Selasa, 26 Juli 2016 | 00:01 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com
- Komisioner Komnas HAM Nurcholis mengungkapkan, ia dan Presiden Joko Widodo pernah membahas aspek ekonomi tentang penyelesaian pelanggaran HAM berat, termasuk kasus 1965.
- Komisioner Komnas HAM Nurcholis mengungkapkan, ia dan Presiden Joko Widodo pernah membahas aspek ekonomi tentang penyelesaian pelanggaran HAM berat, termasuk kasus 1965.
Pembicaraan itu dilakukan saat bertemu pada suatu kesempatan di tahun 2015 lalu.
"Pak Jokowi tidak memberikan respons apapun, tetapi Beliau mendukung penyelesaian," kata Nurcholis, di Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin (25/7/2016).
Beberapa waktu kemudian, lanjut dia, Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam sebuah rapat sempat menginterupsi bahwa jika seluruh persoalan 1965 diungkap, akan memberatkan Anggaran Pembelanjaan Negara (APBN).
"Pak JK sempat menginterupsi bahwa kalau nanti semuanya akan diungkap itu akan memberatkan APBN. Itu interupsi Pak JK, silakan dikonfirmasi ke Pak JK. Saya bertanggung jawab atas ucapan saya," papar dia.
Nurcholish mengatakan, proses penyelesaian melalui pengadilan tidak terelakkan. Pasalnya, persoalan peristiwa 1965 juga terkait dengan keperdataan.
Kejadian 1965, kata dia, tidak hanya di kota kota besar tetapi juga di desa-desa.
"Misalnya Itu kantornya PKI yang di Kramat, status hukumnya harus diperjelas ke depan. Ada lagi di desa-desa yang tanahnya hilang dirampas misalnya," kata dia.
Oleh karena itu, lanjut Nurcholis, persoalan ini sangat berat tetapi harus diselesaikan.
Pekan lalu, Majelis hakim internasional dari International People’s Tribunal tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Indonesia 1965 menyatakan bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh negara pasca peristiwa 1 Oktober 1965.
Pembunuhan massal tersebut dilakukan terhadap anggota PKI dan anggota PNI yang merupakan pembela setia Presiden Soekarno.
Hakim Ketua, Zak Jacoob menyatakan Negara Indonesia bertanggung jawab atas beberapa kejahatan terhadap kemanusiaan melalui rantai komandonya.
Pertama, pembunuhan massal yang diperkirakan menimbulkan ratusan ribu korban.
Kedua, penahanan dalam kondisi tak manusiawi, di mana jumlah korban diperkirakan mencapai sekitar 600.000 orang.
Ketiga, perbudakan orang-orang di kamp tahanan seperti di Pulau Buru.
Selain itu, terdapat juga bentuk penyiksaan, penghilangan paksa dan kekerasan seksual.
Majelis hakim merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia minta maaf kepada para korban, penyintas, dan keluarga korban.
Pemerintah juga didesak melakukan penyelidikan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana tuntutan Komnas Perempuan Komnas HAM dalam laporannya.
"Pak Jokowi tidak memberikan respons apapun, tetapi Beliau mendukung penyelesaian," kata Nurcholis, di Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin (25/7/2016).
Beberapa waktu kemudian, lanjut dia, Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam sebuah rapat sempat menginterupsi bahwa jika seluruh persoalan 1965 diungkap, akan memberatkan Anggaran Pembelanjaan Negara (APBN).
"Pak JK sempat menginterupsi bahwa kalau nanti semuanya akan diungkap itu akan memberatkan APBN. Itu interupsi Pak JK, silakan dikonfirmasi ke Pak JK. Saya bertanggung jawab atas ucapan saya," papar dia.
Nurcholish mengatakan, proses penyelesaian melalui pengadilan tidak terelakkan. Pasalnya, persoalan peristiwa 1965 juga terkait dengan keperdataan.
Kejadian 1965, kata dia, tidak hanya di kota kota besar tetapi juga di desa-desa.
"Misalnya Itu kantornya PKI yang di Kramat, status hukumnya harus diperjelas ke depan. Ada lagi di desa-desa yang tanahnya hilang dirampas misalnya," kata dia.
Oleh karena itu, lanjut Nurcholis, persoalan ini sangat berat tetapi harus diselesaikan.
Pekan lalu, Majelis hakim internasional dari International People’s Tribunal tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Indonesia 1965 menyatakan bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh negara pasca peristiwa 1 Oktober 1965.
Pembunuhan massal tersebut dilakukan terhadap anggota PKI dan anggota PNI yang merupakan pembela setia Presiden Soekarno.
Hakim Ketua, Zak Jacoob menyatakan Negara Indonesia bertanggung jawab atas beberapa kejahatan terhadap kemanusiaan melalui rantai komandonya.
Pertama, pembunuhan massal yang diperkirakan menimbulkan ratusan ribu korban.
Kedua, penahanan dalam kondisi tak manusiawi, di mana jumlah korban diperkirakan mencapai sekitar 600.000 orang.
Ketiga, perbudakan orang-orang di kamp tahanan seperti di Pulau Buru.
Selain itu, terdapat juga bentuk penyiksaan, penghilangan paksa dan kekerasan seksual.
Majelis hakim merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia minta maaf kepada para korban, penyintas, dan keluarga korban.
Pemerintah juga didesak melakukan penyelidikan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana tuntutan Komnas Perempuan Komnas HAM dalam laporannya.
Penulis | : Fachri Fachrudin |
Editor | : Inggried Dwi Wedhaswary |
http://nasional.kompas.com/read/2016/07/26/00014951/menurut.komisioner.komnas.ham.jk.bilang.pengungkapan.kasus.1965.beratkan.apbn
0 komentar:
Posting Komentar