Selasa, 19 Juli 2016

5 Kesaksian Tentang Penyiksaan Sadis Tahanan Politik Perempuan 1965 yang Bikin Mengelus Dada


Destriyana 


Tragedi 1965 dianggap sebagai salah satu kejahatan genosida paling mengerikan dalam sejarah dunia. Meski begitu, pemerintah tampaknya belum mau membuka ke publik tentang apa yang sebenarnya terjadi pada masa itu. Benarkah para jenderal itu diculik oleh Gerwani? Benarkah Gerwani menyiksa para jenderal sambil menari tanpa sehelai pakaian pun??

Sayangnya, semua informasi itu masih ditutup-tutupi sampai sekarang. Dan entah kapan akan dibuka seterang-terangnya ke masyarakat. Untuk itu, berikut adalah beberapa kesaksisan eks tapol perempuan dalam tragedi 1965, yang telah dirangkum secara apik dalam buku Suara Perempuan Korban Tragedi ’65 karya Ita F. Nadia.

1.    Rusminah, Istri Aktivis PKI

Dalam buku berjudul Suara Perempuan Korban Tragedi ’65, Ita F. Nadia yang dikenal sebagai aktivis HAM dan perempuan menggambarkan bagaimana kejamnya penyiksaan yang diterima oleh Bu Rusminah, yang notabenenya hanyalah seorang ibu rumah tangga, yang kebetulan saja saat itu suaminya aktif di organisasi komunis.

Rusminah, Istri Aktivis PKI [ Image Source ]

Tanpa tedeng aling-aling, Rusminah yang tidak tahu-menahu di mana suaminya, karena sudah lama tidak pulang dan memberi kabar, digeret paksa ke dalam mobil. Rusminah sempat ditahan di sebuah pos polisi di Gurah, lalu dipindahkan ke Kodim Kediri. Di sana, dia tidak hanya diinterogasi tentang keberadaan sang suami, namun juga dipaksa melayani nafsu bejat para tentara.

Setiap malam, Rusminah diperintahkan menuju pos penjagaan untuk memijat para tentara yang kebagian jatah piket malam. Tentu saja yang dimaksud bukan cuma memijat, melainkan memuaskan kebutuhan ragawi para penjaga. Saking banyaknya tentara yang harus dia layani, Rusminah bahkan tidak bisa mengingat satu-persatu wajah mereka.

2.    Partini, Mantan Anggota Gerwani

Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) menjadi salah satu bagian penting dalam tragedi 1965. Pada Kup 1 Oktober 1965, organisasi perempuan ini dituduh menyiksa dan membunuh para jenderal. Namun, benarkah itu yang terjadi di lapangan? Partini, seorang mantan anggota Gerwani, telah menceritakan apa yang terjadi pada dirinya dan teman-temannya yang lain selama tragedi itu.

Partini, Mantan Anggota Gerwani [ Image Source ]

Kepada Ita F. Nadia, Partini mengaku mulai aktif Gerwani pada usia 15 tahun. Karena keterbatasan biaya, setelah tamat SMP, dia tidak melanjutkan sekolah. Sejak itu, dia pun aktif di Gerwani. Ketika tragedi 1965 pecah, Partini baru saja melahirkan putrinya. Dua hari setelah itu, sekelompok tentara menangkapnya atas tuduhan membunuh para jenderal.

Bersama perempuan-perempuan lain yang ikut ditahan dengannya, Partini mengaku sering mendapatkan perlakuan tak senonoh, seperti dipukul hingga dilecehkan dengan tidak patut secara bergiliran. Padahal saat itu dia dalam kondisi baru saja melahirkan, sehingga tentunya masih mengalami pendarahan. Namun, para tentara itu sekakan tak peduli dengan kondisi Partini yang lemah. Mereka malah asyik menidurinya secara bergiliran setiap malam, meski kala itu Partini terus mengeluarkan darah.

3. Yanti, Mantan Anggota Pemuda Rakyat

Kesaksian Yanti telah membuat masyarakat marah pada semua orang yang berkaitan dengan PKI. Namun, sebuah fakta mencengangkan kemudian terkuak setelah pengakuan Yanti yang terjadi pada tahun 1965 silam. Ketika ditangkap, Yanti baru berusia 14 tahun.

Di luar kegiatan sekolah, Yanti mengaku masuk ormas pemuda, yakni Pemuda Rakyat. Lalu pada suatu hari, seorang teman mengajaknya ikut latihan sukarelawan di kampung Lubang Buaya, Jakarta Timur. Latihan itu merupakan jawaban untuk perintah Presiden Soekarno yang menyerukan Ganyang Malaysia.

Yanti, Mantan Anggota Pemuda Rakyat [ Image Source ]

Setelah berlatih sebulan-dua bulan, Yanti sendiri tidak begitu ingat. Tiba-tiba pada suatu pagi, barak-barak penginapan yang ditinggalinya bersama sukarelawan lain, yang semuanya wanita, diserang para tentara. Sambil menodongkan senjata, para tentara itu menyeret Yanti dan teman-temannya ke tengah lapangan, lalu memerintahkan mereka untuk menanggalkan semua pakaian yang dikenakan.

Selama ditahan, Yanti dan perempuan lainnya sering menerima perlakuan biadab, seperti digauli beramai-ramai, disetrum dalam kondisi tanpa sehelai benangpun, serta dipukuli. Seakan siksaan itu belum cukup, Yanti bahkan dipaksa mengatakan “iya” untuk setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh wartawan.

4. Maryati, Mantan Anggota Gerwani

Maryati bukan cuma korban, namun juga saksi mata kekejaman tragedi 1965. Dia yang sedari muda sudah aktif Gerwani, lalu menikah dengan seorang pria yang tercatat sebagai anggota PKI di Solo. Keduanya hidup bahagia, sampai suatu hari Maryati ditangkap paksa dan dibawa ke kamp Ambarawa.

Maryati, Mantan Anggota Gerwani [ Image Source ]

Di situlah, semua penyiksaan terhadapnya dimulai. Selain digauli bergiliran, Maryati juga sering disiksa dengan cara disetrum. Seutas kabel yang telah disambungkan ke sebuah generator diberi semacam cincin tembaga yang diletakkan pada bagian-bagian tubuh yang sensitif, termasuk organ vital.

Bahkan pernah suatu malam, Maryati dipaksa ‘melayani’ 12 orang sekaligus. Alhasil, dia pun sempat tak sadarkan diri. Belum lagi, jatah makan yang diberikan kepada para tahanan sangat tidak layak. Selama ditahan, Maryati hanya diberi beberapa sendok nasi, sepotong tempe, dan sayur yang mau basi. Sebagian besar yang masih hidup di penjara dapat bertahan dengan mengandalkan makanan kiriman dari keluarga mereka.

5. Sukarti, Mantan Anggota Pemuda Rakyat

Sukarti adalah salah satu mantan anggota Pemuda Rakyat di Malang. Namun setelah menikah, dia ikut pindah ke Medan bersama suaminya, yang seorang aktivis serikat buruh. Tak jarang, Sukarti juga ikut dalam rapat-rapat yang dihadiri oleh suaminya. Hingga kemudian dia pun sering terlibat dalam kegiatan Gerwani. Meski begitu, Sukarti bukanlah anggota Gerwani.

Kemudian saat tragedi 1965 meletus, Sukarti yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang penculikan para jenderal, tiba-tiba dikepung di rumahnya. Para pemuda itu tidak hanya mengobrak-abrik rumahnya, namun juga melampiaskan nafsu mereka secara bergiliran. Seakan kurang puas atas tindakan itu, mereka kemudian mengarak tubuh Sukarti yang masih dalam telanjang, menuju kantor polisi.

Sukarti, Mantan Anggota Pemuda Rakyat [ Image Source ]

Bersama beberapa tahanan perempuan lainnya, Sukarti lantas dipindahkan ke Tanjung Gusta. Di tempat itu, dia akhirnya bisa bertemu sang suami. Namun, siksaan terhadapnya seolah belum mau putus. Pernah suatu malam, Sukarti dibawa masuk ke sebuah kamar dan digauli secara bergiliran di depan suaminya.

Setelah dipaksa melihat perilaku biadab itu, suami Sukarti juga diperintahkan untuk menggauli istrinya di depan para tentara tersebut. Tentu saja, dia tidak mau, hingga akhirnya mereka berdua disiksa sampai berdarah-darah. Karena pemerkosaan yang berulang itu, Sukarti bahkan sempat hamil sebanyak dua kali.

Terlepas dari apa pun alasan yang hendak dipakai untuk membenarkan penangkapan mereka, sejatinya keadilan harus ditegakkan dengan sebenar-benarnya. Jangan asal tangkap, kemudian dibui tanpa melalui proses hukum.

0 komentar:

Posting Komentar