Rabu, 20 Juli 2016

Putusan IPT 1965: Negara Harus Meminta Maaf dan Mengadili Pelaku Kejahatan Kemanusiaan

Zakeria Yacoob, hakim ketua saat membacakan putusan IPT 1965 di Cape Town, Afrika Selatan.
KEPUTUSAN Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal, IPT 1965) diumumkan hari ini, 20 Juli 2016, oleh Hakim Ketua Zakeria Yacoob di Cape Town, Afrika Selatan. IPT 1965 dilaksanakan di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015. Kendati tunanetra karena meningitis sejak lahir, Zak adalah mantan hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan yang dipilih Presiden Nelson Mandela. 

Zak menyatakan majelis hakim pengadilan IPT 1965 memutuskan negara Indonesia telah melakukan kejahatan kemanusiaan dalam peristiwa 1965. Kejahatan kemanusiaan tersebut berupa pembunuhan massal, perbudakan, pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan seksual, persekusi, penghilangan paksa, propaganda kebencian, dan keterlibatan negara asing. Negara asing yang terlibat adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.

“Definisi kejahatan kemanusiaan secara umum serupa baik dalam hukum kebiasaan internasional maupun hukum Indonesia,” kata Zak. 

Zak menjelaskan kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut adalah serangan terhadap warga negara. Semua penyerangan ini merupakan bagian integral dari serangan yang luas dan sistematis terhadap PKI, organisasi underbouw-nya, pemimpinnya, anggotanya, pendukung serta keluarga mereka, termasuk mereka yang bersimpati pada tujuannya. Bahkan, serangan tersebut lebih luas lagi terhadap orang-orang yang tidak berkaitan dengan PKI lalu akhirnya juga menjadi “pembersihan” menyeluruh terhadap para pendukung Presiden Sukarno dan anggota progresif PNI.

Oleh karena itu, laporan keputusan IPT 65 menyerukan kepada pemerintah Indonesia secara mendesak dan tanpa syarat untuk meminta maaf kepada semua korban, penyintas, dan keluarganya untuk peran negara dalam semua kejahatan terhadap kemanusiaan; menyidik dan mengadili semua kejahatan terhadap kemanusiaan; memastikan kompensasi dan santunan yang memadai kepada korban dan penyintas. 

Laporan ini, lanjut Zak, sepenuhnya mendukung dan mendesak semua otoritas untuk mengindahkan dan mematuhi: seruan Komnas Perempuan agar pemerintah melakukan penyidikan sepenuhnya dan memberikan ganti rugi sepenuhnya bagi penyintas kekerasan seksual termasuk keluarganya; seruan Komnas HAM agar Jaksa Agung bertindak berdasarkan laporan tahun 2012 untuk melakukan penyidikan terhadap sesuatu yang dianggap sebagai pelanggaran HAM berat yang terjadi selama 1965-1966 dan sesudahnya; seruan para korban dan berbagai individu dan kelompok-kelompok HAM di Indonesia agar pemerintah dan semua sektor masyarakat Indonesia untuk: memerangi impunitas bahwa pelanggaran HAM berat di masa lalu yang tidak dihukum telah meracuni masyarakat dan membiakkan kekerasan baru; merehabilitasi para penyintas dan menghentikan persekusi yang masih dilakukan pihak berwajib atau pembatasan bagi para penyintas sehingga mereka dapat mendapatkan HAM sepenuhnya yang dijamin oleh hukum internasional dan hukum Indonesia. Dan akhirnya, mengungkapkan kebenaran tentang apa yang terjadi agar generasi masa depan bisa belajar dari masa lampau.

0 komentar:

Posting Komentar