Tuan Presiden,
Hamba dengar hari ini hakim International People's Tribunal (Den Haag, 10-13 Oktober 2015) akan mengumumkan keputusan sidang.
Kalau kuingat desakan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia sedang terang menyingsing di seluruh daratan, kuat dugaan saya Tuan akan memperoleh persembahan Iedul Fitri melalui keputusan itu.
Dengarlah bagaimana pembinasaan manusia nyaris seabad lalu di Armenia dikutuk! Aku percaya pada kekuatan doa dan aku menunggu keadilan juga berbunga di negerimu ini; bahwa yang terjadi terhadap ratusan ribu warga bangsamu, bangsa kita, pada 1965-66 adalah juga GENOSIDA, sebuah pembinasaan terhadap manusia.
Yang akan membuat aku lebih bersyukur hakim akan menyebutkan bahwa korban bukan hanya anggota partai hantu dan para simpatisannya, tetapi juga para pengikut pendahulumu, Sukarno, dan para anggota Partai Nasional Indonesia yang progresif (ya, yang progresif, karena ada anggota PNI atau simpatisannya turut jadi jagal).
Sebagai salah seorang saksi dalam persidangan tak kudengar ada yang merujuk pada Sukarno maupun PNI, tapi dengan begitu tahulah aku bahwa sidang hakim benar-benar berpikir, bekerja, mencari sumber lain, di luar persidangan.
Kalau genosida adalah keputusannya, Paduka terimalah dengan lapang dada. Tak diperlukan keberanian untuk mengakui sebuah kejahatan.
Gunakan hatimu yang mulia, perlakukan penolakan dari sekelilingmu bukan sebagai kepak sayap merpati putih.
Inilah kesempatanmu mengangkat derajat bangsamu yang sedang melata, membusuk lantaran kejahatan yang dilakukan kaum kepala batu yang berhati berbulu.
Aku menjerit di dalam hati melihatmu wahai tuan, para pemimpin dari negara lain meninggalkan gelanggang ketika kau dipersilakan berpidato di Paris.
Aku tahu bagaimana pedihnya perasaanmu diperlakukan seperti itu.
Keputusan hakim IPT ini nanti tak lain tak bukan kesempatan bagimu untuk memulihkan martabat kita sebagaimana yang sedang kau lakukan di bidang ekonomi. Untukku sendiri, aku tidak menuntut apa-apa, kecuali sejarah yang dibaca cucuku, juga cucumu, tentu, adalah sejarah faktual. Bukan tipu daya.
Mungkin mereka lebih memerlukan sebaris sejarah yang benar dan bukan tol walau semeter! Memang keputusan IPT itu tidak mengikat secara hukum. Itu sekarang, Tuan Presiden. Jangan silap, keputusan hakim akan disampaikan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Prosesnya akan lama, sampai badan dunia itu akan mengirimkan rapporteur yang akan datang ke mari. Dan buktinya akan ditemukan di seluruh negerimu ini. Yang jadi anggota PBB itu bukan SBY bukan Jokowi, tapi Negara.
Ambillah kesempatan emas ini sebagai Kepala Negara yang memuliakan bangsamu.
Hanya tukang batu yang pandir dua kali tertimpa bencana yang sama. Engkau tukang kayu yang tahu membuat peradaban bangsamu tumbuh kembali.
Salam...
Rabu, 20 Juli 2016
Surat Terbuka Martin Aleida
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar