Rabu, 20/07/2016 16:54 WIB
Pemutaran video pembacaan putusan IPT '65 di Kantor YLBHI, Jakarta. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)
Jakarta, CNN Indonesia --
Majelis hakim pengadilan rakyat internasional atas kejahatan kemanusiaan periode 1965 di Indonesia atau International People’s Tribunal (IPT) 1965 menyebutkan tiga negara terlibat atas tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan selama 1965-1966.
Ketua Hakim IPT 1965 Zak Yacoob dalam siaran putusannya Rabu (20/7) menyebutkan Amerika Serikat, Inggris dan Australia terlibat dengan derajat keterlibatan yang berbeda-beda. Pernyataan ini dibacakan sebagai bagian dari putusan akhir IPT 1965.
Dalam putusan akhir yang dibacakan hari ini, Indonesia dianggap bersalah dan harus bertanggung jawab atas tindakan kejahatan hak asasi manusia (HAM) berat pada 1965-1966. Dua pelanggaran HAM berat yang dilakukan Indonesia yakni kejahatan kemanusiaan dan genosida.
Yacoob menyebutkan Amerika memberi dukungan kepada militer Indonesia, padahal tahu dengan jelas adanya pembunuhan massal atas anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan keluarganya.
“Bukti paling jelas adalah adanya daftar nama pejabat PKI yang memudahkan penangkapan atau pembantaian atas nama-nama tersebut,” kata Yacoob.
Adapun Inggris dan Australia dalam putusan disebut melakukan kampanye propaganda palsu yang terus berulang, meskipun terjadi pembunuhan massal secara terang.
“Pemerintah negara-negara ini padahal tahu benar melalui jalur diplomatik dan laporan media,” kata Yacoob.
Dalam salinan putusan disebutkan pembunuhan massal setelah 30 September 1965 telah dimuat oleh beberapa laporan media massa Barat. Contoh yang disebutkan ialah laporan yang dibuat The Age (Melbourne) pada Januari 1966 oleh wartawan Robert Macklin. Dia dan istrinya menyaksikan peristiwa pembunuhan.
“Kami melihat empat desa di mana semua lelaki dewasa telah dibunuh. Kami melihat kuburan massal di mana dalam tiap kuburan itu dipenuhi sampai 10 komunis laki-laki dan perempuan setelah mereka ditusuk hingga meninggal.”
Selain itu, pada 4 MAret 1966, The Boston Globe menerbitkan sebuah komentar oleh wartawan terkenal Joseph Kraft di mana ia melontarkan pertanyaan: “Indonesia, negara terpadat kelima di dunia, telah menjadi ajang pembunuhan skala besar yang terus belanjut –sekitar 300.000 orang dibunuh sejak November tapi di sini, pembantaian itu tidak membangkitkan perhatian.”
Pada April 1966 kepala koresponden asing The New York Times, C. L. Sulzberger, menggambarkan pembunuhan di Indonesia sebagai “salah satu pembantaian paling kejam dalam sejarah,” menyaingi pembantaian “Armenia oleh Turki, kelaparan di Kulaks oleh Stalin, genosida kaum Yahudi oleh Hitler, pembunuhan Muslim-Hindu yang mengikuti pembagian India, pembersihan besar-besar-besaran setelah Komunisas di Tiongkok” dalam hal skala dan kebiadaban.
Laporan lainnya dibuat oleh wartawan senior AS Seymour Topping melaporkan temuannya dengan panjang lebar di koran yang sama pada Agustus 1966. Ia mengamati bahwa “eksekusi biasanya dilakukan oleh militer di Jawa Tengah dan Bali dan bahwa masyarakat di Jawa Tengah dan Bali dihasut oleh tentara dan polisi untuk membunuh.”
Dalam sidang IPT 1965 pada 10-13 November 2015, dua saksi ahli yakni
Bradley Simpson dan Herlambang Wijaya memberikan kesaksian, dan dokumen
menyebutkan indikasi keterlibatan negara lain.
Saksi menyebutkan sumber rujukan di antaranya artikel dari wartawan Kathy Kadane asal Amerika tahun 1990. Kadane mewawancarai Robert J. Martens, mantan pejabat politik di Kedutaan Besar AS di Jakarta, dan pejabat Kedutaan Besar lainnya di masa itu. Dalam laporan Kadane, Martens menyatakan bahwa beberapa daftar yang berisi ribuan nama diserahkan sedikit demi sedikit selama beberapa bulan.
“Itu benar-benar bantuan besar terhadap tentara. Mereka mungkin membunuh banyak orang, dan mungkin tangan saya berlumuran darah, tapi tidak semua hal itu buruk. Ada saat di mana Anda harus memukul dengan keras di waktu penentuan.”
Dalam kesaksian dalam sidang, Bradley Simpson menyatakan bahwa Martens dan analis CIA di Kedutaan menciptakan profil rinci PKI dan organisasi yang terafiliasi dengannya dari kepemimpinan nasional hingga ke regional, provinsi, dan kader lokal.
“Ini disampaikan melalui pejabat Indonesia” ke Soeharto, yang menggunakannya untuk melacak anggota PKI untuk penangkapan dan eksekusi,” bunyi salinan putusan itu.
Ada tiga rekomendasi dari hasil putusan pengadilan rakyat ini. Pertama, pemerintah Indonesia agar segera dan tanpa pengecualian meminta maaf pada semua korban, penyintas dan keluarga mereka atas tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh negara dan tindakan kejahatan lainnya yang dilakukan negara terkait peristiwa 1965.
Kedua, menyelidiki dan menuntut semua pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketiga, memastikan akan adanya kompensasi yang setimpal dan upaya ganti rugi bagi semua korban dan penyintas.
(yul)
Ketua Hakim IPT 1965 Zak Yacoob dalam siaran putusannya Rabu (20/7) menyebutkan Amerika Serikat, Inggris dan Australia terlibat dengan derajat keterlibatan yang berbeda-beda. Pernyataan ini dibacakan sebagai bagian dari putusan akhir IPT 1965.
Dalam putusan akhir yang dibacakan hari ini, Indonesia dianggap bersalah dan harus bertanggung jawab atas tindakan kejahatan hak asasi manusia (HAM) berat pada 1965-1966. Dua pelanggaran HAM berat yang dilakukan Indonesia yakni kejahatan kemanusiaan dan genosida.
Yacoob menyebutkan Amerika memberi dukungan kepada militer Indonesia, padahal tahu dengan jelas adanya pembunuhan massal atas anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan keluarganya.
“Bukti paling jelas adalah adanya daftar nama pejabat PKI yang memudahkan penangkapan atau pembantaian atas nama-nama tersebut,” kata Yacoob.
Adapun Inggris dan Australia dalam putusan disebut melakukan kampanye propaganda palsu yang terus berulang, meskipun terjadi pembunuhan massal secara terang.
“Pemerintah negara-negara ini padahal tahu benar melalui jalur diplomatik dan laporan media,” kata Yacoob.
Dalam salinan putusan disebutkan pembunuhan massal setelah 30 September 1965 telah dimuat oleh beberapa laporan media massa Barat. Contoh yang disebutkan ialah laporan yang dibuat The Age (Melbourne) pada Januari 1966 oleh wartawan Robert Macklin. Dia dan istrinya menyaksikan peristiwa pembunuhan.
“Kami melihat empat desa di mana semua lelaki dewasa telah dibunuh. Kami melihat kuburan massal di mana dalam tiap kuburan itu dipenuhi sampai 10 komunis laki-laki dan perempuan setelah mereka ditusuk hingga meninggal.”
Selain itu, pada 4 MAret 1966, The Boston Globe menerbitkan sebuah komentar oleh wartawan terkenal Joseph Kraft di mana ia melontarkan pertanyaan: “Indonesia, negara terpadat kelima di dunia, telah menjadi ajang pembunuhan skala besar yang terus belanjut –sekitar 300.000 orang dibunuh sejak November tapi di sini, pembantaian itu tidak membangkitkan perhatian.”
Pada April 1966 kepala koresponden asing The New York Times, C. L. Sulzberger, menggambarkan pembunuhan di Indonesia sebagai “salah satu pembantaian paling kejam dalam sejarah,” menyaingi pembantaian “Armenia oleh Turki, kelaparan di Kulaks oleh Stalin, genosida kaum Yahudi oleh Hitler, pembunuhan Muslim-Hindu yang mengikuti pembagian India, pembersihan besar-besar-besaran setelah Komunisas di Tiongkok” dalam hal skala dan kebiadaban.
Laporan lainnya dibuat oleh wartawan senior AS Seymour Topping melaporkan temuannya dengan panjang lebar di koran yang sama pada Agustus 1966. Ia mengamati bahwa “eksekusi biasanya dilakukan oleh militer di Jawa Tengah dan Bali dan bahwa masyarakat di Jawa Tengah dan Bali dihasut oleh tentara dan polisi untuk membunuh.”
|
Saksi menyebutkan sumber rujukan di antaranya artikel dari wartawan Kathy Kadane asal Amerika tahun 1990. Kadane mewawancarai Robert J. Martens, mantan pejabat politik di Kedutaan Besar AS di Jakarta, dan pejabat Kedutaan Besar lainnya di masa itu. Dalam laporan Kadane, Martens menyatakan bahwa beberapa daftar yang berisi ribuan nama diserahkan sedikit demi sedikit selama beberapa bulan.
“Itu benar-benar bantuan besar terhadap tentara. Mereka mungkin membunuh banyak orang, dan mungkin tangan saya berlumuran darah, tapi tidak semua hal itu buruk. Ada saat di mana Anda harus memukul dengan keras di waktu penentuan.”
Dalam kesaksian dalam sidang, Bradley Simpson menyatakan bahwa Martens dan analis CIA di Kedutaan menciptakan profil rinci PKI dan organisasi yang terafiliasi dengannya dari kepemimpinan nasional hingga ke regional, provinsi, dan kader lokal.
“Ini disampaikan melalui pejabat Indonesia” ke Soeharto, yang menggunakannya untuk melacak anggota PKI untuk penangkapan dan eksekusi,” bunyi salinan putusan itu.
Ada tiga rekomendasi dari hasil putusan pengadilan rakyat ini. Pertama, pemerintah Indonesia agar segera dan tanpa pengecualian meminta maaf pada semua korban, penyintas dan keluarga mereka atas tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh negara dan tindakan kejahatan lainnya yang dilakukan negara terkait peristiwa 1965.
Kedua, menyelidiki dan menuntut semua pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketiga, memastikan akan adanya kompensasi yang setimpal dan upaya ganti rugi bagi semua korban dan penyintas.
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160720165423-12-145931/putusan-sidang-rakyat-1965-tiga-negara-terlibat-kejahatan/
0 komentar:
Posting Komentar