“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]
SIMPOSIUM NASIONAL
Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan
Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)
MASS GRAVE
Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..
TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]
Menko Polhukam Wiranto di kantor kementerian Polhukam,
Kamis 9 Maret 2017. (Foto: dok).
Komisi
untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak pemerintah
membentuk komisi kepresidenan untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia
berat di Indonesia.
JAKARTA — Kepala
Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Feri Kusuma kepada VOA mengatakan komisi
kepresidenan ini sangat penting dibentuk oleh pemerintah karena selama ini
kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu tidak kunjung ada
penyelesaiannya.
Komisi kepresidenan ini, kata Feri, dapat menjadi
akselerator untuk mempercepat proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM
berat masa lalu yang saat ini mandek di Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Menurutnya pembentukan komisi kepresidenan ini bisa
mempercepat dan mempermudah kerja presiden dalam penyelesaian kasus-kasus
pelanggaran HAM. Komisi ini, tambahnya, bertugas melakukan kajian atas
temuan-temuan yang sudah dilakukan oleh tim pencari fakta gabungan atau dari
Komnas HAM.
Setelah itu, lanjutnya, tim ini akan menentukan, di
antara kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi, mana peristiwa
yang bisa diselesaikan melalui mekanisme hukum atau yudisial dan kasus mana
yang bisa diselesaikan lewat mekanisme non-yudisial.
Komisi tersebut, tambah Feri, untuk mempermudah
pengambilan kebijakan oleh presiden. Feri mengatakan tim ini bersifat ad
hoc dan bekerja cepat dan langsung merekomendasikan langkah-langkah
yang bisa diambil oleh presiden.
Komisi ini, kata Feri, diharapkan diisi oleh
orang-orang yang berintegritas dan bukan dari unsur partai politik. Komisi itu
tambahnya langsung berada di bawah tanggung jawab presiden dan bukan menteri.
"Dinamika ketidakpastian terhadap penyelesaian
kasus ini, komisi kepresidenan ini harus menjadi lembaga yang bisa memecah
kondisi kebuntuan ini dan mencari solusi bagaimana hak korban ini bisa
dipenuhi," kata Feri.
Feri menambahkan pembentukan komisi kepresidenan itu
bertujuan untuk mempercepat pemenuhan hak para korban pelanggaran HAM.
Dalam kasus penyelesaian kasus pelanggaran HAM ini
lanjut Feri para korban menginginkan adanya pengungkapan kebenaran terlebih
dahulu.
Setelah proses itu dilakukan, tambahnya, baru dapat
dilakukan rekonsiliasi antara korban atau keluarga korban dengan pemerintah.
"Komisi kepresidenan bisa memberikan rumusan itu,
seperti apa langkah yang harus dilakukan presiden, kasus mana yang harus dibawa
ke pengadilan HAM," lanjutnya.
Menurut Feri, komisi kepresiden yang digagas oleh
KontraS tersebut sama halnya dengan komisi ad hoc yang dikemukakan oleh
presiden Jokowi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019.
Feri menilai sampai saat ini belum ada satu tindakan
maupun komitmen dari Jokowi untuk segera membuat komite tersebut.
Padahal, lanjutnya, Jokowi merupakan satu-satunya
presiden yang secara eksplisit menjanjikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM
masa lalu, yang telah disampaikan dalam nawacitanya dan dalam RPJMN.
Sekretaris Menteri Koordinator Politik, Hukum dan
Keamanan Letnan Jenderal Yoedhi Swastanto enggan menanggapi pembentukan komisi
baru yang diusulkan oleh KontraS. Menurutnya permasalahan HAM berat sudah cukup
ditangani dua tim terpadu di bawah Kementerian Koordinator Polhukam.
Sebelumnya
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menyatakan pemerintah
berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tetapi
menemukan sejumlah kendala.
"Terkait
masalah HAM, betapa sulitnya kita untuk menyelesaikan tuduhan pelanggaran HAM
masa lalu karena sudah begitu panjangnya masa yang dilalui maka para aparat
penegak hukum baik Komnas HAM, kepolisian dan kejaksaan, untuk menemukan saksi
dan bukti sangat sulit," jelas Wiranto.
Setidaknya
ada tujuh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum diselesaikan oleh
pemerintah. Ketujuh kasus pelanggaran HAM tersebut yaitu penghilangan dan
penyiksaan orang pada 1965-1966, penembakan misterius pada 1982-1985, peristiwa
Talangsari Lampung pada 1989, kerusuhan dan penghilangan orang secara paksa
1997-1998, Tragedi Trisakti 1998, Tragedi Semanggi dan pembunuhan di Wamena
Wasior, Papua. [fw/lt]
Siauw Giok Tjhan dan istri Tan Gien Hwa di Jakarta pada tahun 1979
Pada pukul tiga pagi, pada tanggal 4 November 1965, satu keluarga di jalan Tosari, Menteng, Jakarta, dibangunkan dengan datangnya banyak tentara dengan senjata lengkap.
Rumah itu diobrak abrik dan 'kepala keluarga' disebutkan dibawa dan diangkut dengan mobil pick-up ke tempat yang tidak diketahui.
Rumah itu milik Siauw Giok Tjhan, politikus dan tokoh gerakan kemerdekaan Indonesia yang ikut mendirikan Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia, Baperki, organisasi massa yang dibentuk warga Tionghoa Indonesia.
Putra Giok Tjhan, Siauw Tiong Djin, ikut menyaksikan apa yang terjadi pada dini hari 52 tahun lalu itu.
"Saya sendiri pada waktu itu umur sembilan," kata Siauw Tiong Djin.
"Saya lihat sendiri rumah saya diobrak abrik dan pada akhir kunjungan tersebut, ayah dibawa masuk ke sebuah pick up untuk kemudian dibawa ke tempat yang tidak kami ketahui," tambahnya.
Saat itu banyak orang yang dianggap berhaluan kiri atau terkait dengan Partai Komunis Indonesia diciduk dan tak ketahuan lagi rimbanya.
"Saya sebagai anak merasa sangat khawatir bahwa ayah akan dibawa dan hilang seperti cerita-cerita yang kami dengar sebelumnya. Jadi itu merupakan satu trauma untuk seorang anak berumur sembilan," kata Siauw Tiong Djin lagi.
'Dicina-cinakan'
Dokumen kabel diplomatik Amerika Serikat soal tragedi 1965 yang kembali dibuka untuk umum pada pertengahan Oktober lalu mengungkap sejumlah surat dari dan ke Amerika Serikat terkait pembunuhan massal saat itu.
Propaganda anti-PKI yang diusung Angkatan Darat - menurut dokumen itu- juga mengungkap sentimen anti-Cina yang berkembang luas di Sulawesi, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Orang Indonesia keturunan Tionghoa menjadi korban kekerasan dan dituding mendukung atau bahkan anggota PKI.
Dalam kabel diplomatik untuk Kementerian Luar Negeri pada 7 Desember 1965 disebutkan bahwa aset orang Tionghoa disita tentara. Menteri Pertanian Sudjarwo saat itu mengumumkan bahwa penggilingan beras dan pabrik tekstil orang Tionghoa diambil alih militer masing-masing wilayah.
Siauw Tiong Djin ikut merasakan sentimen anti-Tionghoa di ibu kota Jakarta.
"Kami tinggal di jalan Tosari, Menteng, sebagian besar adalah non-Tionghoa, jadi sentimen anti-Tionghoa yang mencolok tidak kami rasakan, tapi tentunya, di sekolah di jalan-jalan di surat kabar, di siaran radio dan TV, sentimen anti-Tionghoa yang berkembang setelah kejadian G30 tentu sangat dirasakan oleh kami semua," cerita Tiong Djin, yang kini menetap di Melbourne, Australia.
"Orang di jalan sering mendengar dicina-cinakan (diteriaki Cina). Cina pada pra 1967-1968 merupakan istilah yang mengandung konotasi penghinaan. Orang Tionghoa sering dicina-cinakan, graviti di jalan disebut Cina cukong PKI dan sebagainya. Jadi jelas sangat menimbulkan trauma pada komunitas Tionghoa pada waktu itu," tambahnya.
Korban fisik dan psikologis
Asvi Warman Adam, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan pada paska Gerakan 30 September 1965, orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa menjadi sasaran dan menjadi korban fisik dan juga psikologis.
"Mereka menjadi korban fisik, dikejar, dibunuh dan yang lebih parah lagi adalah mereka menjadi korban secara psikologis, mengganti nama misalnya, itu kan sangat berat. Orang yang sejak kecil punya nama tertentu dan diharuskan mengganti nama Indonesia itu sangat berat tapi itu yang terjadi...Hanya sebagian kecil yang tetap pakai nama Tionghoa," kata Asvi.
Asvi mengatakan sentimen anti-Cina saat itu dimulai dengan penyerbuan Kedutaan Besar Cina.
"Sentimen anti-Cina dimulai dengan penyerbuan ke Kedutaan RRT (Republik Rakjat Tjina) waktu itu. Nah setelah itu penyerbuan bahkan pembakaran ke universitas Res Publika, universitas (yang saat ini menjadi Universitas Trisakti) yang didirikan oleh Siauw Giok Tjhan.
Siauw Giok Tjhan sendiri disebut Asvi sebagai tokoh integrasi dalam sejarah Tionghoa Indonesia.
"Beliau adalah tokoh yang sangat penting dalam sejarah Tionghoa Indonesia karena beliau itu mendirikan Baperki, organisasi massa yang sejak awal sangat concern dengan masalah kewarganegaran orang Indonesia ini.
"Mereka menganjurkan apa yang disebut dengan integrasi. Integrasi artinya orang-orang Tionghoa bergabung atau menjadi bangsa Indonesia tapi tanpa kehilangan ciri khas mereka," kata Asvi.
"Ini berbeda dengan yang dianjurkan oleh Orde Baru, yaitu asimiliasi, mereka lebur sama sekali dan tidak ada lagi identitas Tionghoa."
Asvi menyebutkan, "Secara resmi hanya satu yang menjadi ormas PKI, Pemuda Rakyat, tapi organisasi lain Gerwani, Lekra, Baperki dianggap oleh pemerintah Orde Baru berafiliasi dengan PKI.
Dalam tahanan selama 12 tahun
Siauw Giok Tjhan ditahan selama 12 tahun dan sempat beberapa kali dipindahkan tempat penahanannya.
Setelah ditangkap pada 4 November 1965 - cerita Tiong Djin- keluarga dapat mengetahui keberadaan ayahnya beberapa jam kemudian.
Ia mengatakan sangat sulit bertemu dengan sang ayah dalam tiga tahun pertama.
"Pertemuan sangat sulit, kadang-kadang hanya lima menit, sekali sebulan, sekali dua bulan. Pertemuan selalu dihadapan para petugas sehingga tak bisa bicara terlalu banyak...
"Baru setelah tahun 1972, setelah (ayah) dipindah ke Rumah Tahanan Militer di Lapangan Banteng kemudian di Nirbaya, tempat tahanan para mantan menteri dan mantan jenderal, di situlah baru kami sering bertemu dengan ayah, seminggu sekali kami bertemu untuk satu sampai dua jam per minggu," kata Djin.
Beberapa hal yang dipelajari dari ayah, kata Tiong Djin termasuk bahwa "Indonesia adalah tanah air komunitas Tionghoa di Indonesia dan untuk menjadi seorang yang cinta dan loyal terhadap Indonesia, seseorang tidak perlu menanggalkan latar belakang kultur Tionghoa."
Djin menulis buku tentang kehidupan ayahnya, Siauw Giok Tjhan, Bicultural Leader in Emerging Indonesia, yang mencantumkan banyak hal yang ia pelajari dari sang ayah dan disusun berdasarkan disertasi doktoral yang diselesaikan pada 1999 di Universitas Monash.
Buku ini sendiri telah terbit dalam bahasa Indonesia dan juga Cina.
26 Oktober 2017 Meski rezim-rezim komunis telah runtuh sejak awal dekade 1990-an, komunisme masih dimunculkan sebagai "hantu" di mana-mana.
Ilustrasi Vedi Hadiz. tirto.id/Sabit
Revolusi Oktober di Rusia yang mengilhami pendirian pemerintahan-pemerintahan komunis di seluruh dunia tepat berusia 100 tahun. Terlepas dari fakta hampir seluruh praktik komunisme abad 20 telah runtuh antara 1989-1991, rumor seputar kebangkitan PKI terus muncul tiap September-Oktober. Meski tak seorang pun yang benar-benar bisa membuktikannya.
Gejala ketakutan akan "kebangkitan komunisme" tidak semata di Indonesia. Beberapa negara lain menghadapi fenomena serupa dalam bentuk berbeda-beda.
Di satu sisi, ketakutan ini mencerminkan kegagalan rezim-rezim liberal-demokratik dalam pemenuhan janji-janji kemakmuran. Namun, di sisi lain, ketakutan ini dalam praktiknya dipakai untuk melegitimasi kemunculan kelompok-kelompok populis sayap kanan, yang mengampanyekan rasisme, anti-imigrasi, bahkan otoritarianisme. Tirto menemui Vedi R. Hadiz, profesor Kajian Asia University of Melbourne, di sela-sela kesibukannya sebagai pembicara dalam seminar di Universitas Indonesia.
Pada 1990-an, Vedi meneliti gerakan-gerakan buruh. Belakangan ia berfokus pada studi-studi tentang oligarki dan populisme Islam. Juni lalu, bukunya Islamic Populism in Indonesia and the Middle East diterbitkan oleh Cambridge University Press. Vedi menyatakan isu komunisme terkait erat dengan persaingan faksi-faksi oligarki yang memainkan Islam atau nasionalisme untuk kepentingan politik.
Belakangan mekar paranoia komunisme di Indonesia. Tren ini juga terjadi di luar Indonesia, seperti di negara-negara bekas Blok Timur yang melarang simbol-simbol komunis di ruang publik. Di luar konteks realpolitik, ini mencerminkan situasi sosiologis masyarakat yang seperti apa?
Saya kira ada perbedaan antara masyarakat yang pernah mengalami pemerintahan yang katanya komunis dengan Indonesia yang hanya mengalami “ancaman” komunis.
Di negara Eropa Timur, komunisme mengandung stigma tertentu dalam masyarakat. Kecuali bagi beberapa generasi tua yang kadang-kadang memiliki nostalgia atas hak atas perumahan, kesehatan dan pendidikan yang gratis di bawah pemerintahan komunis. Tapi aspek-aspek dari pemerintahan komunis yang represif terhadap hak asasi manusia itu menjadi stigma, apalagi banyak pemimpin komunis yang hidup sebagai elite tersendiri.
Persoalannya, di masyarakat pasca-komunis, banyak janji kapitalisme pun tidak terpenuhi. Jadi janji-janji kemakmuran, high consumption, hidup seperti orang Barat yang kaya, tidak sepenuhnya tercapai.
Orang-orang dari Eropa Timur ini sebetulnya sumber tenaga kerja yang relatif murah untuk ukuran masyarakat ekonomi Eropa. Dalam konteks itu—apalagi dengan jurang kaya-miskin yang semakin meningkat secara global—komunisme bisa menarik lagi, bisa jadi ancaman terhadap status quo. Walau ancaman tersebut seringkali propaganda pemerintahnya.
Kekuatan riil komunis hari ini sebenarnya tidak ada. Cuma memang ada kekecewaan masyarakat dengan kapitalisme yang masif sejak 1989-1990 yang harus ditangani.
Cara menanganinya, kalau seperti di Polandia atau Hungaria itu cenderung oleh pemerintah-pemerintah yang ultra-kanan. Kecenderungan otoriter juga sangat tinggi. Mereka memakai ideologi dan propaganda berdasarkan nasionalisme, bahkan ultranasionalis. Terutama seperti di Hungaria, posisi seorang pemimpin menjadi hampir di tingkat kultus. Jika komunisme muncul, ya tentu saja itu mengganggu posisi mereka.
Di Polandia dan Rumania juga seperti itu. Jadi dalam rangka mempertahankan status quo, kecemasan masyarakat atas ketidakadilan sosial dialihkan ke masalah-masalah nasionalisme dan patriotisme. Yang jadi kambing hitam adalah dunia internasional, imigran, konspirasi dari luar negeri. Itu semua dilakukan untuk menjaga agar status quo bertahan.
Bagaimana dengan situasi di Indonesia?
Kalau di Indonesia beda, walau ada beberapa persamaan. Dalam artian, masyarakat juga dijanjikan banyak pada era reformasi. Sayangnya tidak terpenuhi. Orang berpikir, dengan demokrasi, kemakmuran bisa mudah tercipta. Distribusi kemakmuran merata. Ya enggak begitu. Dibutuhkan suatu perjuangan untuk mencapai itu.
Di Indonesia, jurang kaya-miskin masih lebar, struktur kekuasaan politik masih dikuasai oligarki yang sempit, dan ada kecemasan besar di kalangan kelas menengah bawah. Apa yang bisa diberikan kepada mereka? Pilihan-pilihan politiknya merupakan hal-hal yang mengalihkan perhatian dari masalah-masalah struktural.
Ada dua tradisi yang sangat mudah digunakan oligarki: Islam dan Nasionalisme. Nah, dua-duanya butuh musuh. Musuh yang paling gampang diciptakan, ya, komunisme.
Kalau you mau pertahankan status quo di tengah kecemasan masyarakat yang meningkat, kamu harus buat kecemasan itu tidak menjadi tantangan. Untuk tidak jadi tantangan, ya dicarilah musuh yang paling gampang untuk direpresentasikan sebagai sesuatu yang jahat tapi sekaligus mudah ditaklukkan. Ya, komunisme mudah untuk dimusuhi karena praktis enggak ada. Orang-orang tua bekas tahanan Pulau Buru sudah enggak bisa ngapa-ngapain, kan? Isu komunis dimainkan dalam persaingan oligarki yang berusaha untuk memainkan Islam atau nasionalisme untuk kepentingan mereka dalam berkompetisi.
Ambil contoh Gatot Nurmantyo. Dia bisa dengan mudah memainkan nasionalisme dan Islam. Dia mendekati kelompok Islam dan berpikir pemerintah saat ini mudah untuk diserang, misalnya karena representasi keislamannya yang agak kurang. Tapi dia juga bisa pakai sentimen nasionalis dengan dasar inilah tradisi ideologis yang paling mudah dipegang militer.
Jadi, sebagian dari polemik tentang komunisme sekarang sifatnya sangat oportunis dan sebetulnya tidak relevan dengan kondisi sosial politik saat ini.
Tapi tidak dipungkiri ada politik ketakutan yang sudah terbangun sejak 1965 sampai hari ini. Itu bagaimana?
Saya kira memang iya. Sekian dari generasi masyarakat Indonesia dibesarkan oleh propaganda antikomunisme, di mana komunisnya bukan manusia. Tahun 1980-1990-an, kalau buruh sedang demo, satpam-satpam akan bilang, “Komunis lo!”.
Itu bikin buruh takut. Karena kalau kamu komunis, kamu bisa dibunuh. Komunis dianggap boleh dianiaya karena dipandang sebagai ancaman terhadap nusa dan bangsa. Ketakutan adalah bagian dari arsitektur politik dan ideologi yang dibentuk sejak Orde Baru. Kita belum sepenuhnya keluar dari Orba. Elemen-elemen dari struktur ideologi politiknya masih tetap kita gunakan.
Seberapa besar daya tarik komunisme di Eropa Timur hari ini? Sementara dalam banyak literatur Perang Dingin, sering disebut pemerintahan komunis merupakan hasil intervensi militer Soviet setelah Perang Dunia II, bahkan sampai-sampai dikategorikan "imperialisme Rusia". Di sisi lain, kita menyaksikan fenomena Östalgie(rindu rezim komunis) di bekas Jerman Timur hari ini. Sementara Presiden Rusia Vladimir Putin berusaha menampilkan sosok dirinya sebagai penerus Stalin, meski tidak dalam unsur komunismenya tapi otoriterismenya.
Jadi yang diambil adalah Joseph Stalin-nya, tanpa Marxisme-Leninisme-nya. Seperti Prabowo mengambil Sukarno tanpa Nasakom. Diambil simbol yang mencerminkan kekuatan, yang satu mencerminkan nasionalisme. Tapi konteks sosial-historisnya dicabut.
Di Eropa Timur memang ada partai-partai eks komunis yang sekarang menjadi partai sosial-demokrat kiri dan di beberapa tempat cukup berhasil. Tapi enggak ada satu pun yang akan memenangkan pemilu dan bilang, “Kita mau kembali seperti sebelum 1989.” Nostalgia komunis mencerminkan suatu nostalgia dan ketidaknyamanan terhadap ketidakadilan sosial yang semakin meningkat.
Intervensi Soviet memang terjadi. Di Hungaria, penyerbuan [Soviet] pada 1956 masih sangat membekas, atau di Cekoslowakia tahun 1968, juga di Polandia tahun 1950-an. Tapi partai-partai komunis di sana secara organik pun lahir sebagai respons dari perkembangan kapitalisme di kawasan mereka.
Jadi, dibilang komunisme adalah transplantasi dari Rusia itu enggak bener. Karena mereka adalah hasil dari pergulatan internal dalam konteks masa perubahan yang sangat besar antara perang Dunia I dan Dunia II, yang mengalami depresi ekonomi dan sebagainya.
Sama juga PKI di Indonesia. Kalau PKI dibilang buatan Cina, ya itu salah besar. PKI mendekati Cina juga belakangan. Komunisme Indonesia datang dari orang-orang Belanda, bukan dari Cina. Berbeda dengan komunisme di Thailand, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Ini betul-betul dari Eropa. Pengaruh dari Cina sangat kecil. Intinya, ini tradisi yang sebetulnya menengok pada Eropa, bukan pada Cina.
Kalau kita menelusuri pergerakan nasionalisme Indonesia setelah Sarekat Islamdibungkam oleh Belanda, yang sebenarnya mengambil alih posisi barisan depan gerakan nasionalis Indonesia adalah PKI, sebelum akhirnya mereka juga dibungkam tahun 1927-1928. Baru kemudian pergerakan diambil alih oleh nasionalisme-nya Sukarno. Secara organik komunis itu ada di Indonesia, bukan hasil dari transplantasi. Dalam konteks Indonesia, [komunisme] adalah perkembangan dari gerakan nasionalis Indonesia yang cabang-cabangnya banyak.
Hubungan Islam dan komunisme selalu digambarkan sangat buruk. Apakah memang dorongan yang ideologis dalam konteks pergulatan saat ini atau malah dorongan pihak ketiga—oligarki?
Kalau kita lihat sejarah komunisme dalam dunia Islam pada awal abad 20 sebetulnya tidak ada konflik yang inheren antara komunisme dan Islam. Memang SI Putih dan SI Merah mengalami perpecahan. Tapi, dalam waktu cukup panjang, perjuangan menghadapi Belanda dinilai cukup mempersatukan macam-macam cabang itu walau mereka bersaing juga.
Sebetulnya yang menciptakan perubahan hubungan Islam dan komunis ada dua. Pertama, Madiun. Ini harus dicatat sebagai peristiwa di mana pemimpin Indonesia memerintahkan teman seperjuangannya [Amir Sjarifoeddin] untuk dieksekusi mati. Ini yang memulai siklus kekerasan antara orang Indonesia dalam fase baru. Sebelumnya, kan, Sjahrir diculik. Tan Malaka dipenjara. Nah, ini Amir Sjarifoeddin dihukum mati.
Kedua, praktik konsolidasi negara pascakolonial yang memerlukan waktu 20 tahun. Terjadi persaingan antara berbagai kekuatan. Basis sosial dari kekuatan-kekuatan Islam itu beda. Misalnya kalau di Jawa, basisnya adalah petani yang punya tanah. Kita tidak punya kelas kulak (petani kaya) seperti di Rusia. Jadi jika kita berangkat dari kategori kelas di situ juga agak keliru. Basis sosial dari Islam di Indonesia itu termasuk pedagang kecil, produsen-produsen kecil. Mereka merasa basis material mereka terancam oleh gerakan komunis yang ingin menghapus private property.
Akhirnya terjadi kulminasi konflik-konflik di Jawa setelah pengesahan Undang-Undang Agraria (1960). Di lain pihak (dalam konteks perang dingin), kelompok Islam itu cenderung memihak tentara, yang sebagian besar digarap oleh Barat sebagai tandingan terhadap Sukarno dan juga PKI.
Kenapa kelompok-kelompok Islam bergabung dengan militer? Karena militer juga bermusuhan dengan PKI. Yang pertama karena peristiwa Madiun 1948; kedua, nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada 1950-an.
Nasionalisasi ini yang menyebabkan militer berfungsi sebagai kapitalis dan manajer dari perusahaan-perusahaan kapitalis negara. Mereka berhadapan dengan PKI yang menguasai serikat buruh yang paling kuat. Kelompok Islam seperti Masyumi juga punya serikat buruh tapi cenderung berisi buruh yang status ekonominya lebih tinggi.
Ketika terjadi nasionalisasi perusahaan asing, pemerintah dituntut agar perusahaan-perusahaan asing diserahkan kepada serikat buruh. Pemerintah menolak dan diberikan ke tentara. Tentara mengelola perusahaan-perusahaan itu, yang sebetulnya sudah hancur sejak zaman Jepang. Selain itu, perusahaan-perusahaan asing tersebut sudah mengalami kemerosotan sejak depresi 1930-an. Enggak mampulah mereka mengelola itu, rugi terus.
Potensi konflik sosial akhirnya tinggi. Orang-orang mulai ambil posisi. Nah, karena posisi komunis yakin bahwa private property akhirnya mesti dibagi-bagi, orang-orang Islam cenderung takut kalau kekayaan yang kecil itu diambil. Ya mereka bersatu di sana.
Di Iran sampai 1980-an, Islam dan komunisme bersatu. Di Malaysia, pasukan komunis Malaysia menghadapi Inggris, kemudian Malaysia merdeka. Mereka sekarang lari ke Thailand selatan. Mereka adalah Islam komunis.
Di Iran itu terjadi dua revolusi. Pada Revolusi 1979, semua kekuatan ikut; Islam, Kaum Bazaari, liberal kelas menengah kota, mahasiswa kiri, buruh, semua ikut. Tahun 1983 revolusi kedua; kelompok-kelompok yang bukan Islamis, termasuk komunis, dibersihkan. Sehingga waktu perang Iran-Irak, mereka dianggap sebagai pengkhianat.
Soal perpecahan organisasi komunis internasional, dari Komintern, Kominform, hingga perpecahan Soviet dan Cina. Apakah persoalannya sebatas perdebatan agensi kelas, misalnya kelas mana yang bisa diharapkan jadi agen revolusi, buruh atau tani? Atau karena dominasi Uni Soviet? Bagaimana dampaknya bagi perjuangan gerakan komunis dan antikolonialis di Dunia Ketiga?
Sangat ada dampaknya. Slogan “Workers of the world, unite!” (“Buruh seluruh dunia, bersatulah!”) jadi goyah selama ada dua kekuatan yang merepresentasikan dirinya sebagai pemandu gerakan komunis global.
Tapi pertarungan antara Uni Soviet dan Cina sebetulnya bukan konflik antara partai komunis, tapi pertarungan antara partai komunis yang sudah bertransformasi jadi negara. Itu mempunyai pengaruh terhadap perjuangan partai-partai komunis yang belum sampai tahap berkuasa.
Sebetulnya, konflik-konflik itu bisa dihindari jika partai-partai komunis waktu itu berangkat dari analisis tentang masyarakat mereka sendiri. Tulisan [Jose Maria] Sison (pemimpin Partai Komunis Filipina) menjiplak Mao. Sebetulnya analisa struktur sosial Indonesia yang ditulis oleh D.N. Aidit waktu itu tidak begitu mendalam. Walaupun pernah dipakai oleh PKI saat itu, ya, kelirunya juga besar.
Pada 1978 ekonomi Cina bergerak ke kapitalis. Kondisi pascaperang di Vietnam juga mendorong negara tersebut bersalin diri dari sosialisme ke ekonomi pasar. Soviet sempat memberlakukan 'New Economic Policy' setelah memenangkan Perang Sipil pada 1922-1928, mengundang pemodal asing untuk investasi di Rusia di bawah kontrol ketat negara, tapi kembali ke ekonomi sosialis setelah rekonstruksi pascaperang. Apa yang membuat partai komunis di Cina dan Vietnam hari ini gagal menjalankan praktik sosialis dan justru menjadi manajer kapitalis yang efektif?
Jawabannya singkat. Pada 1920-an belum ada globalisasi. Stalin itu strategi ekonominya adalah mengeruk surplus ekonomi domestik untuk diinvestasikan ke industri berat. Oleh karena itu korbannya besar, 20 jutaan orang, sebagian besar petani, yang berkorban untuk industrialisasi Rusia. Dia didorong melakukan ini untuk menangani suatu kekhawatiran yang dihadapi Lenin bahwa negara kapitalis maju gelisah jika revolusi menyebar. Ada ancaman diserang.
Jadi untuk melindungi diri, Soviet harus punya kekuatan ekonomi yang besar. Termasuk punya kapasitas militer yang besar. Itulah yang menyebabkan Soviet jadi sistem totaliter. Dalam upaya menyelamatkan komunisme dari invasi kekuatan-kekuatan kapitalis, komunismenya sendiri malah jadi totaliter.
Globalisasi belum ada saat itu. Kalau Cina dan Vietnam, dengan penduduknya yang banyak dan bisa jadi buruh murah, dia bisa bisa jadi pabrik dunia. Karena sudah globalisasi. Kalau dulu, kan, tiap negara bikin baju sendiri. Dengan adanya globalisasi, jalan untuk mengadopsi lebih banyak ciri-ciri kapitalisme semakin kuat. Karena keuntungannya semakin besar. Uang yang bisa dikeruk lebih banyak.
Di Cina, prosesnya ada perbedaan juga. Untuk menciptakan cheap labor, mereka menghancurkan komune-komune. Jadi dalam artian tertentu itu bentuk akumulasi primitif juga. Buruh-buruh murah masuk kota dan jadi dasar buat awal industrialisasi di Cina, yaitu untuk jadi pabrik dunia dan bisa menghasilkan barang-barang berorientasi ekspor.
Revolusi 1917 di Rusia berdampak besar dan global, bahkan ke negara-negara Blok Barat yang sempat mengalami sentimen antikomunis yang besar dan akhirnya memaksa mereka jadi negara kesejahteraan (welfare state). Sebagai anak kandung emansipasi, inspirasi komunis tidak mati-mati bahkan ketika Blok Timur runtuh pada 1989 dan Barat mendeklarasikan diri sebagai pemenang Perang Dingin. Tapi 10 tahun kemudian, Hugo Chavez menang di Venezuela dan menggagas eksperimen Sosialisme Abad 21, yang segera menyebar ke Amerika Selatan. Namun, belakangan angin politik di sana bergerak ke kanan. Menurut Anda apakah momentum 1989 sedang terulang?
Kelemahan utama Chavismo (gagasan sosialisme ala Venezuela) itu satu dan sangat mendasar: tergantung pada ekspor minyak. Ekspor minyak turun, habis revolusinya. Chavismo belum sempat menjadi struktur yang embedded dalam masyarakat Venezuela, belum cukup lama. Dan di situ, kan, ada duit minyak.
Menurut saya, pelajaran dari kehancuran komunisme pada 1989 tidak banyak diambil untuk kasus Chavismo. Konteksnya beda, akarnya beda, krisisnya juga beda. Yang bisa diambil: susah sekali untuk membangun masyarakat ala sosialis di masyarakat global yang kapitalis.
Benar memang Revolusi Pink (Amerika Latin) menjadi model. Tapi sekarang juga mengalami krisis. Jadi, sebelum punya efek global, ia punya efek regional seperti di Ekuador, dan lain-lain. Tapi sebelum punya efek global, ia malah di-undermine di sarangnya sendiri.
Sementara itu dunia berjalan terus. Dasar-dasar struktural munculnya Chavismoadalah ketidakadilan sosial, yang semakin meningkat dalam konteks neoliberalisme global yang menyebabkan dislokasi-dislokasi baru. Sekarang krisis-krisis ini malah disambut oleh kelompok kanan.
Tapi mesti ingat, walau kemunculan kanan menjadi respons yang paling kelihatan, masih ada eksperimen sosialis Podemos di Spanyol, Syriza di Yunani. Setidak-tidaknya itu menunjukkan respons terhadap krisis tidak harus dalam bentuk fasisme.
Itu menunjukkan yang ekstrem kanan itu enggak perlu harus mendominasi, kalau diskursus tentang keadilan sosial itu tidak dibiarkan diapropriasi olehnya. Yang penting, wacana keadilan sosial tidak dimonopoli oleh kelompok-kelompok yang sifatnya fasis atau mendekati fasis.
Reporter: Ivan Aulia Ahsan & Windu Jusuf Penulis: Ivan Aulia Ahsan Editor: Windu Jusuf
Antropolog AS mencatat aksi pembersihan PKI di Pulau Rote, NTT. Banyak orang tak bersalah menjadi korban hanya karena mereka menjadi pelanggan koperasi yang dikelola PKI.
Tentara menggiring orang-orang yang diduga terkait PKI pada 1965. (Perpustakaan Nasional RI).
DI Pulau Rote, ujung paling selatan Indonesia, seorang antropolog AS, James J. Fox, menyaksikan praktik penumpasan PKI. Dia menetap di Rote sejak 1965 untuk kepentingan studinya di Universitas Oxford, Inggris. Bersama istrinya, dia melaporkan situasi yang terjadi selama masa pembersihan berlangsung kepada Kedubes AS di Jakarta. Kedubes kemudian menerbitkannya dalam laporan berjudul “Conditions and Attitudes in East Nusatenggara” (Kondisi dan Sikap di Nusa Tenggara Timur). Laporan ini menjadi salah satu dari 39 dokumen rahasia AS yang dideklasifikasi pada 17 Oktober 2017.
Fox melaporkan bahwa satu detasemen AD tiba di Rote pada Januari atau Februari 1966. Misi tentara memburu Sukirno, kader PKI dari Jakarta yang ditugaskan memimpin PKI di Rote, beberapa minggu sebelum 30 September 1965. Tentara mundur karena tak menemukan yang dicari. Mereka kembali lagi ke Rote pada pertengahan Maret 1966.
“Kunjungan ini menghasilkan eksekusi sebanyak 40 sampai 50 orang komunis di Rote ditambah 30 orang lainnya dari pulau tetangga, Sawu,” tulis telegram bernomor A-65 tanggal 3 Agustus 1966. Kunjungan tentara yang ketiga terjadi pada Juni 1966. Satu atau dua orang anggota PKI dieksekusi yang sebelumnya menghindari penangkapan.
Fox melakukan perjalanan melalui Timor untuk berbicara dengan sebanyak mungkin masyarakat setempat. Informasi yang digalinya menyimpulkan sekira 800 orang atau paling banyak 1000 orang telah dieksekusi di Timor, Sumba, Alor, Rote, Sabu dan di pulau kecil lainnya. Alor merupakan basis PKI terkuat dengan 105 orang dieksekusi. Sementara untuk Flores, dia tidak mengetahui persis namun diperkirakan jauh lebih banyak.
Sebagai antropolog, Fox mengamati implikasi sosial yang ditimbulkan oleh operasi tentara. Alih-alih menuai simpati, aksi pembersihan ternyata menodai citra tentara di mata masyarakat Rote. Daerah ini sebagian besar beragama Kristen dan berisi beragam orang non-Jawa. Sementara, ketika tentara datang, “mereka sebagian besar terdiri dari orang-orang Muslim dari Jawa dan nampaknya penduduk setempat menjadi korban pendudukan orang asing,” kata Fox.
Menurut Fox, tentara melakukan pesta mewah hari demi hari dengan mengorbankan harta milik penduduk, yang mengakibatkan populasi ternak (kambing) menipis. Di Kupang, korupsi yang dilakukan tentara diperkirakan meningkat sepuluh kali lipat. Beberapa muatan kapal dari luar negeri yang dibongkar di Kupang, naik ke tangan tentara dan hanya bisa dibeli oleh penduduk dengan harga selangit. Hal ini sempat menimbulkan ancaman kelaparan bagi masyarakat setempat.
Kesaksian Pembanding
Wartawan senior asal Pulau Sawu, Peter A. Rohi meyakini kebenaran dokumen laporan Fox tersebut. Menurutnya, yang disebut PKI yang dibantai di Timor termasuk Pulau Rote dan Sawu adalah anggota-anggota nonaktif. Mereka kebanyakan petani buta huruf dan nelayan kecil yang berlangganan di koperasi PKI.
“Mereka yang masih menganut agama lokal pun disamakan dengan atheis dan atheis itu komunis. Para aktivis yang selama masa itu selalu bertentangan dengan kebijakan pemerintah juga digolongkan komunis. Petani dan nelayan-nelayan itu sama sekali tak mengerti Marxisme. Bagi mereka yang penting kebutuhan mereka tersedia di koperasi yang ternyata milik PKI,” kata Peter.
Bahkan, Peter mengungkapkan saudara sepupu ibunya beserta anak sulungnya yang pulang melaut langsung ditangkap tanpa diberi kesempatan pulang ke rumah. Keduanya kreditur jaring di koperasi milik PKI lantas dibunuh bersama banyak orang lain yang PKI atau di-PKI-kan.
Seorang hakim di Ende, Flores, bernama Soedjono ditangkap massa dan dibunuh hanya karena namanya sama dengan seorang buronan PKI di Jawa. Setelah itu, baru diketahui dia bukanlah Soedjono yang dicari.
“Pokoknya histeria massal saat itu terjadi karena selebaran-selebaran hoax seakan-akan PKI akan membunuh semua ulama dan pendeta, pastor, para pejabat resmi, serta tokoh masyarakat yang berpengaruh yang namanya tercantum dalam selebaran itu,” kata Peter.
Pengalaman senada juga dikisahkan Ben Mboi dalam memoarnya Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja. Menurut dokter yang saat itu berdinas di Flores dan Ende, kehadiran PKI di desa-desa bertumbuh karena PKI diplesetkan menjadi Partai Koperasi Indonesia, dan seterusnya. Keanggotaan PKI pun diimingi-imingi naik haji bagi petani kecil, atau pedagang keliling, dan sebagainya.
Ketika situasi politik berbalik menekan PKI, tragedi kemanusiaan yang memilukan pun tak terelakkan. Gerakan kontra PKI berjalan cepat dan kejam sekali. Aksi pengganyangan menyala-nyala dan tak manusiawi.
“Tokoh-tokoh komunis disiksa, dipukuli sampai luka-luka, dikirim ke rumah sakit, dikembalikan lagi, disiksa lagi, dikirim lagi ke rumah sakit, sampai persediaan alat balut yang sudah terbatas itu makin terkuras saja,” kata Mboi yang kemudian menegur kepala Kodim setempat.
Di Ende, keadaan tak jauh berbeda.
“Ada orang PKI yang disiksa lalu ditembak, ada yang disiksa sambil berjalan sampai mati, ada yang dibakar hidup-hidup.”
Mboi juga menyaksikan ada dua guru yang dipenggal dan diarak massa keliling kota Ende, lalu dipamerkan di tugu tengah kota. Kedua jenazah baru dikuburkan setelah kepala seksi satu Kodim mendapat teguran.
Menurut Mboi, korban keganasan epilog G30S di Flores terbesar kedua setelah Bali. Selain PKI, anggota-anggota PNI kubu Ali-Surachman juga menjadi korban. Keganasan tak lebih ringan dari yang dialami PKI, malahan lebih ganas, oleh karena ada motif pribadi.
“Masa ini benar-benar merupakan the blackest and the bleakest months of my life (paling gelap dan paling suram dalam hidupku), dan sampai hari ini pun bayangan bulan-bulan itu masih terpatri dalam ingatan seperti baru terjadi kemarin saja!” kenang Mboi yang meninggal pada 23 June 2015.