Senin, 2 Oktober 2017 07:10 WIB
Monumen Pancasila Sakti
(Foto: jakarta.go.id)
Gagasan ini dimuat Harian
Solopos edisi Jumat (29/9/2017). Esai ini karya A. Windarto, peneliti di
Lembaga Studi Realino Sanata Dharma Yogyakarta. Alamat e-mail penulis adalah winddarto@yahoo.com.
SOLO–Menarik
bahwa buku berjudul Kudeta 1
Oktober 1965, Sebuah Analisis Awal yang lebih dari 50 tahun
lalu terbit perdana dalam bahasa Inggris sebagai Cornell
Paper (Agustus 1965) dan dipublikasikan secara akademis pada
1971 serta diterbitkan ulang pada 1999, kini dicetak kembali setelah lebih dari
15 tahun silam diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Ada apakah dengan buku yang kurang lebih setahun lalu salah
seorang penulisnya diperingati kepergiannya kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa
di negeri yang telah mencekalnya selama hampir 30 tahun lamanya? Dalam
pengantar di buku ini, M. Imam Aziz yang makan banyak asam garam dengan segenap
upaya rekonsiliasi setelah pembantaian massal 1965-1966 menunjukkan betapa
masih bermanfaatnya kajian seperti itu hingga saat ini lantaran dapat menjadi
semacam repertoar untuk tetap melawan monopoli kebenaran (hal. xviii).
Itu
artinya buku ini selain tetap enak dibaca dan perlu juga menyisakan beragam
pertanyaan yang belum atau mungkin tak ada jawabannya? Inilah yang oleh Ben
Anderson boleh jadi dibayangkan sebagai cara ideal untuk memulai riset yang
menarik sebagaimana dituliskan dalam buku (auto)biografinya yang terbit sebelum
dan sesudah kepergiannya.
Dengan
mencetak lagi buku ini harapannya, tentu saja, ada pengajuan sebuah (hipo)tesis
yang siap untuk dikonfirmasi atau digugurkan. Dari sanalah kajian yang bercorak
interdisipliner akan tumbuh dan berkembang secara alamiah dan optimistis.
Sebagai
sebuah analisis awal, buku ini telah menyumbangkan sebentuk gagasan yang
terbuka bagi penafsiran yang amat beragam, bahkan tak jarang rumit dan tampak
puitis. Itulah mengapa buku yang dari kacamata ilmu politik kerap dibaca
sebagai kajian konspiratif atas ”perang dingin” antara dua ideologi yang sedang
berkontestasi saat itu, namun dari pendekatan yang sastrawi justru dapat
menjadi kajian politik kebudayaan yang prestisius dan berguna
Sumber: SoloPos.Com
0 komentar:
Posting Komentar