Kamis, 7 April 2016 | 21:21 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Feri Kusuma, mengatakan
bahwa keluarga korban dan masyarakat sipil tidak akan berhenti untuk
menuntut digelarnya pengadilan HAM adhoc atas kasus pelanggaran HAM masa
lalu, jika proses rekonsiliasi tetap terjadi.
Menurut Feri, keputusan diadakannya proses rekonsiliasi seharusnya berasal dari keputusan korban, karena itu merupakan salah satu hak mereka.
"Bukan negara yang menentukan rekonsiliasi, tapi korban. Karena itu adalah hak korban, setelah adanya pengungkapan kebenaran," ujae Feri saat memberikan keterangan pers di kantor Kontras, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis (7/4/2016).
Di samping itu ia menilai proses rekonsiliasi tanpa adanya pengungkapan kebenaran melalui mekanisme pengadilan tidak akan menyelesaikan masalah.
Feri menuturkan, pemerintah seharusnya mengesampingkan opsi rekonsiliasi dan mengutamakan mekanisme penyelesaian, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Kami tidak lagi berdebat di ranah hukum. Sudah ada mekanisme jelas di UU Pengadilan HAM. Meski jalur non-yudisial, pengungkapan kebenaran harus dilakukan untuk memenuhi hak reparasi dan jaminan peristiwa serupa tidak berulang," kata Feri.
Selain itu, Feri juga mengatakan bahwa alasan pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM melalui rekonsiliasi tidak memiliki dasar yang kuat.
Ia menjelaskan, rekonsiliasi merupakan proses untuk memenuhi hak korban di luar jalur yudisial, seperti hak rehabilitasi restitusi dan kompensasi.
Rekonsiliasi adalah proses yang dilakukan ketika tahapan pengungkapan kebenaran sudah dilakukan.
"Kami tidak masalah dengan penyelesaian melalui jalur non yudisial, tapi prinsip secara internasional harus komplementer dengan jalur yudisial. Dia harus saling melengkapi," ujar Feri.
Menurut Feri, keputusan diadakannya proses rekonsiliasi seharusnya berasal dari keputusan korban, karena itu merupakan salah satu hak mereka.
"Bukan negara yang menentukan rekonsiliasi, tapi korban. Karena itu adalah hak korban, setelah adanya pengungkapan kebenaran," ujae Feri saat memberikan keterangan pers di kantor Kontras, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis (7/4/2016).
Di samping itu ia menilai proses rekonsiliasi tanpa adanya pengungkapan kebenaran melalui mekanisme pengadilan tidak akan menyelesaikan masalah.
Feri menuturkan, pemerintah seharusnya mengesampingkan opsi rekonsiliasi dan mengutamakan mekanisme penyelesaian, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Kami tidak lagi berdebat di ranah hukum. Sudah ada mekanisme jelas di UU Pengadilan HAM. Meski jalur non-yudisial, pengungkapan kebenaran harus dilakukan untuk memenuhi hak reparasi dan jaminan peristiwa serupa tidak berulang," kata Feri.
Selain itu, Feri juga mengatakan bahwa alasan pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM melalui rekonsiliasi tidak memiliki dasar yang kuat.
Ia menjelaskan, rekonsiliasi merupakan proses untuk memenuhi hak korban di luar jalur yudisial, seperti hak rehabilitasi restitusi dan kompensasi.
Rekonsiliasi adalah proses yang dilakukan ketika tahapan pengungkapan kebenaran sudah dilakukan.
"Kami tidak masalah dengan penyelesaian melalui jalur non yudisial, tapi prinsip secara internasional harus komplementer dengan jalur yudisial. Dia harus saling melengkapi," ujar Feri.
Penulis | : Kristian Erdianto |
Editor | : Bayu Galih |
http://nasional.kompas.com/read/2016/04/07/21213341/.Keputusan.Rekonsiliasi.Kasus.HAM.Harusnya.dari.Korban.Bukan.Pemerintah.
0 komentar:
Posting Komentar