Ilham Miftahuddin | 30 Juli 2016
Sepekan lalu (20/7/2016) ketua majelis hakim International People’s Tribunal, Zak Yacoob membacakan putusan sidang atas tragedi kemanusiaan 1965 di Indonesia. Sidang yang diselenggerakan di Den Haag pada November 2015 itu memutuskan bahwa Indonesia harus meminta maaf kepada para korban tragedi kemanusiaan 1965. Selain itu, sidang juga menuntut pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan berbagai pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di tahun 1965. Namun demikian, pengadilan tersebut tak dapat memaksakan keputusannya kepada pemerintah Indonesia sebagai terdakwa.
Sejalan dengan hal itu, Luhut Pandjaitan yang pada saat itu masih menjabat sebagai Menkopolhukam menyatakan bahwa pemerintah tak akan mengindahkan putusan IPT 1965. Luhut menegaskan, IPT tak memiliki kewenangan untuk mendakwa pemerintah bersalah atas tragedi yang telah memakan ratusan korban. Untuk itu, pemerintah merasa tak perlu meminta maaf kepada para korban.
Sebagian besar masyarakat Indonesia pun nampaknya gerah dengan putusan sidang. Banyak yang beranggapan bahwa proses pelurusan sejarah ini sebagai upaya kebangkitan komunisme di Indonesia. Ingatan kolektif masyarakat Indonesia akan peristiwa percobaan kup September 1965 menilai Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang pembunuhan 7 perwira tinggi angkatan darat. Maka, penumpasan terhadap anggota dan simpatisan PKI adalah hal yang lumrah dan wajar. Beberapa organisasi kemasyarakatan bahkan bersikeras tak segan-segan akan kembali menempuh jalan kekerasan terhadap kebangkitan PKI.
Gagasan untuk mengupayakan rekonsiliasi terhadap para korban tragedi kemanusiaan 1965 sebetulnya sudah ada sejak tumbangnya rezim orde baru. Terlebih ketika presiden RI keempat, Gus Dur secara pribadi meminta maaf kepada para korban dan berencana meninjau kembali TAP MPRS NO. XXV tahun 1966 yang selama ini menjadi dasar hukum pemusnahan komunisme. Tentu saja gagasan Gus Dur ini ditentang habis-habisan, bahkan oleh pendukungnya sendiri. Sikap anti komunisme yang mengakar dalam masyarakat Indonesia seolah menjadi tantangan besar dalam setiap upaya menuju pelurusan sejarah dan rekonsiliasi para korban.
Pengadilan IPT 1965 diselenggarakan tepat satu bulan sebelum wafatnya almarhum Wijaya Herlambang. Wijaya yang kala itu tengah disibukkan dengan proses pengobatan kanker limpa menyempatkan hadir dan memberikan kesaksian di depan majelis. Berbekal penelitian disertasi doktoralnya tentang Kekerasan Budaya Pasca 1965, Wijaya menerangkan bagaimana produk-produk budaya seperti karya sastra dan film ikut melegitimasi tindak kekerasan terhadap tertuduh simpatisan PKI sebagai hal yang lumrah.
“Ada banyak sekali ekspresi estetik baik dalam film, karya sastra, dan bentuk kesenian lain yang membuat kita merasa membenci kepada komunisme,” papar Wijaya pada persidangan tersebut.
Wijaya juga menambahkan bahwa hal itu berdampak pada diskriminasi, marjinalisasi, dan intimidasi terhadap para korban dan keluarga kekerasan 1965. Lebih jauh lagi, Wijaya memaparkan dalam bukunya bagaimana ada kolaborasi antara pembuatan narasi tunggal terhadap peristiwa G30S versi orde baru dengan agresi kebudayaan liberal oleh seniman anti komunis untuk menyingkirkan gagasan komunisme di lapangan kebudayaan.
Selain itu, buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 berupaya membongkar aktivitas seniman anti komunis yang didukung oleh Congress for Cultural Freedom (CCF) yang disponsori oleh CIA dalam mempromosikan gagasan-gagasan ekonomi-politik liberalisme. Membongkar korelasi antara penandatanganan Manifes Kebudayaan sebagai salah satu strategi kebudayaan untuk membendung kekuatan komunisme di Asia dan Indonesia. Setelah peristiwa G30S, gagasan humanisme liberal yang diusung dalam manifes kebudayaan menjadi senjata ampuh untuk mempropagandakan kekerasan terhadap anggota dan simpatisan PKI sebagai hal yang lumrah, melalui karya sastra yang terbit setelahnya.
Sumbangan Wijaya ini luar biasa besar dalam membuka kembali tragedi kemanusiaan 1965. Meletakkan pembunuhan massal sebagai tragedi kemanusiaan tanpa menanggalkan konteks politik dan ideologi pada masa itu. Sumbangan ini bisa saja menjadi hantaman keras bagi para elit yang merasa terusik jika tragedi 1965 kembali dipertanyakan seperti putusan IPT Den Haag yang lalu. Mereka yang selama ini merasa telah berjasa menumpas para penoda pancasila tentu tak mau menyerahkan kenyamanannya yang diperoleh melalui pengambinghitaman PKI.
Namun, sumbangan ini juga sangat berarti. Bukan saja untuk para korban, juga untuk para generasi yang lebih muda. Menjadi awalan untuk kembali menelusuri sejarah kelam bangsanya. Dan, menjadi inspirasi untuk lebih berani mengambil peran dan sikap dalam mengungkap kebenaran.[]
Sumber: Buruan.Co
0 komentar:
Posting Komentar