AIMAN WITJAKSONO - 02/10/2017, 07:20 WIB
Massa aksi 299 melakukan aksi demonstrasi di depan Gedung MPR DPR Republik Indonesia, Jakarta, Jumat (29/09/2017). Massa menolak perpu ormas dan melawan kebangkitan PKI kepada pemerintah Indonesia. (KOMPAS.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI)
Benarkah PKI itu ada? Siapa saja orang-orangnya kini, dan Apa tujuan akhir mereka? Ini adalah pertanyaan dasar saat isu PKI mencuat beberapa pekan belakangan ini. Pertanyaan–pertanyaan yang belum terjawab hingga saat ini.
Ada pertanyaan lanjutan sesungguhnya, bisakah PKI kemudian berkembang pada era keterbukaan sekarang ini. Karena kita tahu, bahwa paham Komunisme bersifat tertutup, terpusat, dan menolak keterbukaan seperti yang terjadi pada alam demokrasi. Sungguh dua hal yang bertentangan.
Sebelum mengupas jawaban di atas, saya mencoba memuculkan pertanyaan lebih lanjut. Jika memang isu PKI ini sesungguhnya tidak nyata, lalu siapa yang potensial paling diuntungkan dengan berkembangnya isu ini?
Barisan kaum Akhwat pada aksi unjuk rasa
Dalam tayangan AIMAN, Senin (2/10/2017) ini pukul 20.00 WIB di KompasTV, saya memulai dengan Aksi 299 yang saya datangi. Saya ingin melihat apa yang disuarakan oleh puluhan ribu orang yang pada Jumat (29/9/2017) lalu memadati daerah ring Senayan, Jakarta, mulai dari Gedung Kemenpora hingga Kementerian LHK.
Di Jalan Gatot Subroto, ring depan Gedung MPR/DPR/DPD nyaris tak ada satu tempat pun yang kosong. Bahkan saya sulit untuk menembus hingga persis ke depan pintu pagar gedung parlemen itu.
Saya tetap mencoba untuk menembus. Mulanya saya berjalan dari arah Gedung
Kemenpora, menyusuri TVRI hingga ke Jalan Gatot Subroto.
Sejauh ini pandangan saya melihat massa diisi khusus kaum perempuan alias akhwat. Mereka membentuk barisan yang dipisahkan dengan tali plastik, agar tidak ada selain perempuan yang masuk ke dalam barisan mereka. Setiap 300 meter, ada mobil komando unjuk rasa yang di atasnya terdapat perempuan yang sedang berorasi.
Mereka berorasi layaknya kaum lelaki, penuh dengan yel-yel dan kritik pedas, dengan suara lantang dari banyak pengeras suara. Di bawah terik matahari, sejak usai salat Jumat, mereka bertahan sampai unjuk rasa usai pada sore hari. Ada sebagian laki laki di luar tali plastik membantu menjaga barisan massa perempuan pengunjuk rasa ini.
Nobar two in one
Saya lanjutkan perjalanan saya menuju ke Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Saya menemui sejumlah mobil taktis polisi yang biasa digunakan untuk menjaga ketertiban saat unjuk rasa berjalan. Ribuan personel tampak siaga menjaga di sejumlah tempat terpisah. Di Jalan Gatot Subroto inilah dipusatkan unjuk rasa. Di sinilah sejumlah mobil komando unjuk rasa utama ditempatkan.
Selain orasi, perhatian saya juga tertuju pada sebuah lapak pedagang DVD. Pedagang tersebut berteriak–teriak menjual dagangannya dan mengajak nobar alias nonton bareng film G30S/PKI, karya sutradara Arifin C Noer.
Namun yang unik, dalam satu DVD itu, film G30S/PKI dijadikan satu dengan film-film sejarah Islam, seperti "The Message-Mohammad Messenger of God", yang menceritakan perjalanan sejarah Nabi Muhammad SAW, dalam Bahasa Inggris.
Pemeran utama film ini adalah Anthony Quinn, yang memainkan peran Hamzah bin Abdul Muththalib, sahabat sekaligus paman Rasulullah. Film tahun 1976, karya sutradara Moustapha Akkad asal Suriah, ini sempat masuk dalam nominasi Academy award ke-50.
Suasana titik pusat pengunjuk rasa
Saya melanjutkan perjalanan menuju ke pusat berkumpulnya pengunjuk rasa di depan pintu gedung parlemen. Semakin dekat ke sana, semakin sulit saya berjalan menembus pengunjuk rasa.
Semakin dekat pusat pegunjuk rasa, semakin marak yel-yel dan teriakan dari para pengunjuk rasa yang menyuarakan pelarangan PKI dan Penolakkan Perppu Ormas.
Selain teriakkan soal penolakan PKI, saya juga mendengar kerap kali pengunjuk rasa meneriakkan "khilafah". Saya tanya beberapa pengunjuk rasa, apakah mereka berasal dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sebagian menjawab iya, sebagian lagi tidak karena menilai HTI telah dibubarkan pemerintah.
PKI, di antara Isu dan Politik 2019
Kembali ke isu PKI, untuk menjawab pertanyaan di awal tulisan, saya pun mendatangi sosok yang sudah 33 tahun berekcimpung di dunia intelijen, Marsekal Muda Purnawirawan Prayitno Ramelan. Kepadanya saya menanyakan, apakah mungkin PKI bisa tumbuh pada era keterbukaan saat ini. Sebab kita tahu, Komunis bersifat sentralistis di pucuk pimpinan dan tertutup. Sangat berseberangan dengan kondisi saat ini, demokrasi di Indonesia yang sangat terbuka.
Prayitno menjawab, justru di era keterbukaan ini paham komunis punya peluang yang besar untuk berkembang. Pemikiran–pemikiran yang terbuka untuk membahas paham komunis rentan dibalut dengan isu–isu yang berkembang di tengah masyarakat. Prayitno juga meyakini, ideologi, apa pun bentuknya, tak akan pernah mati.
Meski demikian, tak perlu menyikapi berlebihan atas mencuatnya isu PKI. Karena meskipun tetap berpeluang, tak mudah bagi komunis untuk berkembang di era dunia yang dikuasai mayoritas oleh paham liberal.
Lalu apa adakah keuntungan yang diperoleh dari seolah "mencuat hebat"-nya isu ini?
Jawabannya, ada! Pemilu 2019 yang ditujunya. Inilah yang disimpulkan dalam penelitian Indikator Politik Indonesia (IPI), pimpinan Burhanuddin Muhtadi. Ada korelasi antara massa yang keras menyuarakan menolak PKI dengan massa yang berpotensi untuk ditarik ke dalam sebuah kekuatan politik sejumlah partai yang ikut dalam Pemilu 2019.
Pertanyaannya, akankah berhasil?
Apapun jawabannya, kita pasti akan melihat gejolak suhu politik yang makin panas, jelang 2019!
Saya Aiman Witjaksono.
Salam!
Sumber: Kompas.Com
0 komentar:
Posting Komentar