Selasa, 05 Juli 2016

PKI dan Pancasila


Setiap kali dihadapkan pada isu PKI/Komunisme, sikap ilmiah dan akal sehat bangsa seakan lumpuh. Ketakutan dan rasa gentar mengemuka seakan sedang dicari seorang pembunuh bayaran sadis yang tak pernah gagal dalam tugas.
Lima puluh tahun setelah pembubaran PKI dengan brutal; ditambah dengan propaganda buruk terhadap PKI dan komunisme di bawah Orde Baru yang membuat kebangkitan PKI kembali sebagai hal yang mustahil tetap juga tidak menentramkan hati dan pikiran para filsuf, teolog, sejarahwan dan politisi anti komunisme. Mereka yang lebih tepat disebut comunistophobi, sebagaimana Bung Karno berkata, justru menghidupkan hantu di siang bolong. Walau hampir bisa dipastikan bahwa tidak ada orang mati karena hantu, setan ataupun sejenisnya, ketakutan terhadap hantu PKI dan komunisme itu menjadi kian nyata, semakin tidak rasional dan semakin buta terhadap sejarah.

Misalnya, dalam soal PKI dan Pancasila, kebanyakan beranggapan bahwa PKI menentang  Pancasila. Padahal, dalam sejarah pergulatan Pancasila, justru Politik PKI adalah mendukung Pancasila  sebagamana dijelaskan Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI:

“Masa perdebatan terjadi pada Konstituante yang terbentuk setelah Pemilihan Umum 1955 yang bertujuan merancang UUD. Ketika itu diperdebatkan apakah Pancasila sebagai dasar Negara atau ideologi lain? Para tokoh Islam, seperti M Natsir dan Buya Hamka, dengan tegas mengajukan Islam sebagai pilihan. Para tokoh itu berdebat dengan sengit walaupun disampaikan secara tertib. Partai-partai Islam mendukung Islam sebagai dasar Negara. 
Sementara partai-partai nasionalis dan komunis mempertahankan Pancasila. Murba mendukung ideologi “sosial-ekonomi”. Tak ada pihak yang mencapai dua-pertiga (2/3) jumlah suara sehingga keputusan tidak dapat diambil. Tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang membubarkan Konstituante dan menyatakan kembali ke UUD 1945. Berarti yang diakui adalah Pancasila sebagai tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945. (Baca: Kompas, 1 Juni 2016, Pergulatan Politik Pancasila)

Selanjutnya, sikap politik PKI yang mendukung Pancasila dijelaskan oleh DN Aidit ketika ditanya wartawan Solichin Salam, (dimuat di majalah Pembina pada 12 Agustus 1964)

Solichin Salam: “Benarkah PKI menerima Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia? Bagaimana pendapat Saudara mengenai sila Ketuhanan Yang Maha Esa?

Jawab DN Aidit: PKI menerima Pancasila sebagai keseluruhan. Hanya dengan menerima Pancasila sebagai keseluruhan, Pancasila dapat berfungsi sebagai alat pemersatu. PKI menentang pemretelan terhadap Pancasila. Bagi PKI, semua sila sama pentingnya. Kami menerima sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam rangka Pancasila sebagai satu-kesatuan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan kenyataan bahwa jumlah terbanyak dari bangsa Indonesia menganut agama yang monoteis (bertuhan satu).

Sebagaimana dikatakan oleh Presiden Sukarno dalam buku Tjamkan Pantja Sila, “pada garis besarnya, grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud.. bangsa Indonesia.. percaya kepada Tuhan, di samping ada juga orang yang tidak percaya kepada Tuhan…”

Sebagaimana juga Bung Karno, kaum komunis Indonesia juga sependapat bahwa ada golongan agama yang tidak percaya kepada Tuhan sebagaimana ditegaskan Presiden Sukarno dalam buku tersebut di atas sebagai berikut: “Agama Budha tidak mengenal begrip Tuhan… Budha berkata tidak ada, tidak perlu engkau mohon-mohon, cukup engkau bersihkan engkau punya kalbu daripada nafsu dan dia sebut delapan nafsu… dengan sendirinya engkau masuk di dalam surga…”.
Dengan menerima sila Ketuhanan berarti di Indonesia tidak boleh ada propaganda anti-agama, tetapi juga tidak boleh ada paksaan beragama. 
Paksaan beragama bertentangan dengan sila Kedaulatan Rakyat. Juga bertentangan dengan sila Kebangsaan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial. Orang Indonesia yang tidak atau belum beragama, ia tetap bangsa Indonesia, tetap manusia yang harus diperlakukan secara adil dalam masyarakat. Tentang ini dengan tegas dikatakan oleh Presiden Sukarno bahwa “ada perbedaan yang tegas antara keperluan negara sebagai ‘negara’ dan ‘urusan agama’.

Tetapi represi yang keji terhadap badan dan rohani komunisme itu pun akhirnya membuat Bung Karno menyerah dan seakan berkompromi dengan sikap ilmiahnya sehingga katanya:
“Kalau ingin menghilangkan komunisme, hilangkan ini gubuk-gubuk, ganti dengan rumah-rumah yang baik. Beri makan yang banyak, sandang-pangan yang cukup. (Pidato Sukarno di hadapan delegasi Angkatan 45, di Istana Merdeka, Jakarta, 6 September 1966)”.

Sikap yang lantas juga diikuti oleh kebanyakan kaum terpelajar Indonesia sekarang. Padahal Bung Karno juga tahu bahwa Marxisme(-Leninisme) adalah ilmu pengetahuan untuk mencapai masyarakat komunis. 
Sementara itu masyarakat komunis yang berakar pada prinsip hidup komunal, kebersamaan, bisa juga gotong-royong,  adalah soal gagasan yang sudah menjadi mimpi dan harapan sepanjang hidup bermasyarakat manusia yang dianggap ideal karena menjanjikan masyarakat tanpa penindasan dan penghisapan atau masyarakat adil dan makmur. Ia ada dalam gagasan masyarakat primitif kita. 
Pun dalam beberapa agama besar. Begitulah juga diceritakan dalam Kisah Para Rasul bagaimana para jemaat purba hidup dalam prinsip yang sekarang kita kenal sebagai prinsip komunis: “Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa dan tidak seorang pun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama….lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya.” (4: 32-37)

Karena itu, dari kacamata ilmu pengetahuan, menjadi menggelikan bahwa menghilangkan komunisme adalah dengan “hilangkan ini gubuk-gubuk, ganti dengan rumah-rumah yang baik. Beri makan yang banyak, sandang-pangan yang cukup”, sementara relasi kuasa yang tidak setara yang membiarkan adanya penindasan dan penghisapan tetap bertakhta.  
Di sini berlaku, kekalahan politik tidak berarti kekalahan dalam bidang gagasan atau ideologi. PKI bisa mati, bangkrut dan aus tetapi gagasan mencapai masyarakat adil dan makmur,  tanpa penindasan dan penghisapan selalu hidup dan… menghantui?
[AJ Susmana]

0 komentar:

Posting Komentar