Reinhard
Hutabarat * - 26 Juli 2016 20:55
Sumber foto : sp.beritasatu.com
Walaupun sudah lima puluh tahun berlalu, namun kisah
magis ini masih tetap menyimpan misteri. Apakah terlalu susah untuk
menyingkapkan misteri dari kisah nyata ini? Sebenarnya tentu saja tidak! Saksi
hidup, tulisan-tulisan penting baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri
tentu saja bisa dijadikan referensi.
Badan Intelijen Negara tentu saja tidak akan terlalu
sukar untuk mengumpulkan data-data penting termasuk forensik bila diperlukan.
Akan tetapi akan timbul pertanyaan besar. Akankah mereka meliris suatu
pernyataan yang sesuai dengan data yang mereka miliki?
Lazimnya seperti dibeberapa negara yang “diliputi
misteri” kasus ini lebih banyak muatan politisnya, sehingga terasa sukar untuk
diungkapkan.
Pro dan kontra mengenai sikap pemerintah untuk meminta
maaf kepada korban dan keluarganya akibat genosida ini menambah runyam suasana.
Bagi orang-orang yang lahir atau belum dewasa ketika peristiwa ini berlangsung,
terasa agak sukar untuk memahami karena “Apa yang tersirat jauh melebihi
daripada yang tersurat!”
Tidak ada data yang valid atas apa yang sebenarnya
terjadi dan berapa korban yang jatuh. “Semuanya tersembunyi dalam misteri
kebisuan” Ketika kita berdiri pada posisi pro, sebagian orang berteriak betapa
kejamnya PKI terhadap para pahlawan Revolusi dan atas peristiwa Madiun 1948.
Ketika kita berdiri pada posisi kontra, sebagian orang berteriak betapa
kejamnya perlakuan pemerintah terhadap jutaan orang yang dituduhkan terlibat
G30S-PKI.
Selain peristiwa Genosida yang angkanya konon berkisar
satu juta jiwa tersebut, ribuan orang terpenjara di pulau Buru tanpa pernah
diadili. Ada ribuan “Eksil” WNI yang berada diluar negeri ketika sedang studi
atau bekerja, dalam sekejab menjadi “stateles” alias warga tanpa tanah air,
karena paspornya dicabut pemerintah.
Ahirnya kita hanya bisa mereka-reka dan berusaha mencari
data dan kebenaran yang mungkin saja bisa diperdebatkan. Saya pribadi tidak melihat
peristiwa ini dalam satu bahagian utuh, tetapi membaginya dalam tiga bahagian
yang terpisah. Pertama, Jaman pra kemerdekaan sampai peristiwa Madiun 1948.
Kedua, Peristiwa G30S. Ketiga, peristiwa dimulainya Genosida dan
pembersihan politik.
Pertama, Jaman pra kemerdekaan
Salah satu kekuatan utama dalam menentang kolonialisme
diseluruh dunia adalah partai Komunis dengan kaum proletarnya. Paham komunis
yang sekilas mirip dengan paham Sosialis ini merambah keseluruh dunia. Komunis
sangat dibenci kolonial dengan paham Liberalismenya, karena mereka sangat
radikal, militan dengan basis utamanya kaum tani dan buruh.
Dalam masa pra kemerdekaan, kaum komunis juga berambisi
untuk ikut mengambil alih dan terlibat dalam pemerintahan. Kaum komunis sudah
lama mengamati kemunduran kekuatan Jepang di Asia-pasifik, akan tetapi mereka
kalah cepat dengan kaum Nasionalis. Itulah sebabnya peristiwa Madiun terjadi.
Akan tetapi PKI menyebut pemberontakan Madiun oleh Musso cs itu dilakukan oleh
Komunis palsu/Komunis Ilegal yang tidak sabar ingin berkuasa, dan tidak sesuai
dengan doktrin komunis sejati.
Namun peristiwa Madiun itu meninggalkan luka yang sangat
dalam bagi rakyat Indonesia, karena PKI dianggap “menggunting didalam lipatan”
Justru disaat seharusnya seluruh penduduk berjuang bersama menghadapi
KNIL/Agresi Belanda, malah PKI melakukan kudeta berdarah.
Ahirnya TNI menghabisi pemberontakan ini. Inilah cikal
bakal “permusuhan” PKI dengan TNI-AD!
“Permusuhan” ini menarik dicermati, karena banyak juga
petinggi TNI-AD yang berpihak kepada PKI, terutama di Jawa tengah. Akan tetapi
persaingan ini sebenarnya hanya berada ditubuh internal perwira TNI-AD Jawa
tengah, yang kemudian ahirnya “dilebarkan” keseluruh TNI dan melebar keseluruh
penduduk Indonesia. Ahirnya penduduk Indonesia hanya terbagi dalam dua jenis
“kelamin”, PKI dan Nasionalis!
Permusuhan terselubung ini tak jarang disusupi aksi-aksi
“Kontra Revolusi” PKI menyusup kedalam TNI-AD dan memobilisasi gerakan anti atau
mendiskreditkan TNI-AD. Sebaliknya agen-agen TNI-AD juga melakukan hal yang
sama, mengajak dan menghasut semua pihak untuk membenci PKI. Secara diam-diam
dan terang-terangan TNI-AD dibantu USA memobilisasi gerakan mahasiswa anti PKI.
Kondisi ini mirip-mirip dengan Pilpres 2014 kemarin,
antara pendukung Prabowo dan pendukung Jokowi. Segala cara, baik “kampanye yang
kurang sopan maupun yang sangat tidak sopan” dilancarkan kedua belah pihak yang
bersaing. Dengan tingkat inteligensia penduduk yang sudah lumayan, publik
mungkin hanya menanggapi kampanye hitam tersebut dengan guyonan.
Akan tetapi, bagaimana dengan jutaan rakyat jelata yang
“tidak pernah makan sekolahan” itu? Propaganda atau kampanye hitam itu seperti
“menyiramkan bensin kedalam bara api”
Ketika mereka menerima sebuah cangkul dan membubuhkan cap
jempolnya sebagai tanda terimanya, maka dalam sekejab mata mereka
“bermetamorfosa” menjadi “Kamerad politbiro” PKI! Mereka inilah kelak yang
lehernya ditebas atau menghuni pulau Buru!
Kedua, Peristiwa G30S
Syukurlah terjadi Kudeta militer yang gagal di Turki itu,
sekalipun kita turut berduka dan bersimpati pada korban yang jatuh akibat
peristiwa tersebut. Skenario Erdogan di Turki terasa pas dengan skenario cerita
G30S sehingga memudahkan anak-anak muda sekarang untuk lebih memahami peristiwa
ini. Kini kudeta PKI itu terasa amat sangat menggelikan bagi para taruna Akmil
di Magelang!
Kekuatan militer PKI thn 1948 jauh lebih kuat daripada
kekuatan “Tjakrabirawa gadungan” yang adalah eks prajurit batalion 454 “Banteng
Raiders” kodam Diponegoro Jawa tengah.
Itulah sebabnya Tjakrabirawa gadungan itu bahkan tidak
kenal dengan “Big boss” Jenderal Nasution yang sering “main” ke Istana,
sehingga mereka ahirnya menangkap Lettu Pierre Tendean, yang mereka pikir Nasution.
Tjakrabirawa gadungan yang tanpa dukungan logistik dan artileri tempur itu
ahirnya “remuk” dihajar “Pangkostrad”
Unsur Tjakrabirawa sangat diperlukan dalam skenario ini
untuk dua hal. Pertama, Untuk “mendekatkan” Soekarno ke PKI, karena yang
menculik para Jenderal itu adalah pasukan pengawal presiden sendiri (skenario
kepohnya, Yah gak mungkin lah yah presiden tidak tahu soal penculikan ini....)
Kedua, untuk meyakinkan masyarakat dan TNI bahwa kini
tidak ada yang bisa dipercaya lagi, termasuk presiden dan pasukan pengawalnya,
apalagi semua petinggi TNI-AD telah wafat plus seorang lagi yang masih
berkabung dan “kurang sehat” sehingga sesuai dengan “protap” Pangkostrad yang
kini bertanggung jawab dalam pemulihan keamanan di Indonesia.
Itulah sebabnya seperti yang sering dikatakan oleh Kivlan
Zein, setelah peristiwa G30S Soekarno itu dimana-mana dibenci masyarakat. 50
tahun yang lalu itu masih banyak penduduk Indonesia yang buta huruf, sehingga
sangat gampang “termakan” hasutan. Untunglah para “penulis upahan” untuk
keperluan konsumsi kampanye cagub/capres yang sekarang ini, tidak “berkarya”
pada masa lalu. Kalau tidak, setiap hari akan terjadi kudeta dan revolusi di
republik ini akibat “halusinasi” mereka itu.
Kalau unsur Tjakrabirawa untuk konsumsi sipil, maka
batalion 454 “Banteng Raiders” sangat diperlukan untuk “bumbu penyedap” untuk
konsumsi militer. Bukan rahasia umum, banyak perwira Raiders adalah eks Gerakan
Madiun 1948 termasuk Untung yang bergabung dengan batalion Sudigdo,
satu-satunya batalion PKI yang markasnya di Wonogiri. Kemudian Untung bergabung
dengan Korem Surakarta yang dipimpin oleh Soeharto.
Soeharto berteman dekat dengan Untung. Bahkan ketika
Soeharto menjadi Pangkostrad, dia lah yang merekomendasikan Untung menjadi
Komandan Batalyon I Tjakrabirawa. Ketika operasi Mandala di Irian dulu, mereka
berdua juga bekerjasama. Bahkan ketika Untung melangsungkan pernikahannya di
pelosok Kebumen, Soeharto yang ketika itu sudah menjabat Pangkostrad datang
bersama isterinya, padahal tak satupun anggota Tjakrabirawa yang datang
menghadiri pesta tersebut.
Isu kudeta oleh Dewan Jenderal lah yang membuat Untung cs
menangkap para jenderal yang dianggap akan berhianat tersebut, untuk dihadapkan
kepada presiden Soekarno. Menurut pengakuan Serma Boengkoes, anggota Resimen
Tjakrabirawa yang dihukum selama 33 tahun di LP Cipinang itu, Tjakrabirawa
bukanlah pasukan pengeksekusi para jenderal itu. Tugas Resimen Tjakrabirawa
adalah membawa para jenderal tersebut, hidup atau mati, sesuai dengann briefing
di Halim perdana kusuma pada pukul 15.00 wib 30 september 1965.
Sehari setelah aksi G30S, Untung masih bermimpi bahwa ia
akan disebut pahlawan lagi. Sebelumnya ia adalah pahlawan dalam menumpas
pemberontakan PRRI/Permesta. Bersama Benny Moerdani, ia mendapat penghargaan
Bintang Sakti dari presiden Soekarno dalam operasi pembebasan Irian Barat.
Ketika ia mendapat “perintah” bertahan di Lubang buaya, ia pun lalu menangis.
Ia sadar, ia bukan lagi seorang pahlawan, tetapi seorang penghianat pecundang!
Ketiga, “Bersih-bersih” dan dimulainya Genosida
Diluar Tiongkok dan Soviet, PKI merupakan partai komunis
terbesar didunia dengan jumlah anggota sekitar 3,5 juta. PKI juga mempunyai
anggota simpatisan, yakni 3 juta dari pergerakan pemuda, 3,5 juta dari serikat
buruh, 9 juta petani dari Barisan Tani Indonesia, belum termasuk
anggota/simpatisan dari Gerakan Wanita (Gerwani) dan sastrawan/seniman seperti
Lekra (Sumber, Wikipedia) Dengan kekuatan itu, sebenarnya tinggal menunggu
waktu saja bagi PKI untuk menguasai parlemen melalui pemilu.
Hal tersebut jelas sangat menghawatirkan kaum Nasionalis,
partai-partai Islam, TNI-AD dan tentu saja Amerika Serikat yang khawatir dengan
poros Soviet-Peking. Segala upaya dilakukan oleh pihak-pihak ini untuk
mementahkan kekuatan PKI ini. Dan tentu saja ada “pihak-pihak tertentu” yang
berusaha untuk “memancing di air keruh”
Bermodalkan G30S dan “Supersemar” pembersihan pun segera
dimulai. TNI-AD segera dibersihkan dari oknum-oknum yang “tidak sepaham”
sedangkan untuk diluar TNI-AD di “Mahmil”kan. “Kasus Untung” merupakan
peringatan bagi semua militer bahwa demi tujuan yang “baik” seorang ayah pun
mampu tega “mengenyahkan” seorang anaknya!
PKI kemudian menjadi ormas terlarang karena dituduh
berada dibelakang aksi G30S. Kaum Tionghoa kemudian juga menjadi “patut
dicurigai” karena faktor dukungan moril Peking terhadap organisasi PKI!
Dulu ketika peristiwa Madiun banyak ulama yang terbunuh.
Setelah G30S, dipastikan pelakunya adalah PKI! Dalam pemilu sebelumnya
perolehan suara PKI adalah 30% sedangkan PSI dan Masyumi kurang dari 20%
Ahirnya “Operasi pemenggalan kepala PKI” diserahkan kepada masyarakat yang
“sedang murka” itu.
***
Ketika terjadi pro dan kontra dimasyarakat, kini kita
paham, eksekutor genosida tersebut adalah masyarakat sendiri. Masyarakat yang
“tidak makan sekolahan“ itu “dibakar amarahnya” untuk menghabisi saudaranya
sendiri. Dulu Bengawan Solo memerah airnya dipenuhi mayat-mayat tanpa kepala
yang tersangkut dipinggir sungai akibat begitu banyak mayat yang bergelatakan
disungai tersebut.
Ketika “kuburan Massal” akan dibuka kembali untuk
keperluan otopsi, jelas tidak akan berguna karena korban tersebut bukan
ditembak dengan peluru. Harga Peluru terlalu mahal buat “seorang komunis” dan
selain itu, ketika sejarah dibuka kelak, “The Smiling General” bisa “cuci
tangan” komunis itu dibunuh dengan samurai oleh “rakyat yang marah!”
Ahir kata, semuanya terpulang kepada kita. Bisakah kita
berdamai dengan hati dan masa lalu kita yang kelam? Sejarah memang harus
diluruskan bukan untuk kepentingan “murahan” orang/kelompok tertentu, melainkan
untuk generasi mendatang. Siapa yang menabur angin pasti akan menuai badai.
Kalau tidak dikehidupan ini, pastilah dikehidupan yang akan datang!
Itulah sebabnya Tjakrabirawa gadungan itu bahkan tidak
kenal dengan “Big boss” Jenderal Nasution yang sering “main” ke Istana,
sehingga mereka ahirnya menangkap Lettu Pierre Tendean, yang mereka pikir
Nasution. Tjakrabirawa gadungan yang tanpa dukungan logistik dan artileri
tempur itu ahirnya “remuk” dihajar “Pangkostrad”
Unsur Tjakrabirawa sangat diperlukan dalam skenario ini
untuk dua hal. Pertama, Untuk “mendekatkan” Soekarno ke PKI, karena yang
menculik para Jenderal itu adalah pasukan pengawal presiden sendiri (skenario
kepohnya, Yah gak mungkin lah yah presiden tidak tahu soal penculikan ini....)
Kedua, untuk meyakinkan masyarakat dan TNI bahwa kini
tidak ada yang bisa dipercaya lagi, termasuk presiden dan pasukan pengawalnya,
apalagi semua petinggi TNI-AD telah wafat plus seorang lagi yang masih
berkabung dan “kurang sehat” sehingga sesuai dengan “protap” Pangkostrad yang
kini bertanggung jawab dalam pemulihan keamanan di Indonesia.
Itulah sebabnya seperti yang sering dikatakan oleh Kivlan
Zein, setelah peristiwa G30S Soekarno itu dimana-mana dibenci masyarakat. 50
tahun yang lalu itu masih banyak penduduk Indonesia yang buta huruf, sehingga
sangat gampang “termakan” hasutan. Untunglah para “penulis upahan” untuk
keperluan konsumsi kampanye cagub/capres yang sekarang ini, tidak “berkarya”
pada masa lalu. Kalau tidak, setiap hari akan terjadi kudeta dan revolusi di
republik ini akibat “halusinasi” mereka itu.
Kalau unsur Tjakrabirawa untuk konsumsi sipil, maka
batalion 454 “Banteng Raiders” sangat diperlukan untuk “bumbu penyedap” untuk
konsumsi militer. Bukan rahasia umum, banyak perwira Raiders adalah eks Gerakan
Madiun 1948 termasuk Untung yang bergabung dengan batalion Sudigdo,
satu-satunya batalion PKI yang markasnya di Wonogiri. Kemudian Untung bergabung
dengan Korem Surakarta yang dipimpin oleh Soeharto.
Soeharto berteman dekat dengan Untung. Bahkan ketika
Soeharto menjadi Pangkostrad, dia lah yang merekomendasikan Untung menjadi
Komandan Batalyon I Tjakrabirawa. Ketika operasi Mandala di Irian dulu, mereka
berdua juga bekerjasama. Bahkan ketika Untung melangsungkan pernikahannya di
pelosok Kebumen, Soeharto yang ketika itu sudah menjabat Pangkostrad datang
bersama isterinya, padahal tak satupun anggota Tjakrabirawa yang datang
menghadiri pesta tersebut.
Isu kudeta oleh Dewan Jenderal lah yang membuat Untung cs
menangkap para jenderal yang dianggap akan berhianat tersebut, untuk dihadapkan
kepada presiden Soekarno. Menurut pengakuan Serma Boengkoes, anggota Resimen
Tjakrabirawa yang dihukum selama 33 tahun di LP Cipinang itu, Tjakrabirawa
bukanlah pasukan pengeksekusi para jenderal itu. Tugas Resimen Tjakrabirawa
adalah membawa para jenderal tersebut, hidup atau mati, sesuai dengann briefing
di Halim perdana kusuma pada pukul 15.00 wib 30 september 1965.
Sehari setelah aksi G30S, Untung masih bermimpi bahwa ia
akan disebut pahlawan lagi. Sebelumnya ia adalah pahlawan dalam menumpas
pemberontakan PRRI/Permesta. Bersama Benny Moerdani, ia mendapat penghargaan
Bintang Sakti dari presiden Soekarno dalam operasi pembebasan Irian Barat.
Ketika ia mendapat “perintah” bertahan di Lubang buaya, ia pun lalu menangis.
Ia sadar, ia bukan lagi seorang pahlawan, tetapi seorang penghianat pecundang!
Reinhard Freddy, Wiraswasta, Seorang penulis amatir yang
menyukai semua genre tulisan
0 komentar:
Posting Komentar