Editor : Puji Utami | Senin, 02 Oktober 2017 09:33
Warga menyaksikan menyaksikan film dokumenter "Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal!" sebelum pemutaran film Pengkhianatan G30S, di Jalan Puring RT 2 RW 4 Kelurahan Purbalingga Kidul, Kecamatan Purbalingga, Purbalingga, Sabtu (30/9) malam. ©2016 Merdeka.com
Jawa Tengah - Tak seperti pemutaran film
"Pengkhianatan G 30S/PKI" di kota lainnya, kampung yang menjadi
markas pegiat film Purbalingga ini juga memutar tiga film bertema korban 1965.
Pemutaran yang digelar di tengah Jalan Puring RT 2 RW 4 Kelurahan Purbalingga
Kidul, Kecamatan Purbalingga, Purbalingga, Sabtu (30/9) malam.
Pemutaran yang diinisiasi warga dan Cinema Lovers Community (CLC)
Purbalingga ini memutar film fiksi garapan pelajar SMA 1 Rembang Purbalingga,
"Ijinkan Aku Menikahinya" dan film dokumenter "Kami Hanya
Menjalankan Perintah, Jenderal" serta "Luka di Tanah Merah"
garapan CLC Purbalingga dan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Purwokerto.
Film-film ini diputar sebelum film Pengkhianatan G30S/PKI arahan sutradara
Arifin C Noer. Anak-anak hingga orang dewasa tampak serius menyaksikan film
tersebut.
"Sesuai kesepakatan, dengan warga untuk sesi awal, kami memutar
film-film karya pelajar Purbalingga," kata Direktur CLC Purbalingga, Bowo
Leksono, sebelum pemutaran.
Film fiksi berjudul ''Ijinkan Aku Menikahinya'' yang disutradarai Raeza
Raenaldy produksi Gerilya Pak Dirman Film ini berkisah tentang asmara seorang
tentara bernama Suryono yang akan menikahi seorang bidan, Suryati. Namun karena
kakek Suryati seorang mantan tahanan politik (eks-tapol) sehingga atasan
Suryono tak mengizinkan mereka menikah.
Film dokumenter ''Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal!'' sutradara
Ilman Nafai produksi Gerilya Pak Dirman ini menampilkan kisah tiga mantan
pasukan Cakrabirawa semasa hidupnya. Mereka sempat dipenjara selama masa
pemerintahan Orde Baru.
"Uniknya, sutradara kedua film itu sempat mendapat intimidasi dari
aparat dan pihak sekolah. Dampaknya, ekstrakurikuler sinematografi di SMAN
Rembang Purbalingga pun dibekukan tak lama setelah film ini menyabet sejumlah
penghargaan festival film," tutur Bowo.
Sedikit berbeda, film dokumenter "Luka di Tanah Merah"
mengisahkan penderitaan masyarakat karena konflik tanah seluas 12 ribu hektar
yang melibatkan sekitar 17 ribu kepala keluarga di Cilacap Barat yang sudah
berlangsung puluhan tahun. Peristiwa ini erat kaitannya antara perampasan tanah
rakyat oleh Negara dengan peristiwa pemberontakan yang sering distigmakan pada
rakyat.
Hujan sempat membuyarkan konsentrasi warga yang sedang menonton. Demikian
pula ketika film keempat diputar, anak-anak sekolah pun mulai pulang ke rumah
masing-masing.
"Ini juga kesepakatan dengan warga, film Pengkhianatan G30 S diputar
lebih dari pukul 21.00 agar anak-anak usia 17 tahun ke bawah lebih memilih
untuk beristirahat. Film ini kategorinya dewasa, karena ada beberapa adegan
kekerasan dalam film tersebut," tambah Bowo.
Usai pemutaran, salah satu warga Heri Sukmantoro mengatakan, nonton bareng
film ini merupakan upaya untuk mempelajari sejarah. Tujuannya agar warga
terutama pemuda bisa menjauhi paham komunis dan radikal. Dia juga mengakui baru
pertama kali menonton film tentang resimen Cakrabirawa.
"Kalau tentang mantan Cakrabirawa ini saya tidak tahu. Dari cerita
orang tua, kondisi waktu itu ya seperti di film itu. Saya ada yang kenal juga
salah satu narasumber dalam film garapan CLC ini," ujar pria yang bertugas
sebagai seksi keamanan ini. (suk)
Sumber: Merdka.Com
0 komentar:
Posting Komentar