonkan diri sebagai presiden berpasangan dengan politikus konglomerat Hary Tanoesoedibjo. Namun niat itu ia batalkan karena perolehan suara Hanura tak memadai.
Hari ini, semua catatan kegagalan Wiranto pada Pemilu 'sedikit' terbayar. Senyum Wiranto setidaknya memperlihatkan, ia kembali ke lingkaran nomor satu Republik, dengan mengantongi catatan hitamnya.
http://www.cnnindonesia.com/politik/20160727115332-32-147342/wiranto-kembalinya-ajudan-soeharto-ke-lingkaran-istana/
0 komentar:
Posting Komentar