Reporter: Petrik Matanasi | 02 Oktober, 2017
Sudisman (tengah) dikawal saat akan dibawa ke pengadilan. FOTO/Wikimedia Commons
Anggota Politbiro PKI, Sudisman, membela diri dalam Mahkamah Luar Biasa yang digelar pada 1967.
Sejak Maret 1966, Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi partai terlarang. Pentolan-pentolannya sudah banyak yang tertangkap, anggota dan simpatisannya banyak yang sudah tewas dalam aksi persekusi terbesar dalam sejarah Indonesia. Namun, masih ada beberapa petinggi PKI yang belum tertangkap, salah satunya: Sudisman.
Pada September 1966 itu, setengah tahun dari pembubaran dan pelarangan PKI, Sudisman masih berada dalam pelarian. Kendati tahu partainya telah hancur lebur, namun ia masih berpikir bagaimana caranya memperbaiki PKI.
“Kekuatan-kekuatan kontra-revolusioner dalam waktu singkat telah berhasil memukul dengan menimbulkan kerusakan-kerusakan berat pada PKI, mengharuskan kita yang masih bisa meneruskan perjuangan revolusioner ini untuk melakukan kritik dan otokritik sebagai satu-satunya cara yang tepat untuk bisa menemukan kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan baik di bidang teori, politik dan organisasi, dan kemudian memperbaikinya,” tulis Sudisman pada September 1966 dalam Otokritik-selaku Politbiro PKI.
Namun, niat Sudisman untuk memperbaiki partai harus dikubur dalam-dalam. Pada pengujung 1966, tepatnya pada 6 Desember, ia tertangkap. Sudisman ditahan di dalam sel berukuran 2,20 x 3,60 meter. Sudisman setidaknya kemudian mengalami 14 kali pemeriksaan, jika dihitung mencapai 70 jam.
Penjara bukan barang baru baginya. Waktu muda dulu, dia pernah dipenjara pemerintah kolonial karena persdelict. Kali ini tuduhan yang dikenakan padanya adalah, menurut harian Angkatan Bersenjata (edisi 6 Juli 1967, “[...] mempersiapkan kup Gestapu PKI, dan usaha tertuduh menyusun kembali partai PKI […] tertuduh pada bulan Februari-Maret – April – Mei 1966 di daerah Jakarta Raja melakukan kegiatan jang bersifat merongrong usaha pemulihan keamanan dan ketertiban.”
Sudisman tidak menyangkal keterlibatannya dalam G30S yang menculik dan membunuh para jenderal Angkatan Darat. Di persidangan secara terbuka dia mengatakan: “Saya sendiri terlibat dalam G30S, tetapi PKI sebagai Partai tidak terlibat dalam G30S.”
Membela partai memang kewajiban kader. Dan bukan sekali ini saja Sudisman melakukannya. Pada 1951, tiga tahun setelah peristiwa berdarah Kudeta Madiun 1948, ia pun membela PKI. dengan nama samaran Mirajadi, ia menulis uraian berjudul "Tiga Tahun Provokasi Madiun" di surat kabar Bintang Merah. Melalui artikel itu, lagi-lagi, Sudisman membela PKI yang -- baginya -- sama sekali tidak bersalah dalam peristiwa di Madiun. Ia menganggap Madiun 1948 sebagai provokasi pemerintahan Hatta.
Sudisman berencana menggunakan pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk mengutarakan pikiran-pikirannya tentang G30S. Namun, rencana itu gagal. Pada pengadilan yang berlangsung pada 21 Juli 1967, seperti ia uraikan dalam Uraian Tanggung Jawab, “Sungguh sayang bahwa sidang-sidang Mahmilub yang mengadili perkara saya ini tidak disiarkan oleh RRI seperti halnya dengan sidang-sidang Mahmilub yang lalu sejak mengadili perkara saudara Dokter Subandrio.”
Baginya, gerakan yang tak melibatkan massa rakyat seluruh pendukung PKI se-Indonesia hanyalah sebuah avonturisme (petualangan politik) petinggi partai. Para petinggi PKI, kata Sudiman, “Tanpa mengindahkan ketentuan-ketentuan organisasi melibatkan diri ke dalam G30S yang tidak berdasarkan kesadaran dan keyakinan yang tinggi massa Rakyat.”
G30S nyatanya menjadi jalan yang justru menghancurkan PKI. G30S, kata Sudisman, “telah menyebabkan terpencilnya partai dari massa rakyat. Kalau sudah jauh dari massa rakyat, yang harusnya jadi pendukung utama PKI, maka habis sudah PKI."
Menurut catatan Ben Anderson, dalam Revolusi Pemoeda (1989), “Pada 1939 ia mewakili Persatuan Pemuda Indonesia Surabaya (Perpis) dalam Kongres Pemuda III di Yogyakarta. Pada tahun 1940 ia menjadi wakil ketua Indonesia Muda cabang Surabaya.”
Selain itu, dia aktif dalam organisasi kebudayaan Jawa dan dalam organisasi pimpinan Amir Sjarifuddin, Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Menurut AM Hanafi, dalam A.M. Hanafi Menggugat(1998), Sudisman adalah Ketua Barisan Pemuda Gerindo cabang Surabaya.
Di masa kolonial, ia pernah mengelola dan menerbitkan jurnal bacaan radikal bernama Tamparan bersama kawannya, Tjoegito. Dia sempat ditahan sebentar pemerintah kolonial menjelang kedatangan Jepang. Ketika PKI bergerak di bawah tanah dan ilegal di zaman Jepang, Sudisman pernah dijatuhi hukuman penjara 8 tahun. Tentu saja hukuman itu tak dijalaninya selama itu karena Jepang sendiri hanya berkuasa kurang dari 4 tahun dan Indonesia merdeka pada 1945.
Setelah bebas, dia menjadi pimpinan Pemuda Republik Indonesia (PRI) dan juga anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) Jawa Timur. Ketika organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) berdiri pada 10 November 1945, menurut Norman Joshua Soelias dalam Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950 (2016), Sudisman termasuk menjadi salah satu pendirinya. Ia mendirikan Pesindo bersama Wikana, Ruslan Widjajasastra, Krissubanu, dan lainnya.
Pesindo kemudian menjadi organ pemuda yang sangat berpengaruh. Setelah Kongres III Pesindo pada 12 November 1950, Pesindo kemudian berganti nama menjadi Pemuda Rakyat (PR). Organisasi pemuda itu belakangan menjadi onderbouw PKI dan ikut kena gulung setelah 1965.
Di awal-awal revolusi, Sudisman, menurut Harry Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak (2011), menjadi salah satu pemimpin PKI ilegal bersama Amir Sjarifuddin, Maruto Darusman, Wikana, Abdulmadjid, Setiadjit dan lainnya. Menurut Soe Hok Gie, dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, dalam susunan organisasi yang dibentuk pada 1948 setelah Musso kembali dari Eropa, Sudisman masuk ke dalam struktur PKI di seksi organisasi. Menurut pengakuannya sendiri, seperti terbaca dalam Pleidoi Sudisman: & Statement politiknya menyon[g]song eksekusi (2001), Sudisman menjadi Kepala Organisasi Central Comite (CC) alias pengurus pusat PKl.
Kedatangan Musso memang mengubah secara dramatis jalan perjuangan PKI. Partai tersebut dalam posisi terpukul setelah Amir meletakkan jabatan sebagai Perdana Menteri karena dinilai memberi konsesi terlalu banyak kepada Belanda dalam Perjanjian Renville. Musso datang bukan hanya untuk mengambil alih PKI, namun juga mendorong PKI mengambil jalan yang lebih radikal dan memuncak pada peristiwa Kudeta Madiun 1949.
Setelah 1948, PKI berantakan. Tak semua anggotanya terbunuh. Mereka yang berhasil lolos dari pembersihan membangun kembali partai itu. Termasuk Sudisman yang, pada 1950, "diangkat sebagai Sekretaris CC PKI.”
Di PKI (yang baru) inilah, di bawah kepemimpinan D.N. Aidit yang masih terhitung muda pada awal 1950an, Sudisman tampaknya begitu dipercaya untuk urusan organisasi. Ketika menjabat sebagai anggota Politbiro PKI, dia juga menjadi Anggota Departemen Organisasi PKI. Di luar urusan partai, Sudisman adalah anggota parlemen, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong-Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (DPRGR-MPRS).
Sudisman memilih menggunakan pengadilan untuk menjelaskan sikap PKI -- setidaknya mewakili empat kameradnya itu. Dan ia menyadari benar bahwa pledoinya akan menjadi dokumen sejarah. Kesadaran itulah yang membimbingnya untuk memanfaatkan "panggung" Mahmilub dengan sebaik mungkin.
“Kekuatan-kekuatan kontra-revolusioner dalam waktu singkat telah berhasil memukul dengan menimbulkan kerusakan-kerusakan berat pada PKI, mengharuskan kita yang masih bisa meneruskan perjuangan revolusioner ini untuk melakukan kritik dan otokritik sebagai satu-satunya cara yang tepat untuk bisa menemukan kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan baik di bidang teori, politik dan organisasi, dan kemudian memperbaikinya,” tulis Sudisman pada September 1966 dalam Otokritik-selaku Politbiro PKI.
Namun, niat Sudisman untuk memperbaiki partai harus dikubur dalam-dalam. Pada pengujung 1966, tepatnya pada 6 Desember, ia tertangkap. Sudisman ditahan di dalam sel berukuran 2,20 x 3,60 meter. Sudisman setidaknya kemudian mengalami 14 kali pemeriksaan, jika dihitung mencapai 70 jam.
Penjara bukan barang baru baginya. Waktu muda dulu, dia pernah dipenjara pemerintah kolonial karena persdelict. Kali ini tuduhan yang dikenakan padanya adalah, menurut harian Angkatan Bersenjata (edisi 6 Juli 1967, “[...] mempersiapkan kup Gestapu PKI, dan usaha tertuduh menyusun kembali partai PKI […] tertuduh pada bulan Februari-Maret – April – Mei 1966 di daerah Jakarta Raja melakukan kegiatan jang bersifat merongrong usaha pemulihan keamanan dan ketertiban.”
Sudisman tidak menyangkal keterlibatannya dalam G30S yang menculik dan membunuh para jenderal Angkatan Darat. Di persidangan secara terbuka dia mengatakan: “Saya sendiri terlibat dalam G30S, tetapi PKI sebagai Partai tidak terlibat dalam G30S.”
Membela partai memang kewajiban kader. Dan bukan sekali ini saja Sudisman melakukannya. Pada 1951, tiga tahun setelah peristiwa berdarah Kudeta Madiun 1948, ia pun membela PKI. dengan nama samaran Mirajadi, ia menulis uraian berjudul "Tiga Tahun Provokasi Madiun" di surat kabar Bintang Merah. Melalui artikel itu, lagi-lagi, Sudisman membela PKI yang -- baginya -- sama sekali tidak bersalah dalam peristiwa di Madiun. Ia menganggap Madiun 1948 sebagai provokasi pemerintahan Hatta.
Sudisman berencana menggunakan pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk mengutarakan pikiran-pikirannya tentang G30S. Namun, rencana itu gagal. Pada pengadilan yang berlangsung pada 21 Juli 1967, seperti ia uraikan dalam Uraian Tanggung Jawab, “Sungguh sayang bahwa sidang-sidang Mahmilub yang mengadili perkara saya ini tidak disiarkan oleh RRI seperti halnya dengan sidang-sidang Mahmilub yang lalu sejak mengadili perkara saudara Dokter Subandrio.”
Baginya, gerakan yang tak melibatkan massa rakyat seluruh pendukung PKI se-Indonesia hanyalah sebuah avonturisme (petualangan politik) petinggi partai. Para petinggi PKI, kata Sudiman, “Tanpa mengindahkan ketentuan-ketentuan organisasi melibatkan diri ke dalam G30S yang tidak berdasarkan kesadaran dan keyakinan yang tinggi massa Rakyat.”
G30S nyatanya menjadi jalan yang justru menghancurkan PKI. G30S, kata Sudisman, “telah menyebabkan terpencilnya partai dari massa rakyat. Kalau sudah jauh dari massa rakyat, yang harusnya jadi pendukung utama PKI, maka habis sudah PKI."
Jejak Sudisman Sebelum 1965
Sudisman yang terpelajar ini bukan orang baru di PKI. Setidaknya ia termasuk bagian dari jaringan kelompok PKI ilegal seperti Amir Sjarifuddin di zaman pendudukan Jepang. Mereka hanya bisa bergerak di bawah tanah.Menurut catatan Ben Anderson, dalam Revolusi Pemoeda (1989), “Pada 1939 ia mewakili Persatuan Pemuda Indonesia Surabaya (Perpis) dalam Kongres Pemuda III di Yogyakarta. Pada tahun 1940 ia menjadi wakil ketua Indonesia Muda cabang Surabaya.”
Selain itu, dia aktif dalam organisasi kebudayaan Jawa dan dalam organisasi pimpinan Amir Sjarifuddin, Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Menurut AM Hanafi, dalam A.M. Hanafi Menggugat(1998), Sudisman adalah Ketua Barisan Pemuda Gerindo cabang Surabaya.
Di masa kolonial, ia pernah mengelola dan menerbitkan jurnal bacaan radikal bernama Tamparan bersama kawannya, Tjoegito. Dia sempat ditahan sebentar pemerintah kolonial menjelang kedatangan Jepang. Ketika PKI bergerak di bawah tanah dan ilegal di zaman Jepang, Sudisman pernah dijatuhi hukuman penjara 8 tahun. Tentu saja hukuman itu tak dijalaninya selama itu karena Jepang sendiri hanya berkuasa kurang dari 4 tahun dan Indonesia merdeka pada 1945.
Setelah bebas, dia menjadi pimpinan Pemuda Republik Indonesia (PRI) dan juga anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) Jawa Timur. Ketika organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) berdiri pada 10 November 1945, menurut Norman Joshua Soelias dalam Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950 (2016), Sudisman termasuk menjadi salah satu pendirinya. Ia mendirikan Pesindo bersama Wikana, Ruslan Widjajasastra, Krissubanu, dan lainnya.
Pesindo kemudian menjadi organ pemuda yang sangat berpengaruh. Setelah Kongres III Pesindo pada 12 November 1950, Pesindo kemudian berganti nama menjadi Pemuda Rakyat (PR). Organisasi pemuda itu belakangan menjadi onderbouw PKI dan ikut kena gulung setelah 1965.
Di awal-awal revolusi, Sudisman, menurut Harry Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak (2011), menjadi salah satu pemimpin PKI ilegal bersama Amir Sjarifuddin, Maruto Darusman, Wikana, Abdulmadjid, Setiadjit dan lainnya. Menurut Soe Hok Gie, dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, dalam susunan organisasi yang dibentuk pada 1948 setelah Musso kembali dari Eropa, Sudisman masuk ke dalam struktur PKI di seksi organisasi. Menurut pengakuannya sendiri, seperti terbaca dalam Pleidoi Sudisman: & Statement politiknya menyon[g]song eksekusi (2001), Sudisman menjadi Kepala Organisasi Central Comite (CC) alias pengurus pusat PKl.
Kedatangan Musso memang mengubah secara dramatis jalan perjuangan PKI. Partai tersebut dalam posisi terpukul setelah Amir meletakkan jabatan sebagai Perdana Menteri karena dinilai memberi konsesi terlalu banyak kepada Belanda dalam Perjanjian Renville. Musso datang bukan hanya untuk mengambil alih PKI, namun juga mendorong PKI mengambil jalan yang lebih radikal dan memuncak pada peristiwa Kudeta Madiun 1949.
Setelah 1948, PKI berantakan. Tak semua anggotanya terbunuh. Mereka yang berhasil lolos dari pembersihan membangun kembali partai itu. Termasuk Sudisman yang, pada 1950, "diangkat sebagai Sekretaris CC PKI.”
Di PKI (yang baru) inilah, di bawah kepemimpinan D.N. Aidit yang masih terhitung muda pada awal 1950an, Sudisman tampaknya begitu dipercaya untuk urusan organisasi. Ketika menjabat sebagai anggota Politbiro PKI, dia juga menjadi Anggota Departemen Organisasi PKI. Di luar urusan partai, Sudisman adalah anggota parlemen, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong-Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (DPRGR-MPRS).
Mewakili Aidit, Njoto, Sakirman dan Lukman
Sudisman ditangkap pada 6 Desember 1966 di sekitar Tomang, kini masuk wilayah Jakarta Barat. Ia sedikit "beruntung" karena tidak dipersekusi tanpa proses pengadilan. Sedangkan Aidit, Njoto, Sakirman dan Lukman dieksekusi tanpa proses hukum. Memang ada petinggi PKI lain, khususnya anggota Politbiro, yakni Njono, Peris Pardede, Muhammad Munir hingga Oloan Hutapea (yang terakhir dieksekusi pada 1968). Namun tampaknya Sudisman tidak tahu persis apa yang terjadi dengan yang lain, sehingga bisa dimengerti jika ia mencoba mengambil tanggungjawab.Sudisman memilih menggunakan pengadilan untuk menjelaskan sikap PKI -- setidaknya mewakili empat kameradnya itu. Dan ia menyadari benar bahwa pledoinya akan menjadi dokumen sejarah. Kesadaran itulah yang membimbingnya untuk memanfaatkan "panggung" Mahmilub dengan sebaik mungkin.
Ia berkata dengan jelas: "Saya dengan mereka [Aidit, Njoto, Lukman, Sakirman] membangun kembali PKI sejak tahun 1951, dari kecil menjadi besar, dari berpolitik salah menjadi berpolitik benar, dari terisolasi menjadi berfront luas, dari kurang belajar teori menjadi mulai belajar teori Marxisme – Leninisme, dan karena tidak menguasai teori Marxisme – Leninisme secara kongkrit kemudian berakhir terpelanting dalam kegagalan’ G-30-S yang membawa kerusakan berat pada PKI."
Ia menampik keterlibatan PKI sebagai organisasi dalam G30S. Akan tetapi, kata Sudisman, "Saya pribadi terlibat dalam G-30-S yang gagal. Kegagalan ini berarti pula kegagalan saya dalam memimpin PKI, sehingga mendorong menjadi unggulnya pihak lawan politik PKI."
Baginya sangat jelas: G30S adalah kesalahan fatal yang dari sanalah PKI harus ikut-ikutan memikul akibatnya. Dan untuk semua akibat fatal itu, bagi Sudisman, seluruh pemimpin PKI harus memikul tanggungjawab.
"Kalau pimpinannya baik dan beres seharusnya hal seperti itu tidak terjadi," demikian Sudisman melakukan otokiritik.
Dan sebagai satu-satunya petinggi PKI yang masih hidup, ia memikul tanggungjawab untuk -- termasuk -- mewakili empat kameradnya yang lain. Katanya: "Mereka berempat adalah saya, dan saya adalah mereka berempat, sehingga solidaritas Komunis mengharuskan saya untuk menunggalkan sikap saya dengan mereka berempat dan memilih 'jalan mati'."
Untuk itulah ia menyatakan: “Bagaimana pun juga, sebagai pimpinan tertinggi yang masih hidup, saya memakai kesempatan ini untuk meminta maaf atas apa yang terjadi.”
Ia divonis bersalah dan dijatuhi hukuman mati. Eksekusinya dilakukan pada tahun yang sama, 1967.
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar