Senin, 02 Oktober 2017

Ketabahan Seorang Istri Pengawal Sukarno

Pengawal paling awal Sukarno ditahan tanpa diadili. Dilabeli PKI membuat keluarganya dikucilkan.


Siti Prihatin bin Djajamisastra, istri Komisaris Besar Mangil Martowidjojo, komandan Detasemen Kawal Pribadi Presiden Sukarno, dan anak bungsunya, Teguh Mangil. 
Foto

SITI Prihatin bin Djajamisastra hanya bisa berbaring di tempat tidur. Sesekali nafasnya sesak. Diagnosa dokter mengatakan dia terkena pembengkakan jantung. Selain itu, “karena ibu sudah sepuh, dokter bilang tenggorokannya mengecil,” kata Tuti, putri kedua Prihatin, kepada Historia, 19 Septemer lalu. "Jadi makannya kalo nggak bubur ya nasi halus."
Prihatin, 88 tahun, menghabiskan sebagian besar waktunya untuk tidur. 
“Kalo malem melek, minta ditemani terus cerita,” kata Sarah, putri Prihatin yang lain. Selain menanyakan kabar orang-orang terdekatnya, Prihatin masih suka bercanda ketika terbangun. “Coba ditulis, Ibu Mangil sekarang sudah tua,” katanya sambil tertawa.
Kondisi Prihatin berbeda jauh dari setahun lalu saat Historia menemuinya untuk kali pertama. Waktu itu dia masih kuat berjalan, mengobrol lama, dan bahkan membaca. “Cuma pendengarannya sekarang sudah kurang,” kata Teguh Mangil, anak bungsu Prihatin. Selain menceritakan kesibukan sehari-harinya kala itu, dia juga cerita singkat perjalanan hidupnya termasuk ketika masa-masa sulit menimpa keluarganya.

Sebagai istri Komisaris Besar Mangil Martowidjojo, komandan Detasemen Kawal Pribadi yang mengawal Presiden Sukarno sejak Indonesia hijrah ke Yogyakarta, Prihatin ikut tertimpa bencana setelah Prahara 1965. Tak lama setelah peristiwa itu berlangsung, pengejaran, pembunuhan, dan pengucilan terhadap orang-orang komunis atau yang dituduh komunis berlangsung. Namun, di lapangan pemburuan tak hanya menyasar orang-orang komunis tapi juga orang-orang nasionalis dan Sukarnois.

Mangil salah satu orang nonkomunis yang kena sasar. Kedekatannya dengan Presiden Sukarno membuat lawan politik presiden menganggapnya sebagai target yang perlu disingkirkan. Dia ditahan di Budi Utomo tanpa proses hukum pada akhir 1966. Gaji pun langsung berhenti.
Penahanan itu membuat Prihatin harus berjuang seorang diri meneruskan kelangsungan keluarga. “Karena sebelumnya kan sumber nafkah cuma dari bapak. Nah bapak ditahan, otomatis sumber itu hilang. Jadi ibu yang harus (menjadi sumber, red.),” kata Teguh Mangil.
Prihatin langsung putar otak. Taplak dan kerajinan jahitan lain lalu menjadi pilihannya untuk mencari nafkah guna menghidupi kelima anaknya yang masih kecil-kecil. 
“Terus nanti Mbak Tuti yang keliling jualin dagangannya, saya masih kecil,” kenang Sarah, putri terkecil Prihatin, sambil berkaca-kaca. Tapi Prihatin tak hanya mengandalkan kedua anaknya yang sudah remaja, dia sendiri ikut keliling menjajakan dagangannya.
Berbeda dari pedagang pada umumnya, Prihatin dan kelima anaknya harus menempuh jalan yang lebih sulit akibat adanya stigma negatif yang diberikan oleh lawan-lawan politik Sukarno. 
“Bapak saya bukan PKI tapi dituduh PKI. Saya ingat banget deh, waktu itu di Tanah Abang II di jembatan itu tulisannya ‘Mangil PKI’,” kata Sarah sedih.
Pelabelan negatif itu tak hanya mempengaruhi niaga Prihatin tapi juga kehidupan keluarganya. Banyak orang yang mengucilkan Prihatin dan anak-anaknya. 
“Kita dulu (jadi) nggak punya teman ya. Orang pada takut, saudara juga pada takut,” lanjut Sarah. 
Tuti, putri kedua Prihatin, bahkan sampai harus pindah sekolah dari Perguruan Cikini ke sebuah sekolah di bilangan Kota demi keamanan diri dan kelanjutan pendidikannya.
“Saya pun demikian. Waktu jamannya saya mau kerja di Arco, harus di-screening bebas G30S/PKI. Saya kan takut juga jadinya. Terus anak buahnya bapak nemenin saya untuk screening ke Pertamina. Untungnya orang (Pertamina) itu tau, jadi nggak masalah,” ujar Sarah.
Ketika Prihatin dan anak-anaknya menjenguk Mangil di Budi Utomo, mereka mendapat perlakuan yang amat tak sopan dari para serdadu yang menjaga. 
“Saya masih inget kalau mau besuk anter makanan, rantangnya diobok-obok pakai bayonet. Bayonetnya mending bersih, karatan. Diubek-ubek sayurnya, nasinya. Pepaya juga dibelah,” kenang Sarah. “Buat saya (isu kebangkitan) PKI sesuatu yang sangat menyakitkan.”

Tapi, permata tetaplah permata meski ia dikubur dalam kubangan lumpur. Keluarga Mangil merupakan keluarga baik di mata banyak orang yang mengenal. Merekalah yang bersimpati dan mendukung langkah Prihatin. Hal itu menjadi berkah bagi Prihatin dan kelima anaknya. Dagangan mereka semakin hari semakin banyak yang membeli. 
“Kalau mau lebaran, pesanan makin banyak,” kata Sarah.
Keadaan berangsur membaik. Setelah Mangil dibebaskan pada 1970 dan namanya direhabilitasi lalu pangkatnya dinaikkan, keluarga mereka kembali utuh seperti sebelum prahara. Prihatin tetap aktif. Sampai di usia senjanya, dia rajin mendatangi acara kumpul-kumpul ibu-ibu pensiunan DKP, terutama arisan. 
“Terakhir masih ada tiga apa empat yang ikut. Tapi karena sekarang ibu sudah nggak bisa, jadi berhenti arisannya,” kata Sarah.
Kini, Prihatin sudah lemah di usianya yang menjelang 90. Meski beban berat pernah menimpa keluarganya akibat ulah para avonturir politik, Prihatin tak sedikit pun menaruh dendam kepada mereka. Dia ikhlas menerima kenyataan yang ada. Keikhlasan itu pula yang mungkin membuatnya melarang anak-anaknya membukukan catatan pribadi Mangil semasa di tahanan. 
“Yang dulu sudah diikhlaskan saja biar plong,” ujar Prihatin sambil tersenyum, ketika ditemui Historia sekira setahun lalu.

Sumber: Historia 


0 komentar:

Posting Komentar