Jumat, 22 Juli 2016 | 21:51 WIB
Romo Franz Magnis Suseno saat memberikan testimoni dalam pentas bertajuk 'Setahun Gus Dur Kita' dengan tema Mewarisi Kearifan Gus Dur, di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (30/12/2010) malam. Pentas ini untuk mengenang setahun wafatnya Gus Dur, karena ia dianggap sebagai tokoh yang memiliki wawasan kebangsaan dan menumbuhkan toleransi serta kemajemukan dalam segala hal.
JAKARTA, KOMPAS.com
- Budayawan Franz Magnis Suseno, atau yang akrab disapa Romo Magnis, mengatakan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 1965-1966 dapat digolongkan sebagai genosida. Pasalnya, ketika itu berlangsung usaha pemusnahan terhadap golongan tertentu yang berlangsung secara terorganisir.
"Peristiwa itu adalah kejahatan terbesar terhadap umat manusia di dunia dalam kurun waktu lima puluh tahun terakhir," ujar Romo Magnis di Jakarta, Jumat (22/7/2016).
Menurut pria yang lahir di Polandia ini, kejadian pada tahun 1965-1966 yang diduga menelan korban hingga setengah juta jiwa merupakan sesuatu yang direncanakan dan dimulai dari Jakarta.
Dari Ibu Kota, pelanggaran HAM kemudian menyebar ke Jawa Tengah, Bali dan wilayah lain di Indonesia.
"Saya kira ada unsur balas dendam dalam peristiwa itu," tutur Romo Magnis.
Adapun tragedi 1965 merupakan salah satu pelanggaran HAM yang dijanjikan Presiden Joko Widodo akan tuntas di masa kepemimpinannya selain kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, yang masuk dalam visi-misi dan program aksi berjudul Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian, yang berisi penjabaran dari Nawa Cita.
Sebelumnya, Pengadilan Rakyat Internasional untuk kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada tahun 1965 (IPT 1965) dalam keputusan akhirnya yang dikeluarkan pada Rabu (20/7/2016), juga memvonis Indonesia telah melakukan genosida pada tahun 1965-1966, dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut sebagian atau keseluruhan.
Genosida disebut sebagai salah satu dari 10 tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Indonesia pada tahun 1965-1966 terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), terduga PKI, pendukung Presiden Soekarno, anggota radikal Partai Nasional Indonesia (PNI) beserta keluarga mereka.
Sidang IPT 1965 yang dipimpin oleh Hakim Ketua Zak Yacoob, pernah menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, juga menyatakan pembunuhan terhadap sekitar 400.000 hingga 500.000 orang yang melanggar UU KUHP pasal 138 dan 140 dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Selain genosida, Indonesia juga diputuskan telah melakukan hukuman penjara tanpa proses hukum terhadap sekitar 600.000 orang, perbudakan, penyiksaan dalam skala besar, penghilangan secara paksa, kekerasan seksual secara sistemik, pengasingan, propaganda tidak benar, keterlibatan negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.
Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana mengatakan hasil akhir keputusan tersebut akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo saat pertemuan dengan korban pelanggaran HAM berat seperti pernah dijanjikan Presiden melalui Juru Bicara Presiden Johan Budi.
- Budayawan Franz Magnis Suseno, atau yang akrab disapa Romo Magnis, mengatakan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 1965-1966 dapat digolongkan sebagai genosida. Pasalnya, ketika itu berlangsung usaha pemusnahan terhadap golongan tertentu yang berlangsung secara terorganisir.
"Peristiwa itu adalah kejahatan terbesar terhadap umat manusia di dunia dalam kurun waktu lima puluh tahun terakhir," ujar Romo Magnis di Jakarta, Jumat (22/7/2016).
Menurut pria yang lahir di Polandia ini, kejadian pada tahun 1965-1966 yang diduga menelan korban hingga setengah juta jiwa merupakan sesuatu yang direncanakan dan dimulai dari Jakarta.
Dari Ibu Kota, pelanggaran HAM kemudian menyebar ke Jawa Tengah, Bali dan wilayah lain di Indonesia.
"Saya kira ada unsur balas dendam dalam peristiwa itu," tutur Romo Magnis.
Adapun tragedi 1965 merupakan salah satu pelanggaran HAM yang dijanjikan Presiden Joko Widodo akan tuntas di masa kepemimpinannya selain kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, yang masuk dalam visi-misi dan program aksi berjudul Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian, yang berisi penjabaran dari Nawa Cita.
Sebelumnya, Pengadilan Rakyat Internasional untuk kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada tahun 1965 (IPT 1965) dalam keputusan akhirnya yang dikeluarkan pada Rabu (20/7/2016), juga memvonis Indonesia telah melakukan genosida pada tahun 1965-1966, dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut sebagian atau keseluruhan.
Genosida disebut sebagai salah satu dari 10 tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Indonesia pada tahun 1965-1966 terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), terduga PKI, pendukung Presiden Soekarno, anggota radikal Partai Nasional Indonesia (PNI) beserta keluarga mereka.
Sidang IPT 1965 yang dipimpin oleh Hakim Ketua Zak Yacoob, pernah menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, juga menyatakan pembunuhan terhadap sekitar 400.000 hingga 500.000 orang yang melanggar UU KUHP pasal 138 dan 140 dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Selain genosida, Indonesia juga diputuskan telah melakukan hukuman penjara tanpa proses hukum terhadap sekitar 600.000 orang, perbudakan, penyiksaan dalam skala besar, penghilangan secara paksa, kekerasan seksual secara sistemik, pengasingan, propaganda tidak benar, keterlibatan negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.
Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana mengatakan hasil akhir keputusan tersebut akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo saat pertemuan dengan korban pelanggaran HAM berat seperti pernah dijanjikan Presiden melalui Juru Bicara Presiden Johan Budi.
Editor | : Sabrina Asril |
Sumber | : Antaranews.com, |
http://nasional.kompas.com/read/2016/07/22/21510241/franz.magnis.peristiwa.pelanggaran.ham.1965-1966.merupakan.genosida
0 komentar:
Posting Komentar