Ketika tentara Indonesia pertama kali menduduki tanah Papua Barat pada Mei tahun 1963, mereka segera mengorganisir pembakaran artefak budaya Papua di alun-alun utama kota Jayapura.
Sepuluh ribu penduduk Papua dipaksa menghadiri aksi yang disambangi Menteri Kebudayaan Ruslah Sardjono tersebut.
Budaya tradisional Papua, yang sudah ada sejak jauh sebelum negara Indonesia dibentuk, dicemooh sebagai “budaya kolonial” yang patut dibakar.
Sejak saat itu, segala bentuk aktivitas politik dan ekspresi budaya Papua dibungkam habis-habisan oleh tentara. Generasi muda lantas mulai melupakan tradisi Papua yang dihapus secara paksa oleh negara.
Kondisi
inilah yang mendorong Arnold Ap, seorang budayawan, berupaya
melestarikan warisan budaya Papua. Bersama kelompok musiknya, Mambesak,
ia rutin berkeliling Papua, merekam ulang lagu-lagu tradisional Papua,
dan mendokumentasikan budaya Papua yang sudah hampir punah. Kaset-kaset
Mambesak yang direkam seadanya laku keras. Arnold pun rutin mengisi
siaran radio, di mana ia berkisah tentang budaya lokal dengan lelucon
mop khas Papua. Selain itu, ia juga menjabat sebagai kurator di Museum
Antropologi di Universitas Cendrawasih, Jayapura.
Meski Arnold tidak terang-terangan mengkritik pemerintah, tindakannya yang mencoba melestarikan budaya Papua membuat tentara gerah. Pemerintah ingin menghapus perlahan-lahan budaya tradisional Papua, supaya rakyat Papua lebih meniru dan menurut pada pemerintah pusat di Jawa.
Adanya orang-orang seperti Arnold Ap jelas menghalangi ‘perang budaya’ ini.
Pada November tahun 1983, Arnold Ap diciduk oleh pasukan Kopassus dan ditahan berbulan-bulan. Ia dituduh melakukan tindakan subversi (melawan negara).
Ketika koran Sinar Harapan memberitakan bahwa keluarga Arnold dilarang menghubunginya, redaksi koran tersebut diancam oleh aparat.
Pada 21 April 1984, Arnold dibunuh beserta empat tahanan lainnya oleh Kopassus.
Meski Arnold tidak terang-terangan mengkritik pemerintah, tindakannya yang mencoba melestarikan budaya Papua membuat tentara gerah. Pemerintah ingin menghapus perlahan-lahan budaya tradisional Papua, supaya rakyat Papua lebih meniru dan menurut pada pemerintah pusat di Jawa.
Adanya orang-orang seperti Arnold Ap jelas menghalangi ‘perang budaya’ ini.
Pada November tahun 1983, Arnold Ap diciduk oleh pasukan Kopassus dan ditahan berbulan-bulan. Ia dituduh melakukan tindakan subversi (melawan negara).
Ketika koran Sinar Harapan memberitakan bahwa keluarga Arnold dilarang menghubunginya, redaksi koran tersebut diancam oleh aparat.
Pada 21 April 1984, Arnold dibunuh beserta empat tahanan lainnya oleh Kopassus.
0 komentar:
Posting Komentar