Jumat, 22/07/2016 10:31 WIB
Ilustrasi. (CNN Indonesia)
Jakarta, CNN Indonesia --
Majelis Hakim Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 di Indonesia (International People's Tribunal on Crimes Against Humanity 1965) telah mengeluarkan putusannya dua hari lalu, Rabu (20/7).
Hakim memutus Indonesia harus bertanggung jawab atas 10 tindak kejahatan hak asasi manusia (HAM) berat pada 1965-1966, termasuk genosida atau tindakan sengaja untuk menghancurkan sebagian atau seluruh golongan penduduk tertentu.
Aktivis kemanusiaan, feminis asal Belanda, sekaligus Profesor Antropologi Budaya dari Universitas Amsterdam, Saskia E Wieringa, berperan penting dalam proses IPT 1965. Ia menjadi ketuanya.
Saskia berinisiatif mengungkap kebenaran di balik peristiwa 1965 setelah melakukan riset selama 35 tahun lebih di Indonesia. Menurut Saskia, Tragedi 1965 berbuah luka besar bagi jiwa bangsa Indonesia.
Berkaca lewat proses yang dialami oleh Jerman, dia mengatakan luka
bangsa Indonesia itu hanya dapat diobati dengan mengungkap kebenaran dan
menindaklanjuti penyidikan atas tragedi yang terjadi.
Berikut wawancara Yuliawati dan Gilang Fauzi dari CNNIndonesia.com dengan Saskia Wieringa.
Sebagai seorang antropolog, bagaimana anda melihat Tragedi 1965 dalam kehidupan bangsa Indonesia?
Saya sebagai antropolog melihat bahwa bangsa Indonesia terluka, dengan luka yang besar. Tanpa ada prognosis dan diagnosis, masyarakat Indonesia tidak bisa pulih. Bangsa Indonesia harus mendapat penjelasan, bagaimana mungkin orang saling membunuh dalam Tragedi 1965. Padahal ini bukan penjajahan kolonial, tapi orang Indonesia saling membunuh. Tetangga membunuh tetangga.
Peristiwa ini terjadi dalam skala besar mulai 30 September 1965 dan sesudahnya. Hal yang sama pun bisa terjadi kembali. Pola kekerasan pada masa itu hampir sama dengan pola kekerasan di Papua, Timor Leste, dan Aceh.
Apabila Indonesia mau damai dan demokratis, hal pertama yang harus dilakukan adalah membuat semua orang tahu dan sadar atas apa yang terjadi atas Tragedi 1965. Hingga kini para korban dan penyintas dalam usia menua masih menderita, hidup dalam kemiskinan dan mengalami kesehatan yang buruk.
Hakim memutus Indonesia harus bertanggung jawab atas 10 tindak kejahatan hak asasi manusia (HAM) berat pada 1965-1966, termasuk genosida atau tindakan sengaja untuk menghancurkan sebagian atau seluruh golongan penduduk tertentu.
Aktivis kemanusiaan, feminis asal Belanda, sekaligus Profesor Antropologi Budaya dari Universitas Amsterdam, Saskia E Wieringa, berperan penting dalam proses IPT 1965. Ia menjadi ketuanya.
Saskia berinisiatif mengungkap kebenaran di balik peristiwa 1965 setelah melakukan riset selama 35 tahun lebih di Indonesia. Menurut Saskia, Tragedi 1965 berbuah luka besar bagi jiwa bangsa Indonesia.
|
Berikut wawancara Yuliawati dan Gilang Fauzi dari CNNIndonesia.com dengan Saskia Wieringa.
Sebagai seorang antropolog, bagaimana anda melihat Tragedi 1965 dalam kehidupan bangsa Indonesia?
Saya sebagai antropolog melihat bahwa bangsa Indonesia terluka, dengan luka yang besar. Tanpa ada prognosis dan diagnosis, masyarakat Indonesia tidak bisa pulih. Bangsa Indonesia harus mendapat penjelasan, bagaimana mungkin orang saling membunuh dalam Tragedi 1965. Padahal ini bukan penjajahan kolonial, tapi orang Indonesia saling membunuh. Tetangga membunuh tetangga.
Peristiwa ini terjadi dalam skala besar mulai 30 September 1965 dan sesudahnya. Hal yang sama pun bisa terjadi kembali. Pola kekerasan pada masa itu hampir sama dengan pola kekerasan di Papua, Timor Leste, dan Aceh.
Apabila Indonesia mau damai dan demokratis, hal pertama yang harus dilakukan adalah membuat semua orang tahu dan sadar atas apa yang terjadi atas Tragedi 1965. Hingga kini para korban dan penyintas dalam usia menua masih menderita, hidup dalam kemiskinan dan mengalami kesehatan yang buruk.
|
Ketua
Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan 1965, Saskia
Wieringa, saat persidangan di Den Haag, Belanda, 10-13 November 2015.
(Dok. Akun Flickr International People's Tribunal Media)
|
Apakah artinya pengakuan kebenaran akan Tragedi 1965 mampu menyembuhkan luka bangsa Indonesia?
Benar. Kita melihat contoh bangsa Jerman mampu mengatasi tragedi kelamnya. Sekarang ini, Jerman merupakan bangsa yang memiliki nilai etis terbaik di dunia. Bangsa Jerman mampu berkata, “Nicht wieder.”
Mereka paham sekali, “nicht wieder” yang artinya “tidak pernah lagi” atau “tidak bisa” dan “tidak mau” mengulangi kejahatan genosida kaum Yahudi yang pernah menjadi bagian dari masa lalu kelam negara mereka itu.
Bangsa Indonesia belum dapat bilang “nicht wieder” atau “kami tidak akan pernah mengulang lagi atau melakukan itu lagi”, karena sebenarnya saat ini pun proses itu masih berulang.
Maka itu jiwa masyarakat indonesia belum siap untuk memulihkan diri sendiri selama kebenaran Tragedi 1965 belum terungkap.
Pengungkapan kebenaran itu penting sekali. Maka laporan penelitian kami (IPT 1965) penting, dan saya berharap bahwa data dalam laporan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang terbit pada 2012 dapat dipublikasikan secara resmi agar orang bisa belajar dari situ.
Masih banyak hal yang belum dipahami terkait Tragedi 1965, kuburan massal belum dibuka, malah lokasinya belum diketahui. Itu artinya orang yang dibunuh dan dimakamkan namanya tidak diketahui sehingga sulit untuk mendoakan mereka.
Ada tiga kuburan massal yang dibuka seperti di Plumbon, Semarang sebagai contoh yang baik, sehingga bisa diketahui siapa saja yang dimakamkan di tempat itu. Namun di Wonosobo masih gagal untuk diidentifikasi karena sempat mendapat serangan dari kelompok militan.
Bukankah Indonesia dan Jerman mengalami perjalanan sejarah yang berbeda?
Kita mengerti kondisi Jerman berbeda dengan Indonesia. Pasca-Perang Dunia II, Jerman kalah perang dan pemerintahannya hancur. Ketika itu langsung digelar Pengadilan Nuremberg (pada 1945-1946 yang mengadili para penjahat perang yang melibatkan Nazi), membuat Jerman memulai proses membuka kebenaran.
Namun Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun memang jauh berbeda. Orde Baru cukup sukses dalam memengaruhi jiwa Indonesia, sehingga pikiran bebas dan kritis tidak bisa hidup selama 32 tahun. Banyak orang Indonesia yang berpikiran sempit.
Setelah Reformasi 1998, pengaruh Orde Baru masih terasa. Banyak orang yang tidak paham nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, padahal bagian dari Pancasila. Pancasila ini penting namun disalahgunakan.
Yang perlu dibangun di Indonesia adalah debat terbuka, dan kami hanya memberi bahan (dokumen putusan IPT 1965) untuk debat itu. Penting bagi seluruh masyarakat Indonesia mulai dari media, pelajar, dan banyak orang untuk mencoba mendikusikan kembali hal tersebut.
Ketika Indonesia di bawah kepemimpinan Sukarno, Indonesia mengetahui apa yang dimauinya. Bagaimana menjadikan Indonesia makmur dengan keadilan sosial untuk semua orang.
Namun, sekarang banyak pemimpin hanya memikirkan kantong sendiri. Pemikiran soal revolusi sosial seperti Bung Karno itu tidak ada lagi. Sangat menyedihkan karena apabila ada orang yang bergerak untuk keadilan sosial dicap komunis. Stigma komunisme masih tinggi sekali.
Alasan pemerintah belum menindaklanjuti penyelidikan laporan Komnas HAM 2012 adalah kesulitan mendapatkan bukti dan saksi karena Tragedi 1965 telah terjadi lebih dari 50 tahun.
Bukti dan saksi yang pernah ditelusuri dari penyelidikan Komnas HAM itu masih ada. Begitu juga dalam film The Act of The Killing, ada orang yang mengakui melakukan pembunuhan dan dia masih hidup.
Komnas HAM sudah mengusulkan adanya bentuk kerja sama dengan Kejaksaan Agung, dan banyak lembaga yang siap membantu seperti lembaga penelitian dan universitas. Banyak kelompok yang akan bersedia membantu memberikan bukti dan saksi-saksi.
Proses itu memang tidak mudah, seperti pengungkapan kebenaran dan penyidikan di Kamboja yang memakan waktu panjang. Namun, kini masyarakat Kamboja sadar bahwa rezim Khmer Merah pernah melakukan kejahatan HAM berat. Di Jerman pun proses pengadilan terhadap para pihak yang terlibat Nazi masih terus berlangsung.
(yul/agk)
Benar. Kita melihat contoh bangsa Jerman mampu mengatasi tragedi kelamnya. Sekarang ini, Jerman merupakan bangsa yang memiliki nilai etis terbaik di dunia. Bangsa Jerman mampu berkata, “Nicht wieder.”
Mereka paham sekali, “nicht wieder” yang artinya “tidak pernah lagi” atau “tidak bisa” dan “tidak mau” mengulangi kejahatan genosida kaum Yahudi yang pernah menjadi bagian dari masa lalu kelam negara mereka itu.
|
Maka itu jiwa masyarakat indonesia belum siap untuk memulihkan diri sendiri selama kebenaran Tragedi 1965 belum terungkap.
Pengungkapan kebenaran itu penting sekali. Maka laporan penelitian kami (IPT 1965) penting, dan saya berharap bahwa data dalam laporan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang terbit pada 2012 dapat dipublikasikan secara resmi agar orang bisa belajar dari situ.
Masih banyak hal yang belum dipahami terkait Tragedi 1965, kuburan massal belum dibuka, malah lokasinya belum diketahui. Itu artinya orang yang dibunuh dan dimakamkan namanya tidak diketahui sehingga sulit untuk mendoakan mereka.
Ada tiga kuburan massal yang dibuka seperti di Plumbon, Semarang sebagai contoh yang baik, sehingga bisa diketahui siapa saja yang dimakamkan di tempat itu. Namun di Wonosobo masih gagal untuk diidentifikasi karena sempat mendapat serangan dari kelompok militan.
Bukankah Indonesia dan Jerman mengalami perjalanan sejarah yang berbeda?
Kita mengerti kondisi Jerman berbeda dengan Indonesia. Pasca-Perang Dunia II, Jerman kalah perang dan pemerintahannya hancur. Ketika itu langsung digelar Pengadilan Nuremberg (pada 1945-1946 yang mengadili para penjahat perang yang melibatkan Nazi), membuat Jerman memulai proses membuka kebenaran.
Namun Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun memang jauh berbeda. Orde Baru cukup sukses dalam memengaruhi jiwa Indonesia, sehingga pikiran bebas dan kritis tidak bisa hidup selama 32 tahun. Banyak orang Indonesia yang berpikiran sempit.
Setelah Reformasi 1998, pengaruh Orde Baru masih terasa. Banyak orang yang tidak paham nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, padahal bagian dari Pancasila. Pancasila ini penting namun disalahgunakan.
Yang perlu dibangun di Indonesia adalah debat terbuka, dan kami hanya memberi bahan (dokumen putusan IPT 1965) untuk debat itu. Penting bagi seluruh masyarakat Indonesia mulai dari media, pelajar, dan banyak orang untuk mencoba mendikusikan kembali hal tersebut.
Ketika Indonesia di bawah kepemimpinan Sukarno, Indonesia mengetahui apa yang dimauinya. Bagaimana menjadikan Indonesia makmur dengan keadilan sosial untuk semua orang.
Namun, sekarang banyak pemimpin hanya memikirkan kantong sendiri. Pemikiran soal revolusi sosial seperti Bung Karno itu tidak ada lagi. Sangat menyedihkan karena apabila ada orang yang bergerak untuk keadilan sosial dicap komunis. Stigma komunisme masih tinggi sekali.
Alasan pemerintah belum menindaklanjuti penyelidikan laporan Komnas HAM 2012 adalah kesulitan mendapatkan bukti dan saksi karena Tragedi 1965 telah terjadi lebih dari 50 tahun.
Bukti dan saksi yang pernah ditelusuri dari penyelidikan Komnas HAM itu masih ada. Begitu juga dalam film The Act of The Killing, ada orang yang mengakui melakukan pembunuhan dan dia masih hidup.
Komnas HAM sudah mengusulkan adanya bentuk kerja sama dengan Kejaksaan Agung, dan banyak lembaga yang siap membantu seperti lembaga penelitian dan universitas. Banyak kelompok yang akan bersedia membantu memberikan bukti dan saksi-saksi.
Proses itu memang tidak mudah, seperti pengungkapan kebenaran dan penyidikan di Kamboja yang memakan waktu panjang. Namun, kini masyarakat Kamboja sadar bahwa rezim Khmer Merah pernah melakukan kejahatan HAM berat. Di Jerman pun proses pengadilan terhadap para pihak yang terlibat Nazi masih terus berlangsung.
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160722103153-75-146294/selama-kebenaran-1965-belum-terkuak-indonesia-belum-pulih/
0 komentar:
Posting Komentar