Senin, 02 Oktober 2017

Pengakuan Anak Tapol 65, Sempat Menganggap Ayahnya Jahat (Bagian 2)

Senin, 02 Okt 2017 13:02 WIB
Quinawati Pasaribu


"Saat itu pemahaman gue, ohh... ternyata bokap salah satu dari penjahat-penjahat yang harus dimusuhi atau dimusuhi semua orang."
Ratrikala Bhre Aditya, anak dari Tedjabayu Sudjojono. Foto: Istimewa

Jakarta - Ratrikala Bhre Aditya (31 tahun) harus mewarisi luka dari dua orang sekaligus. Neneknya, Mia Bustam, diasingkan ke Kamp Plantungan di Jawa Tengah lantaran disangka anggota dan pendukung PKI, persisnya sebagai Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Yogyakarta. 
Ayahnya, Tedjabayu Sudjojono, dibuang ke Pulau Buru, Provinsi Maluku karena aktif di organisasi pemuda Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang menolak perploncoan. 
Pencarian riwayat nenek maupun ayahnya, dimulai sejak Bhre berusia delapan tahun. Saat itu, Bhre kecil, tak dibolehkan ibunya menonton film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI rekaan Orde Baru.
"Saya dilarang oleh ibu menonton film G30S/PKI," akunya. 
Bhre lantas merengek, meminta penjelasan. Berkali-kali ibunya tak menggubris. Belakangan, ibunya luluh. 
"Saat itu ibu menyodorkan gue ke tempat tidur, terus dia cerita."

Dari ibunya, Bhre kecil tahu ayahnya sempat mendekam di Pulau Buru karena tersangkut peristiwa G30S. Cerita yang prematur itu, rupanya membuat Bhre justru membenci ayahnya. 
"Pemahaman gue, ternyata bokap salah satu dari penjahat-penjahat yang harus dimusuhi," ujarnya.
Tapi sang ibu buru-buru melengkapi cerita itu. "Biar ibu cerita lebih lengkap," kata Bhre menirukan ibunya.

Seketika, air mata Bhre meleleh. Ia akhirnya tahu, Sang Ayah hanya korban kekuasaan pemerintah Soeharto. Di kemudian hari, begitu bertemu ayahnya dari pengasingan, Bhre mendapat kisah utuh.
"Akhirnya bapak cerita lebih lengkap tentang apa yang terjadi di Pulau Buru." 
Ketika dewasa, Bhre, mulai menggali narasi lain tentang kejadian berdarah itu. Di antaranya lewat buku Pramoedya Ananta Toer berjudul Nyanyian Sunyi Seorang Bisu. 
Kepada KBR, Ratrikala Bhre Aditya --yang kemudian berprofesi sebagai filmmaker, berbincang tentang masa kanak-kanaknya dan apa yang dia lakukan untuk menemukan versi lain dari kejadian berdarah itu.  

Bagaimana ceritanya Kamu tahu kalau ayah seorang Eks Tapol? 
Pertama kali saya mengetahui latar belakang ayah sebagai eks tahanan politik Pulau Buru ketika kelas 3 SD. Saat itu adalah tahun ketiga di mana saya dilarang oleh ibu menonton film G30S/PKI. 
Tahun pertama, saya biarkan. Tahun kedua, saya biarkan. Tahun ketiga, saya harus lawan dengan kemarahan dan bertanya, 'Kenapa saya tidak boleh nonton itu?'. Karena teman-teman yang lain nonton. 
Lalu ibu menyodorkan gue ke tempat tidur. Dia cerita, 'Jadi apa yang ada di film tersebut, adalah penyebab kenapa bapak tidak memperbolehkan kamu menonton. Kenapa? Karena bapak tersangkut kejadian tersebut'. 

Tersangkut bagaimana? 'Bapak dipenjara selama 14 tahun. Masuk ke Pulau Buru. Semua orang yang ada di sana adalah orang-orang yang dipikir tersangkut terhadap peristiwa G30S'. 
Saat itu pemahaman gue, ohh ternyata bokap salah satu dari penjahat-penjahat yang harus dimusuhi atau dimusuhi semua orang. Dan gue agak marah mengetahui hal tersebut pertama kali.

Kenapa Kamu menyimpulkan kalau ayah adalah penjahat?
Berbicara pada anak umur kelas 3 SD tentu saja harus pelan-pelan ya. Saat kelas 3 SD itu cepat sekali mengambil kesimpulan. Kayaknya itu di lima belas menit pertama ketika ibu cerita, sebelum akhirnya ibu bilang, 'Tunggu dulu, biar ibu cerita lebih lengkap'. 
Dan ketika bokap pulang, gue peluk bokap di motor. Terus bokap bertanya, 'Ada apa?'. Akhirnya bapak cerita lebih lengkap tentang apa yang terjadi di Pulau Buru. 

Ayah kamu adalah anggota CGMI, ditangkap saat menjaga gedung Universitas Res Publica. Lalu ditahan di Wirogunan, Nusakambangan, hingga akhirnya dibuang ke Pulau Buru. Di sana para tapol mengalami penyiksaan dan kerja paksa. Apakah itu semua diceritakan?
Bokap itu tidak suka bercerita terlalu banyak tentang kekerasan yang dialami. Dia lebih banyak cerita tentang mengapa dia ditangkap, apa yang sebenarnya terjadi pada tahun 1965 tersebut. Apakah betul PKI itu jahat, apakah betul tentara saat itu baik. 
Dia tidak bisa bicara lebih kompleks tentang apa yang terjadi. Tapi cukup untuk membuat gue mengerti bahwa, ohh... bokap gue bukan orang jahat. Bokap gue hanya korban salah tangkap. 

Apakah menyandang anak Eks Tapol pernah mengalami stigma atau diskriminasi?
Hal yang tidak enak, tidak ada. Semuanya baik-baik saja. Saya berasal dari sebuah generasi yang pada dasarnya sudah bisa cukup menerima cap ET tersebut. Saya kebetulan disekolahkan di sekolah yang bagus. 
Bapak ibu saya sangat berhemat untuk bisa menyekolahkan saya di sekolah yang cukup mahal saat itu, yang membuat saya tidak pernah terdiskriminasi. Meski ada banyak sekali generasi saya, anak-nak tapol yang lainnya punya masalah dengan hal tersebut. Tapi saya beruntungnya tidak. 

Jadi orangtua tidak pernah melarang cerita, atau agar merahasiakan latar belakang ayah yang seorang Eks Tapol?
Mereka tidak pernah bilang pada gue. Bahwa kita harus hati-hati, ya. Memberi teror gitu. Enggak sih mereka. Orangtua cuma bilang, 'Ya kejadiannya kayak gini, kalau orang lain tahu konsekuensinya kira-kira begini. Ya sudah bapak sekarang tidak bisa pergi ke luar negeri karena status bapak. Kamu jangan berharap bisa bekerja sebagai pegawai negeri karena statusnya bapak'. 

Kepada siapa pertama kali menceritakan latar belakang ayah atau keluarga?
Saya tidak ingat kepada siapa pertama kali saya terbuka. Tapi sepanjang yang saya ingat, saya tidak pernah tertutup soal hal ini kepada siapa pun yang bertanya. 

Kalau ditanya pekerjaan ayah?
Saya jawab, 'Ayah saya kerja sebagai pustakawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Kantornya dimana? Di Jalan Diponegoro'. Jadi enggak pernah saya merasa bahwa ada hal yang perlu ditutupi, dari apa yang dilakukan oleh bapak.

Apakah sampai sekarang masih membicarakan atau ngobrol tentang peritiwa 30 September 1965 di keluarga?
Sebenarnya buat gue ini bukan tentang G30S saja. Bukan obrolan yang hanya diangkat tiap 30 September. Ini adalah pembicaraan tentang kemanusiaan. Jadi, kalau di rumah membicarakan ini sering? Ya tentu saja sering. Misalnya, bapak tiba-tiba ingat tentang satu kejadian lalu kita bahas. Dan bapak selalu terbuka.

Jadi masih sering diobrolin juga, peristiwa-peristiwa itu?
Saya pribadi sudah tidak terlalu banyak ngobrol. Kalau saya syuting, di antara sela-sela syuting ada waktu jeda gitu saya membuka handphone dan membaca tulisan ayah saya. Kadang-kadang saya bisa tertawa sendiri, atau menangis. Saya berpikir, orang-orang ini, termasuk ayah saya sangat-sangat kuat menghadapi semua hal yang mereka alami. 
Dan sekarang semua cerita dari ayah, entah itu baru atau sudah lama, dikumpulin untuk materi dijadikan sesuatu. Mungkin akan jadi memoar. Makanya saya minta ayah selesaikan tulisannya. Karena ketika dia meninggal, tugas sejarah ini selesai. 

Apakah dia masih mendendam, atau justru sudah memaafkan Soeharto?
Sebenarnya saya tahu dia memaafkan Soeharto itu waktu di acara Mata Najwa. Di acara itu dia cerita bahwa dia memaafkan Soeharto. Karena menurut dia Soeharto melakukan apa yang harusnya dia lakukan. Tapi entah kenapa, ke sini-sini bokap kayaknya lebih bisa menerima bahwa generasi dia adalah generasi yang kalah. Sudah tidak patut lagi dijadikan idola oleh generasi-generasi muda sekarang. 

Generasi sekarang masih dicekoki narasi tunggal tentang peristiwa 30 September 1965 buatan Orde Baru. Kalau untuk kamu, apa yang mesti generasi kini lakukan agar tahu bahwa ada narasi lain?
Mencapai sejarah murni itu tidak mudah, mungkin hampir tidak ada. Buat saya pribadi sejarah adalah sesuatu yang ditulis oleh pihak yang menang. Mencari kebenaran akan masa lalu itu tidak pernah mudah, tapi perlu dilakukan. Bahwa pelurusan sejarah itu perlu dikejar. Yang perlu disikapi sekarang oleh teman-teman yang lain adalah ketika mereka penasaran, cari tahu. Banyak ngobrol, cari informasi sendiri. Benar atau salah tidak usah pikirin sekarang. 

Kalau kamu sejak kapan mencari narasi lain dari insiden berdarah itu?
Saya tidak ingat betul kapan. Yang jelas saya mempelajari persoalan tersebut seumur hidup saya, semenjak kelas 3 SD. Setiap kali ada kesempatan, bapak selalu bercerita tentang kejadian yang ada di sana. Bukan kejadian yang kasar, tapi kejadian yang mungkin lucu. Lalu, praktis saya memilih teman-teman saya bergaul. 

Dari mana saja narasi lain itu, buku atau film?
Saat itu buku yang bisa dijadikan bahan acuan seperti Nyanyian Sunyi Seorang Bisu karya Pram. Itupun berupa catatan-catatan dia dan tidak berbicara terlalu banyak. Lebih banyak cerita dari bokap. 
Editor: Agus Luqman 

Sumber: KBR.ID 

0 komentar:

Posting Komentar