Senin, 02 Oktober 2017

Pengakuan Cucu Eks Tapol G30S: 32 Tahun Tak Tahu Kakeknya Dipenjara (Bagian 3)

Senin, 02 Okt 2017 15:23 WIB
Quinawati Pasaribu

"Ketika aku tanya spontan bapak jawab, 'Mbah kakung kan dipenjara'. Aku kaget banget. Syok."

Ika Krismantari. Foto: Istimewa

Jakarta - Ika Krismantari (35 tahun) tak pernah menyangka jika di tubuhnya mengalir darah seorang bekas tahanan politik peristiwa 1965. Padahal, hampir seumur hidupnya, ia begitu berjarak dengan kejadian berdarah itu. 
Dua tahun lalu, suatu hari di tahun 2015, ia baru tahu, kakeknya Sukadi dipenjara pemerintah Orde Baru selama sepuluh tahun di Ambarawa, Jawa Tengah, karena disangka mempersenjatai petani. 
"Ketika aku tanya, spontan bapak jawab, 'Mbah Kakung kan dipenjara'. Aku kaget banget. Syok," ucap ibu dua anak ini. 

Semua itu bermula dalam perjalanan ke Yogyakarta. Di dalam mobil, Ika iseng bertanya pada bapaknya tentang insiden setengah abad silam. Berharap, sang bapak punya kenalan untuk dijadikan bahan penelitian. 
Tanpa rikuh, bapaknya menjawab jika Sukadi --ayahnya, jadi korban keganasan Soeharto. 
"Mbah Kakung suka berburu. Kemudian dia menitipkan senjatanya ke penduduk setempat karena akan ke suatu tempat. Terus suatu ketika, dia berangkat kerja dan enggak pulang-pulang," ungkapnya.
Kala sang Kakek dijebloskan ke bui, keluarga limbung. Istri dan tujuh anaknya, kehilangan tulang punggung keluarga. 
Karena tak sanggup menghidupi semua anaknya, enam di antaranya dititipnya pada sanak famili. Sementara yang bungsu, tinggal bersama. 
Bagi Sukadi sekeluarga, itu adalah momen paling menyedihkan. Belum lagi, anaknya yang ketiga, harus menerima perundungan. "Dibilang anak PKI," tutur Ika.
Selama 32 tahun, tak pernah sekalipun Ika mendengar keluarga besarnya membicarakan masa lalu Sang Kakek. Satu-satunya informasi yang disampaikan adalah kakeknya bekas tentara. Barulah setelah di perjalanan menuju Yogyakarta itu, Ika 'menginterogasi' sang nenek. 
Kisah-kisah haru pun berhamburan dalam dialog dua generasi. 
"Aku sampai punya rekamannya untuk dokumentasi. Aku tahu gimana proses ketika kakek ditangkap. Terus aku tahu gimana mereka berdua ketemu di penjara," kata Ika.
Kepada KBR, Ika--berprofesi sebagai wartawan---bercerita tentang masa kanak-kanaknya dan apa yang dia lakukan untuk menemukan versi lain dari kejadian berdarah itu. 


Dari bapak, kamu baru tahu bahwa kakek Sukadi menjadi korban dari keganasan Soeharto. Bisa cerita?
Awalnya nggak sengaja sih. Waktu itu dalam perjalanan ke Yogjakarta sembari mengisi waktu di dalam mobil, kami ngobrol. Sebelumnya, temanku Prodita mau bikin penelitian tentang peristiwa 1965. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana peristiwa itu mempengaruhi generasi muda. 
Prodita juga tanya, apakah ada anggota keluargaku yang jadi korban. Saat itu aku jawab dengan pede, 'Kayanya sih aku enggak punya'. 
Dalam perjalanan ke Yogyakarta itu, aku iseng tanya ke bapak, siapa tahu dia punya kenalan yang tahu peristiwa 1965. Ketika aku tanya spontan bapak jawab, 'Mbah kakung kan dipenjara'. 
Aku kaget banget, syok. Kata bapak, 'Iya, sepuluh tahun di penjara Ambarawa'. Kok bisa sih aku enggak tahu selama ini. Akhirnya pelan-pelan aku tanya.  


Jadi apa dasar kakek ditangkap?
Mbah kakung itu suka berburu. Kemudian dia menitipkan senjatanya ke penduduk setempat karena akan ke suatu tempat. Suatu ketika, dia berangkat kerja dan enggak pulang-pulang. Mbah Putri bingung, kok enggak pulang-pulang. Waktu Mbah Putri menyusul ke kantor kakek, ternyata kakek sudah dibawa ke Ambarawa. 
Saat itu beliau meninggalkan 7 anak. Setelah dipenjara selama 10 tahun, beliau lalu bebas. Kayaknya kakek dituduh mempersenjatai petani. Tapi karena masih penasaran, aku tanya-tanya ke Mbah putri. Dari dia, aku dapat detail ceritanya seperti apa. 

Saat kamu akhirnya bertemu nenek, lantas apa saja yang dia ceritakan?
Ketika ketemu Mbah Putri, langsung aku tanya semuanya dari awal sampai akhir. Aku sampai punya rekamannya untuk dokumentasi. Aku tahu gimana proses ketika kakek ditangkap. Aku juga tahu bagaimana mereka berdua ketemu di penjara. 
Kalau dari cerita Mbah putri, penjara di Ambarawa dikelilingi sawah. Kalau mau menjenguk, harus menginap. Tidur di sawah. Susah lah untuk ketemu. Ada jadwal tertentu.  

Setelah kakek dipenjara bagaimana kondisi keluarga?
Karena pendapatan keluarga dari gajinya kakek, Mbah putri harus menitipkan anaknya ke saudara. Mbah nggak kuat menanggung semuanya. 

Apakah bapak kamu sempat mengalami diskriminasi, atau hal yang tidak menyenangkan?
Ngomongin Bapak, sedih ceritanya. Bapak itu salah satu anak Kakek yang dititipkan ke keluarga yang kurang baik perlakuannya. Kalau yang lain, kebetulan dititipkan ke orang berada, seperti camat. Jadi pendidikan terjamin. Tapi kalau bapakku kebetulan dititipkan sama orang yang keras. Jadi masa kecilnya cukup sedih. Belum lagi dibilang, anak PKI.

Begitu kamu mendengar semua kisah kakek, apa yang terlintas dipikiranmu? Marah?
Semuanya jadi satu. Sedih. Marah. Tapi lebih marah kepada diri sendiri. Karena aku sampai enggak tahu apapun. Terus bertanya-tanya gitu, karena selama ini keluarga besar sama sekali tidak ada yang pernah membicarakan hal itu. 


Kalau pertemuan keluarga juga enggak pernah dibahas?
Enggak pernah sama sekali. Cerita yang aku tahu dari kakek, dia tentara, itu saja. Enggak ada cerita bahwa dia pernah dipenjara. Waktu aku tanya ke Mbah putri, dia minta nggak usah dibahas. Mungkin karena sedih ya. Duka juga buat keluarga.


Lalu kepada siapa kamu pertama kali menceritakan hal ini?
Aku langsung cerita ke temanku Prodita. I must do something. Akhirnya aku menulis semacam opini di Jakarta Post. Karena aku pikir, peristiwa 1965 kayak sesuatu yang asing. Tapi justru aku kena dampaknya. 


Apakah setelah itu kamu mencari narasi-narasi lain dari kejadian berdarah itu?
Ya... setelah 1998. Tapi setelah kejadian itu, aku lebih pengen menggali cerita keluarga sendiri. Mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi? Karena Mbah Putri juga cerita bahwa, mungkin kakek ditangkap karena dia membantu salah satu keluarga yang anggota PKI. Jadi kayak masih belum begitu jelas. 

Cerita ini penting untuk aku dan keluarga. Karena aku kan punya dua anak. Aku yakin bahwa aku berhutang cerita itu sama anak-anak.


Jika suatu ketika anakmu bertanya tentang buyutnya, apakah kamu sudah siap menjawabnya?
Semoga aku sudah bisa menjelaskan. Someday aku harus cerita ke mereka. Karena kalau lihat dari kondisi sekarang, rekonsiliasi itu menurutku tidak akan terjadi di masa-masa sekarang ini. Tapi di masa mendatang, enggak tahu, mungkin anak-anak atau cucu-cucuku yang akan mengalaminya. Dan penting bagi aku untuk menceritakan cerita itu. 


Generasi sekarang masih dicekoki narasi tunggal tentang peristiwa 30 September buatan Orde Baru. Kalau untuk kamu, apa yang mesti generasi sekarang lakukan?
Aku percaya bahwa anak muda sekarang pintar-pintar dan kritis. Kalau nonton film propaganda G30S/PKI, aku yakin mereka enggak sepenuhnya percaya. Karena kita sudah banyak punya akses ke informasi yang lain. Film-film yang juga menceritakan hal yang sama. Jadi harus kritis untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. 

Bangsa ini punya PR besar untuk generasi ke depan. Kalau kita enggak bisa membereskan yang lalu-lalu, gimana bisa maju dengan mantap. Jadi ya, yuk kita sama-sama kritis, melihat peristiwa itu dan banyak membaca. Diskusi terus-menerus dengan banyak pihak. Sebab salah satu kunci rekonsiliasi adalah dengan mendiskusikan dan membicarakannya terus-menerus. Enggak cuma diam saja dan mengiyakan apa yang di kasih pemerintah. 
Editor: Agus Luqman 

Sumber: KBR.ID 

0 komentar:

Posting Komentar