Kamis, 21 Juli 2016 | 19:55 WIB
Massa yang tergabung dari berbagai ormas, termasuk FPI, berunjuk rasa
dan membakar bendera PKI di depan Gedung Negara Grahadi Surabaya, 28
April 2016. Mereka menolak Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan
permintaan maaf atas peristiwa 30 September 1965. TEMPO/ARTIKA
"Pemerintah Indonesia tidak akan menanggapi," kata Tengku saat dihubungi Tempo, Kamis, 21 Juli 2016. Menurut dia, pengadilan itu tidak bisa memaksa Indonesia untuk meminta maaf kepada para korban 1965.
Sidang IPT yang digelar pada 10-13 November 2015, di Den Haag, Belanda, itu bertujuan untuk mengadili pelaku kejahatan pasca-tragedi September 1965. Kesimpulan sidang itu memutuskan bahwa tragedi 1965 adalah genosida atau pembunuhan besar-besaran secara berencana.
Majelis hakim yang dipimpin oleh Zakeria Jacoob itu pun memberikan rekomendasi agar pemerintah Indonesia meminta maaf, memberikan kompensasi kepada korban dan keluarganya, serta melanjutkan penyelidikan dan penuntutan terhadap seluruh pelaku.
Tengku mengatakan kejahatan pasca-tragedi September 1965 bukanlah genosida. Pembantaian anggota PKI pada saat itu, kata dia, bukan sesuatu yang direncanakan karena pemberontakan berawal dari partai berlambang palu dan arit itu.
Bagi Tengku, pemberontakan yang memakan banyak korban adalah hal yang wajar terjadi di mana-mana. "Dibantai rakyat sendiri itu biasa. Coba, di mana ada pemberontakan komunis yang tidak tumpah darah?" katanya.
Di Indonesia, salah seorang pengambil kebijakan yang disebut ikut bertanggung jawab adalah mantan Presiden Soeharto, pemimpin Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Menurut Tengku, Soeharto bukan dalang dari pembunuhan masal 1965. "Justru Pak Harto yang menyelamatkan Indonesia dari PKI," ujarnya.
MAYA AYU PUSPITASARI
https://m.tempo.co/read/news/2016/07/21/063789492/tragedi-1965-disebut-genosida-mui-tak-perlu-minta-maaf
0 komentar:
Posting Komentar