19 JULI 2016 | 11:24
Sementara Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat, ada 25 juta keluarga Indonesia yang tidak bisa membeli rumah. Nah, kalau asumsikan rata-rata satu keluarga terdiri dari 4 orang, berarti hampir 40 persen rakyat Indonesia yang tidak sanggup membeli rumah.
Padahal, perumahan adalah hak dasar rakyat. Itu hak konstitusional warga negara. Sebab, tanpa tempat tinggal yang layak, tidak mungki ada penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2 UUD 1945).
Apalagi, sejak awal bangsa ini mencita-citakan masyarakat adil makmur alias sosialisme. Sosialisme menghendaki rakyat hidup adil-makmur dan bermartabat. Kalau rakyat masih sengsara, tinggal di bawah kolong jembatan, itu bukan sosialisme.
“Keadaan orang yang masih diam di bawah jembatan adalah satu tamparan kepada peradaban,” kata Bung Hatta dalam risalahnya yang masyhur, Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia (1963).
Menurut Bung Hatta, Negeri yang mau menjadi sosialis tidak mentolerir keadaan rakyatnya tanpa rumah. Karena itu, kerja membangun perumahan rakyat merupakan salah satu prioritas pembangunan masyarakat sosialis.
Disini Bung Hatta bicara tentang politik perumahan sosialis. Politik perumahan sosialis berpijak pada dua hal. Pertama, memastikan seluruh rakyat bisa punya rumah/tempat tinggal. Untuk itu, pembangunan rumah harus digenjot agar bisa menampung seluruh rakyat. Disamping itu, rumah itu harus bisa dimiliki dengan mudah oleh rakyat.
Kedua, rumah rakyat harus memberikan hidup yang bercahaya bagi penghuninya. Dengan begitu, rakyat lebih merasa bermartabat sebagai manusia. Tentu saja, rumah itu minimal harus punya ruang tamu, kamar, kamar mandi, WC, ruang dapur, dan halaman. Dan jangan lupa, lingkungan sosialnya harus mendukung kehidupan sosial yang lebih baik.
“Membuat rumah asal ada saja, tidak sesuai dengan tuntutan itu (sosialisme Indonesia),” kata Bung Hatta.
Bagaimana mewujudkan politik perumahan sosialis ini? Tentu tidak gampang. Apalagi untuk Indonesia dengan penduduknya yang berjumlah 250-an juta. Kekurangan rumah (backlog) untuk sekarang saja masih 13,5 juta unit. Sementara tiap tahun Indonesia dipaksa menyediakan 800.000-920.000 rumah baru. Benar-benar tidak gampang!
Sebetulnya Bung Hatta punya ide cemerlang. Pertama, untuk daerah pedesaan, persoalan perumahan itu bisa diatasi dengan tradisi gotong-royong. Artinya, pembangunan rumah bisa diatasi dengan cara bergotong-royong. Tetapi itu dulu, di eranya Bung Hatta, sekarang gotong-royong mulai memudar di desa.
Kedua, Bung Hatta menghendaki ada pemecahan soal harga rumah, sehingga rakyat manapun, termasuk yang paling kere sekalipun, bisa membeli rumah. Artinya, harga rumah harus disesuaikan dengan daya beli masyarakat umum. Untuk soal ini, saya kira, ada kaitannya dengan politik pengupahan.
Pertanyannya, sudah gagasan Bung Hatta ini dijalankan? Di Indonesia, tentu saja, belum! Politik perumahan di negeri kita masih sangat berorientasi kapital, mengejar untung. Akibatnya, pembangunan tempat hunian sekedar untuk melayani kelas menengah dan elit. Jadinya, harga rumah pun sangat mahal.
Risal Kurnia
Sumber: BerdikariOnline
0 komentar:
Posting Komentar