8:27 PM, April 13, 2016 | Febriana Firdaus
Untuk pertama kalinya, Tentara Nasional Indonesia akan berdialog langsung dengan mantan anggota Partai Komunis Indonesia.
JAKARTA, Indonesia—Untuk pertama kalinya sejak tragedi 1965,
sebuah simposium tingkat nasional akan digelar untuk membicarakan luka
yang tak pernah dibuka selama 50 tahun pada 18-19 April di Jakarta.
Untuk pertama kalinya juga, para pelaku dan korban akan dipertemukan, dengan mediator: Pemerintah.
Tetapi siapa pelaku dan siapa korban?
Agus Widjojo, Ketua Panitia Pengarah Simposium, mengatakan
panitia sedang berupaya menghadirkan tokoh dari pihak-pihak yang
terlibat, seperti Tentara Nasional Indonesia dan mantan anggota Partai
Komunis Indonesia yang pernah menjadi narapidana politik.
Sayang, nama-nama dari pihak yang diundang masih belum bisa dipublikasikan.
Dari lembar informasi yang diterima Rappler, acara tersebut
melibatkan Dewan Pertimbangan Presiden, Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Dewan Pers Indonesia, UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Gadjah Mada dan Udayana, Pusat Kajian Demokrasi dan HAM
Universitas Sanata Dharma, Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia,
Institute for Peace and Democracy, dan Forum Silaturahmi Anak Bangsa.
Arsitek dari acara ini adalah Ketua Watimpres Sidarto
Danusubroto. Mantan polisi dan politisi PDI Perjuangan ini berhasil
merangkul Psikolog Unika Atma Jaya Nani Nurachman yang juga putri dari
almarhum Mayjen Anumerta Sutojo yang terbunuh dalam tragedi 1965 untuk
menjadi salah satu aggota panitia pengarah.
Lalu apa tujuan dari acara ini? Secara tertulis ada tiga tujuan:
- Menempatkan tragedi 1965 secara jujur dan proporsional dalam kesejarahan bangsa Indonesia dengan melacak arti dan menimbang implikasinya dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa.
- Membahas secara reflektif makna dan tatanan kebangsaan yang baru, berlandaskan pembelajaran atas peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM masa lalu, khususnya tragedi 1965.
- Menghasilkan rekomendasi bagi pemerintah untuk menyelesaikan secara komprehensif kasus pelanggaran berat hak asasi manusia dalam tragedi kemanusiaan 1965 (konsep pemulihan korban, rehabilitasi korban, dan lainnya).
“Ini untuk menjamin agar tidak terulang kembali peristiwa yang akan datang, forgive but not forget. Kita ikhlaskan yang terjadi,” katanya saat memberikan keterangan pers pada Rabu, 13 April, di gedung Dewan Pers.
Apakah ini berarti tak ada pengungkapan kebenaran? Agus tak menjawab secara gamblang, tapi ia mengatakan simposium ini akan meluruskan niat rekonsiliasi yang sempat didengungkan oleh pemerintah sebelumnya.
“Banyak pihak yang curiga dengan rekonsiliasi ini, simposium ini adalah pencerahan pada publik tentang gagasan rekonsiliasi, tidak menjustifikasi siapa benar siapa salah, tapi untuk kepentingan bangsa, untuk menemukan apa penyebab kesalahan bangsa ini,” katanya.
Bagaimana tentang pengungkapan kebenaran?
Nur Kholis dari Komnas HAM, yang juga menjadi anggota panitia pengarah, mengatakan simposium adalah upaya yang terpisah dari penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM bersama Kejaksaan Agung dalam rangka pengungkapan kebenaran lewat jalur hukum. Tapi hasil dari simposium ini bisa menjadi acuan dalam menentukan nasib temuan Komnas HAM.
“Kami sendiri belum mengatakan hasil penyelidikan Komnas HAM, secara linear track sendiri, bagian tersendiri, tapi (hasil penyelidikan) tergantung pada (hasil) simposium seperti apa,” katanya.
Walaupun tak semua saksi yang ada di temuan Komnas HAM bisa dihadirkan, karena hanya 200 orang yang diundang, bukti-bukti komisi juga akan dibicarakan di simposium.
“Kami sangat mendukung, mudah-mudahan simposium ini dapat mengkomunikasikan,” katanya. Apalagi dua kelompok yang sangat berseberangan bisa hadir dalam satu arena.
“Ini sebuah proses yang harus dilalui bangsa ini,’ ujar Nur Kholis.
Meski demikian, tak semua gembira dengan simposium. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengaku telah membaca Term of Reference (TOR) acara tersebut.
Ia menyimpulkan tak ada penegasan pengungkapan kebenaran atau tujuan yang strategis dalam pelaksanaan simposium. “Saya lihat sampai akhir, tidak ada penyelesaiannya,” katanya.
Ia justru mempertanyakan perbedaan antara penyelenggaran simposium dengan seminar-seminar tentang tragedi pembantaian massal tahun 1965. “Kalau seminar akademik kan sudah banyak,” ujarnya.
Pernyataan Haris ini ditimpali Direktur Eksekutif Human Rights Watch Indonesia Kenneth Roth yang mengatakan bahwa pengungkapan kebenaran penting, bukan sekedar simposium.
Ia bahkan sudah bertemu dalam sebuah jamuan makan malam dengan Sidarto dari Watimpres agar klausul pengungkapan kebenaran ini dapat menjadi tujuan akhir.
Tapi hingga sampai pada penutup makan malam, Roth mengaku belum tahu rencana apa di balik simposium ini, atau apa hasil akhir yang diinginkan oleh pemerintah. Masih gelap.
Sementara itu, jika ditelusuri dari TOR acara yang diperoleh Rappler, berikut hal-hal yang akan dibahas di simposium:
- Apa hakikat dan latar belakang terjadinya peristiwa tragedi 1965?
- Dinamika sosial, psikologis dan antropologis apa yang berlangsung sehingga masyarakat di berbagai daerah dapat melakukan pembunuhan skala besar dalam waktu singkat?
- Elemen-elemen politik apa dalam kehidupan bangsa yang menjadi pemicu terjadinya peristiwa tragedi 1965?
- Apa yang berlangsung pada tataran politik dan kenegaraan sehingga terjadi penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan tragedi 1965?
- Apa dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara?
- Bagaimana korban atau penyintas dan keluarganya, didukung para pendamping dan pegiat hak asasi manusia serta berbagai organisasi masyarakat warga merawat ingatan, memperjuangkan hak dan memulihkan luka yang diderita?
- Bagaimana berdamai dengan masa lalu oleh generasi yang mengalami peristiwa itu?
- Bagaimana generasi yang tidak mengalami peristiwa itu mencoba memahami dan merekonstruksi ingatan kolektifnya sejarah bangsa berdasarkan sumber pengetahuan yang tersedia, yang untuk waktu lama amat terbatas baik dari segi jumlah maupun substansinya?
“Kami mengharapkan ada output supaya tidak ada lagi hal-hal yang sampai sekarang kita sebut sebagai dosa turunan. Kapan akan selesai masalah ini? Jangan sampai anak turunan kita menderita karena ini,” katanya.
“Utang sejarah ini harus diselesaikan!” katanya lagi.
Mengenai pengungkapan kebenaran, menurut Sidarto, harus lewat komisi kebenaran dan rekonsiliasi, tapi sayang undang-undangnya sudah dibatalkan.
Undang-undang KKR dianulir berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi.
Undang-undang itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru
‘Rekonsiliasi pribadi’
Sementara itu, psikolog Nani mengatakan simposium ini lebih pada upaya untuk mempertemukan secara psikologis dan psikis, pihak-pihak yang ‘bertikai’ selama ini.
“Kita tidak menghakimi orang salah atau benar. Tapi kita memahami anatomi kekerasan yang terjadi,” katanya.
Simposium akan berbicara tentang keresahan-keresahan yang disimpan di masyarakat selama ini terkait tragedi 1965.
Karena itu simposium ini mungkin selain jadi tempat untuk reunifikasi bagi korban dan dialog dengan pelaku, juga dapat menjadi tempat rekonsiliasi pribadi bagi masing-masing peserta.
Apakah ini berarti kasus tragedi 1965 akan berakhir dengan ‘berdamai’ saja? Agus dari panitia pengarah pun menjawab. “Kita ikhlaskan yang terjadi, supaya kita tidak terantuk pada batu yang sama, seperti keledai, itulah yang kita cari,” katanya.
“Sehingga generasi kami yang terlibat langsung dalam tragedi 1965 ini dapat menyelesaikan permasalahan ini dan berdamai dengan masa lalu, lalu menyerahterimakan pada generasai penerus. Sehingga generasi penerus tidak akan terbelenggu,” Agus menutup pernyataannya dalam konferensi pers. —Rappler.com
http://www.rappler.com/indonesia/129348-simposium-nasional-tragedi-1965
0 komentar:
Posting Komentar